MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

29 Juni 2007

250 TAHUN PERJANJIAN SALATIGA


Salatiga adalah kota menyimpan sejuta kenangan bagi para pejuang di masa lalu. Terlebih bagi eluarga keraton Puro Mangkunegaran Surakarta. Kota kecil di lereng gunung Merbabu ini menjadi tempat pilihan terjadinya suatu perjanjian tonggak berdirinya kerajaan yang masih ada sampai saat ini. Di kota berhawa sejuk ini pula menjadi medan peperangan melawan penjajah berlangsung. 250 tahun silam telah terjadi suatu perundingan atau perjanjian Salatiga. Peristiwa

bersejarah tersebut dilakukan antara Raden Mas Said yang lebih akrab dipanggilan Pangeran Sambernyowo dengan Sunan Pakubuwono III yang disaksikan pihak Kompeni dan pihak Sultan Hamengkubuwono I di wilayah Kalicacing Salatiga, tepatnya di gedung Pakoewon. Berawal dari perjanjian yang telah disepakati pada tanggal 17 Maret 1757 tersebut maka dijadikan tonggak berdirinya Puro Mangkunegaran yang memiliki pusat pemerintahan di Surakarta Hadiningrat. Isi dari perjanjian tersebut adalah: pertama, RM. Said atau Pangeran Sambernyowo bergelar KGPAA. Mangunegoro I, Kedua, Memerintah wilayah yang meliputi Nglaroh, Keduwang, Matesih, Sembuyan dan Anggabayan. Ketiga, Praja Mangkubegaran berkedudukan di Surakarta Hadiningrat. Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut digelarlah suatu ritual kolosal berupa acara wilujengan (selamatan). Selamatan tersebut digelar pada hari Sabtu 17 maret 2007 di petilasan perjanjian tersebut dilaksanakan. Acara dibuka oleh Kepala Bakorwil I Pemprov JawaTengah, Ir Suryono Suripno, berlangsung di Lapangan Pancasila tepat di sebelah utara gedung Pakoewon yang telah roboh. Sebagai acara tambahan digelarpula ritual tarian perang di Lapangan Pancasila. Tarian perang terdiri dari berbagai formasi perang. Formasi tersebut merupakan bentuk kejadian perang yang terjadi pada waktu peperangan antara penjajah dah terjajah (bangsa Indonesia). Adapaun tarian perang diantaranya: tarian perangSrikandi (wanita jago panah), tarian wushu yang menggambarkanperjuangan warga Tionghua, tarian perang Warok yang menggambarkan perjuangan kaum warok serta formasi perang para santri dan rakyat jelata. Setelah tarian perang disuguhkan di hadapan tamu undangan dan warga Salatiga, acara kemudian dilanjutkan dengan acara inti selamatan. Salamatan dipimpin oleh KRMH Daradjadi Gondodiprojo, yang juga sebagai penyelenggara wilujengan tersebut. Susunan acara berisi pembacaan sejarah berlangsungnya perjanjian Salatiga yang 250 tahun lalu berlangsung di tempat itu, kemudian diteruskan dengan do'a serta pemotongan tumpeng dan pembagian gereh pethek (sejenis ikan asin) dan ketupat. Pemotongan tumpeng pertama dilakukan oleh Daradjadi yang diserahkan kepada Wakil Walikota Salatiga John M Manoppo, SH. Sedangkan potongan tumpeng ke dua dan selanjutnya diserahkan kepada KGPAA Mangkunagoro IX, Ketua DPRD Salatiga dan Kepala Bakorwil I Pemprov Jawa Tengah, Ir Suryono Suripno. Makanan utama pada gelar selatan tersebut adalah ketupat dan gereh pethek. Makan tersebut adalah makanan yang dipakai perbekalan pasukanPangeran Sambernyowo bergerilya melawan Kompeni. Selain itu Ketupat dalam bahasa Jawa adalah Kupat yang juga memiliki makna kuat. Maksudnya adalah

RM. Said menganjurkan pasukannya untuk selalu menjaga kesehatan badan juga jiwa, dengan begitu akan selalu bisa mengatiasi permasalahan yang dihadapi. Sedangkan pethek (Jawa) adalah kata awaldari memthek. Jika orang akan menaikkan layanglayang biasanya meminta orang lain untuk memeganginya yang disebut memethek. Dalam acarawilujengan disediakan gereh pethek dengan tujuanberisi doa agar semua yang hadir dan dalam acara tersebut selalu dinaikkan derajat dan semua aspek ke tataran yang lebih tinggi oleh Allah SWT. Salatiga adalah sebagai Kota yang memiliki peran dan andil dalam sejarah perjuangan bangsa ini dalam melawan penjajah. Selain itu kota Hatiberiman ini juga sebagai tempat togak berdirinya Puro Mangkunegaran.(lux)

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's