MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

24 November 2007

Calon Perseorangan Dalam Pilkada


Oleh : Umbu Rauta

Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, akhirnya gagasan mengikutkan calon perseorangan dalam arena pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) jadi kenyatan. Tampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No : 5/PUU - V/2007 yang menyatakan tidak berlakunya Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) - (3) sepanjang mengenai beberapa frase tertentu dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan MK setidaknya merupakan penegasan dan penguatan kembali terhadap keinginan rakyat akan kehadiran calon perseorangan dalam Pilkada. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di akhir Juli 2007, menunjukan bahwa di atas 70 % rakyat setuju calon perseorangan, baik untuk Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden (Koran Tempo 25 Juli 2007).

Sejauh yang diamati, ada beberapa alasan menghadirkan calon perseorangan dalam arena Pilkada. Pertama, ketika Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu (Parpol) diberi monopoli kewenangan sebagai pintu masuk bakal calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (KDH/WKDH), kinerjanya kurang memuaskan masyarakat. Tidak saja karena proses penjaringan yang cenderung elitis/kurang aspiratif, tetapi juga adanya politik uang (money politic) dalam berbagai modus. Telah menjadi rahasia umum, dalam beberapa daerah yang telah dan sedang menjalani proses Pilkada, tidak terhindarkan dari adanya “kewajiban” bagi bakal calon untuk menyiapkan sejumlah dana, baik untuk biaya Pilkada maupun ”tarif sewa Parpol”.

Kedua, dorongan adanya perlakuan yang sama dengan wilayah Aceh, yang dalam regulasi Pilkada, baik untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota memperkenankan keikutsertaan calon perseorangan dalam arena Pilkada. Ketiga, kinerja KDH/WKDH terpilih yang kurang baik, tampak dari keterlibatan dalam persoalan hukum, seperti korupsi. Perhatikan beberapa KDH/WKDH, seperti Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Kutai Kartanegara, dll. Ini disebabkan karena seleksi yang kurang ketat terhadap rekam jejak calon saat menjalani proses Pilkada.

Implikasi Putusan MK

Bagaimana implikasi putusan MK terhadap Pilkada yang sedang dan akan berlangsung. Setidaknya ada beberapa alternatif regulasi yang dapat ditempuh dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pertama, Presiden menerbitkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang), dengan pertimbangan kemendesakan regulasi untuk aktivitas Pilkada yang belum memiliki aturan pasca putusan MK. Oleh karena PERPU bersifat subyektif, bisa jadi kalangan DPR tidak akan menyetujuinya saat diajukan oleh Presiden untuk dimintai persetujuan. Hal ini tampak dari pernyataan pimpinan fraksi dan pimpinan DPR saat rapat konsultasi pimpinan DPR, yang lebih menginginkan perubahan terbatas terhadap UU No. 32/2004.

Kedua, perubahan terbatas terhadap UU No. 32/2004. Ini relatif obyektif, tetapi membutuhkan waktu yang lama, seperti dinyatakan Menhukham Andi Mattalata, yaitu sampai akhir tahun 2007. Tidak dapat terhindarkan adanya pertarungan berbagai macam kepentingan politik saat pembahasan substansi perubahan. Hal ini tampak dari perdebatan yang sedang terjadi di Badan Legislasi DPR. Ketiga, regulasi dari KPU. Meski mempunyai kewenangan menciptakan regulasi, namun materi yang dipercakapkan adalah materi muatan UU

Dari beberapa alternatif di atas, maka alternatif penerbitan PERPU perlu diambil sepanjang Presiden benar-benar cermat dan responsif dengan aspirasi yang berkembang. Keinginan DPR untuk memilih perubahan terbatas dan pernyataan Pemerintah untuk tetap memberlakukan UU N0 32/2004 menunjukan adanya sikap kurang iklas dengan putusan MK, sehingga dengan berbagai dalih diupayakan agar perwujudan calon perseorangan dalam arena Pilkada diperlambat sambil mempersiapkan perbaikan kinerja dari Parpol dan anggotanya. Proses legislasi di DPR cukup menyita waktu, apalagi jika belum dijadikan agenda prioritas oleh Badan Legislasi dan Badan Musyawarah. Sehingga, perubahan terbatas itu bisa terjadi tahun 2007 atau 2008, padahal telah banyak tuntutan di berbagai daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada, perihal tatanan bagi keikutsertaan calon perseorangan.

Materi Muatan

Ada beberapa materi muatan substantif untuk menjadi perhatian dalam perumusan ketentuan dengan calon perseorangan dalam arena Pilkada. Pertama, syarat minimum dukungan antara 3 % - 5 % dari jumlah pemilih. Usulan dari kalangan Pemeritah dan DPR, yang menentukan minimum 15 % menunjukan sikap perlakuan yang sama untuk keadaan yang tidak sama. Besarnya syarat dukungan bagi Parpol/Gabungan Parpol merupakan kewajaran karena adanya mesin politik berupa organisasi Parpol, sementara bagi calon perseorangan tidaklah demikian. Belakangan muncul pendapat di Badan Legislasi bahwa syarat dukungan antara 5 % - 10 %. Presentasi syarat dukungan tersebut akan dibuat dalam beberapa kategori, dimana daerah yang penduduknya padat akan dikenakan presentasi dukungan kecil, sementara yang kurang padat diperlakukan prosentasi semakin besar. Selain syarat dukungan, perlu perhatikan ketersebaran wilayah dari dukungan tersebut agar derajat legitimasinya cukup tinggi.

Kedua, hindari calon karbitan bekas parpol, seperti pengalaman saat pencalonan anggota DPD, dimana banyak anggota DPD yang sebelumnya bekas anggota Parpol atau bahkan masih mempunyai hubungan emosional yang kuat dengan Parpol. Perlu diatur batas waktu keluar dari Parpol, misalnya minimum telah setahun bukan sebagai anggota dan pengurus Parpol. Ketiga, kehati-hatian dalam penentuan bukti dukungan, apakah cukup tanda tangan atau dengan KTP dan perlu konfirmasi dengan aparat setempat, seperti RT,RW dan Kelurahan/Desa. Keempat, biaya atau dana politik yang perlu digalang dan dipunyai oleh calon perseorangan.

Penutup

Meskipun putusan MK hanya mempersoalkan pengisian jabatan di daerah, namun dalam jangka panjang merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan anggota MPR, untuk sekiranya melihat kembali pengaturan pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presdien pada tataran Konstitusi. Hal ini bukan sebuah agenda baru, tetapi agenda lama yang telah diusulkan Komisi Konstitusi beberapa waktu lalu, yang belum dipercakapkan kembali. Semoga .....

Dosen Hukum Tata Negara & Otonomi Daerah

Fakultas Hukum UKSW Salatiga

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's