Jika tidak ingin rugi jangan sembarangan membuka usaha yang kita tidak menguasai. Begitu pesan moral yang cukup populer di lingkungan masyarakat kita pada saat kondisi perekonomian masih serba sulit. Karena itu, penting untuk belajar dari orang-orang sukses yang berani mengambil keputusan dan memilikikeahlian tertentu. Hidup di tengah masyarakat yang hobi olah raga bulu tangkis, merupakan peluang tersendiri untuk mengembangkan usaha home industry produksi shuttle cocks. Seperti yang sedang dirintisTeguh Hatmanto, 35, warga Kelurahan Bugel, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Membuat suttle cocks bagi Teguh, begitu ia biasa dipanggil, memang bukan pekerjaan baru. Sejak remaja ia sudah terampil membuat shuttle cocks standar nasional di wilayah Kecamatan JebresSurakarta. Hebatnya lagi, selain mampu membuat shuttle cocks standar, suami Tri Hariani tersebut jugamantan atlet bulu tangkis asal Kota Surakarta. Tak heran jika saat ini ia juga dipercaya Lembaga Pendidikan SD, SMP dan SMA Laboratorium UKSW, menjadi tenaga pengajar olah raga badminton. “Selalu berbuat yang terbaik dan bermanfaatadalah prinsip hidup saya,” aku Bapak dua putra ini saat dihubungi di rumah kediamannya baru-baru ini. Teguh memang sosok pemuda kreatif yangtidak pernah tinggal diam melihat banyaknyapengangguran. Meskipun masih kecil-kecilan, iaberusaha menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat merekut sejumlah pemuda desa yang belum bekerja.
Merintis produksi home industri shuttle cock baru dimulai pada Desember 2005. Saat itu yangmembatu pekerjaan produksi baru istrinya. Teguhkemudian merekrut sejumlah tenaga setelah banyakpesanan dari tim-tim bulu tangkis di Kota Salatiga. Teguh mengaku tidak kesulitan dalam mencari bahan baku. Seperti bulu ayam potongpejantan yang harganya setiap biji Rp.35; serta dop dari bahan baku tanaman bakau satu dosin seharga Rp. 3.000. “Bahan baku tersebut banyak tersedia di Surakarta,” jelasnya.Merakit bahan baku tersebut harus dengankesabaran dan ketelitian, sehingga mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi dan tidak kalah dengan produk yang lain. Upah yang diberikan kepada pekerja dengan sistim borongan. Memasang bulu ayam kedalam dop Rp. 3.000 setiap dosin. Merajut benang Rp. 750 perdosin. Menyetel serta merapikan shuttle cocks Rp.500 perdosin. “Kami menjual shuttle cocks Rp. 2.500 perbiji, dan Rp. 27.000 perdosin,” katanya. Sayangnya, modal Teguh masih sangat terbatas. Sehingga, ia belum bisa mengembangkan pemasaran secara lebih luas. Hingga kini, produksi shuttle cocks yang ditekuni Teguh telah dipasarkan ke sejumlah daerah, seperti Salatiga, Boyolali, Solo, Sragen, Purwodadi, dan Yogyakarta. Cara kerja home industri ini langkah awal membeli bahan dari Surakarta, kemudian bulu ayam di cuci lalu dijemur. Kemudian bulu tersebut dirapikan dan dibentuk, selanjutnya satu persatu di luk dengan alat bantu lampu teplok berisi minyak tanah. Teguh mengaku memproduksi shuttle cocks dengan bulu ayam karena memenuhi permintaan pelanggan. Pemakaian dengan bulu ayam mempunyai karakteristik jika dipukul lajunya tidak terlalu kencang. Mulanya Teguh memakai merk Putra Mas, berhubung di Solo sudah ada maka produk tersebut akhirnya menggunakan merk SHB. “SHB bias diartikan Salatiga Hati Beriman atau juga bias Seneng-susah Hidup Bersama,” imbuhnya.(kst)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar