Setiap kali berada di kantor, sadarkah kita bahwa kantor tempat kita mengais rejeki setiap hari belum berwawasan gender?
Diskriminasi di Kantor
Sudah sekian lama R.A. Kartini meninggal dan mewariskan gerakan emansipasi wanitanya. Namun, hingga saat ini, diskriminasi gender terhadap perempuan masih terus berlangsung. Tak ketinggalan, di lingkungan kantor.
Diskriminasi terhadap pekerja perempuan terus berlangsung dalam berbagai hal. Di antaranya, peluang karir, fasilitas kantor, dan peraturan kepegawaian.
Peluang Karir
Hingga saat ini, masih sangat banyak perusahaan atau kantor yang mengutamakan pegawai laki-laki daripada perempuan. Bahkan, jenis kelamin sering menjadi syarat utama bagi para pelamar kerja, yaitu jenis kelamin laki-laki. Jadi, baru pada level seleksi administrasi, perempuan sudah ditinggalkan. Padahal, jika perempuan itu mau dan mampu, apa salahnya?
Harus diakui, kemampuan dan kemauan perempuan dalam bekerja sebenarnya tidak kalah dari laki-laki. Kemampuan berpikir dan kemampuan fisik pun, perempuan berani bersaing dengan laki-laki. Salah satu buktinya adalah, ada perempuan yang menjadi tukang becak.
Selain itu, setelah menjadi pegawai di sebuah instansi pun perempuan masih kurang dihargai. Lebih-lebih, bila si perempuan itu sudah memiliki anak. Alasan yang dikemukakan begitu beragam, seperti: perempuan yang sudah memiliki anak dikhawatirkan tidak bisa bekerja secara maksimal karena harus memikirkan anaknya. Akibatnya, kesempatan meniti karir lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Padahal, jika dipikir lebih jauh, banyak juga laki-laki yang lebih mengutamakan anak dan keluarganya daripada pekerjaan. Dengan kata lain, jenis kelamin tidak mampu menjadi tolok ukur etos kerja.
Yang lebih menyedihkan, ternyata tak hanya instansi swasta yang melakukan diskriminasi peluang karir terhadap perempuan. Di lingkungan instansi pemerintah pun praktek semacam ini masih ada. Padahal, hak dan kesempatan untuk berkarya adalah sama bagi semua warga negara tanpa kecuali. Bahkan, hak dan kesempatan untuk mencari penghidupan yang layak ini dilindungi sepenuhnya oleh negara.
Fasilitas Kantor
Sebuah kantor tentu memiliki berbagai fasilitas sebagai kelengkapan untuk mendukung kegiatan kantor. Sayangnya, masih banyak fasilitas kantor yang membuat perempuan tidak bisa merasa nyaman saat memanfaatkannya. Misalnya, meja kerja tanpa penutup di sisi depan. Seorang karyawan perempuan yang mengenakan rok tentu akan merasa risih jika harus duduk di belakang meja itu.
Contoh yang lain adalah konstruksi anak tangga.
Tak hanya itu, masih cukup banyak kantor yang membiarkan para perokok dapat dengan bebas menikmati rokoknya. Tentu saja, hal ini akan sangat mengganggu kesehatan ibu hamil yang kebetulan berada dan bekerja di ruangan tersebut.
Peraturan Kepegawaian
Dalam hal peraturan kepegawaian/ketenagakerjaan pun terselip perlakuan yang diskriminatif. Salah satunya adalah penggunaan seragam. Masih banyak instansi—baik pemerintah maupun swasta—yang mewajibkan pegawai perempuan mengenakan rok. Bagi sebagian perempuan, mengenakan rok memang bukan masalah besar. Tetapi, bagi sebagian lain, mengenakan rok hanya menimbulkan kerepotan, terutama pada saat duduk, berjalan, atau berlari. Mereka harus berkali-kali merapikan roknya.
Selain seragam, cuti bersalin juga menjadi masalah tersendiri. Pasalnya, seorang perempuan hanya mendapat waktu 3 bulan untuk cuti bersalin. Padahal, seorang bayi seharusnya mengonsumsi air susu ibu (ASI) secara eksklusif (tidak diberi makanan lain selain ASI) selama 6 bulan pertama kelahirannya. Dengan cuti yang pendek itu, praktis si bayi tidak akan mendapatkan haknya.
Berwawasan Gender
Lantas, seperti apakah kantor yang berwawasan gender? Jelasnya, bukan kantor yang banyak memberi kemudahan atau keistimewaan bagi pekerja perempuan. Namun, kantor yang memberikan kesempatan dan kemudahan yang sama bagi pekerja laki-laki maupun perempuan.
Sebuah kantor yang berwawasan gender tentu tidak akan menabukan sebuah atau beberapa pekerjaan atau jabatan dipegang pekerja perempuan. Untuk meniti karir, kantor seperti ini akan memberikan penilaian yang obyektif kepada setiap pegawainya tanpa terkecuali dan tanpa membedakan jenis kelamin. Kantor ini akan menggunakan kinerja sebagai tolok ukur, bukan jenis kelamin.
Kantor yang baik akan memberikan kesempatan bagi seorang perempuan maupun laki-laki yang telah menjadi orang tua untuk tetap bekerja dengan tenang tanpa memikirkan anaknya secara berlebihan. Caranya, dengan menyediakan penitipan anak yang diasuh secara khusus oleh pegawai resmi juga. Di lingkungan kantor pemerintah, penitipan anak dapat diasuh oleh organisasi Dharma Wanita.
Penitipan anak ini tidak hanya akan membantu para pegawai perempuan. Karena, pegawai laki-laki yang secara kebetulan tidak memiliki pengasuh anak di rumah juga bisa memanfaatkannya. Selain itu, karena berada di bawah pengawasan kantor, pengasuh di penitipan anak juga tidak akan memperlakukan si anak secara sembarangan. Dengan begini, orang tua dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu terlalu sering telepon ke rumah atau pulang untuk sekadar menengok si buah hati.
Selain itu, kantor juga perlu menyediakan breastfeeding room (ruang khusus untuk menyusui). Fasilitas ini akan sangat bermanfaat bagi karyawan perempuan yang sedang dalam masa menyusui. Di
Dalam hal seragam, dalam situasi apapun, baju seragam dengan celana panjang membuat siapapun menjadi lebih nyaman dalam bekerja karena bisa bergerak lebih bebas. Demikian pula pegawai perempuan. Kita tidak perlu lagi menabukan seragam dengan celana panjang bagi para karyawan perempuan. Dengan celana panjang, mereka justru bisa lebih aktif bekerja tanpa mengurangi estetika penampilan.
Di lingkungan swasta, sudah banyak instansi yang mengijinkan pegawai perempuannya mengenakan celana panjang, meskipun tak sedikit yang masih mengharamkannya. Tetapi, di lingkungan pemerintahan, masih sedikit instansi pemerintah yang mengijinkan pegawai perempuan mengenakan celana panjang. Di antara yang sedikit itu adalah Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Perhubungan.
Kenyataan-kenyataan ini tentunya harus menjadi perhatian kita bersama. Jangan hanya tergantung kepada kebijakan pemerintah atau saling mencari kambing hitam.
Betty Wahyu Nilla Sari, S.T.P.
Staf pada Kantor Informasi dan Komunikasi
Pemerintah Kota Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar