MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

13 Juni 2007

Pilih-pilih Sekolah Berkualitas Negeri Atau Swasta ?


Ada persoalan klasik dan selalu berulangulang setiap kali memasuki pertengahan tahun. Ya, tahun ajaran baru merupakan istilah lama yang masih digunakan hingga saat ini. Kehadiran tahun ajaran baru yang biasanya jatuh pada bulan Juli selalu ditunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Utamanya bagi orang tua yang akan mendaftarkan sekolah bagi anaknya. Bagi kebanyakan orang tua tentu sadar bahwa pendidikan akan mempengaruhi masa depan anak menjadi lebih baik atau sebaliknya. Karena itu, setiap kali memasuki tahun ajaran baru, para orang tua sibuk mencarikan sekolah berkualitas untuk anak tercinta. Lalu, seperti apakah ciri-ciri sekolah berkualitas itu? Ketua Dewan Pendidikan Kota Salatiga, Drs. Bambang Suteng Sulasmono, M.Si, menjelaskan, secara ideal ada delapan kriteria sekolah berkualitas. Hal itu sebagaimana dirumuskan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Dari delapan criteria tersebut, diantaranya menyangkut sarana dan prasarana, pengelolaan, isi dan proses belajar mengajar. “Secara lebih lengkap dapat dilihat dalam standarisasi sekolah berkualitas yang dirumuskan BSNP,” tuturnya. Sementara dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional ada criteria sebutan sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI). Namun demikian, Mas Bambang, begitu ia biasa dipanggil, melihat setiap orang tua sudah memiliki ukuran sekolah berkualitas tersendiri. Para orang tua sudah mempunyai stigma pada sekolah-sekolah tertentu yang dinilai baik dan berkualitas. Sehingga, kriteria yang dikeluarkan BSNP belum tentu sesuai dengan ukuran serta kemauan orang tua. “Misalnya, kalau di Salatiga kebanyakan orang tua menilai sekolah tingkat menengah yang berkualitas adalah SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1,” jelas Bambang. Menyadari adanya stigma yang sudah mengakar tersebut, Bambang Suteng mengingatkan kepada orang tua agar tidak hanya mengejar stigma sekolah favorit. Yang terpenting adalah mencari sekolah yang dapat menjadikan anak dapat berkembang dengan baik. Jika ada orang tua yang memaksa anak untuk masuk di sekolah yang dinilai favorit, padahal kemampuan anak tidak cocok, maka hal itu merupakan pelanggaran HAM. Sebab, akibat dari pilihan tersebut menjadikan anak tidak bias berkembang dengan baik. “Tidak dapat dipungkiri bahwa ada praktik mbilung dilakukan orang tua yang melakukan berbagai upaya agar anaknya diterima pada sekolah favorit tanpa melihat kemampuan si anak. Perilaku orang tua seperti ini maksudnya memang baik, namun implikasinya sangat berbahaya bagi perkembangan dan masa depan anak,” katanya. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini mensinyalir, di era globalisasi informasi dewasa ini, sebenarnya semua sekolah berpotensi menjadi sekolah maju. Stigma sekolah favorit dan tidak favorit hanya sekadar label. SMP Negeri 10 misalnya, meskipun secara geografis berada di pinggiran kota, ke depan bisa saja menjadi sekolah maju dan sejajar dengan sekolah-sekolah favorit yang ada di jantung kota. Sekarang ini yang terpenting adalah bagaimana misi kepala sekolah dan proses belajar mengajar guru di sekolah. “Sarana dan prasarana memang penting, namun yang lebih penting adalah proses belajar mengajar guru di sekolah serta bagaimana misi

seorang kepala sekolah dalam mengelola pendidikan anak,” tandasnya. Ukuran kualitas sekolah, menurut ia, tidak ada kaitannya dengan status negeri atau swasta. Sekolah negeri bisa jadi lebih baik dari swasta, namun sebaliknya juga bisa lebih rendah kualitasnya. “Jadi, sekali lagi yang terpenting adalah bagaimana proses pembelajarannya,” kata Bambang. Tidak Mungkin Sekolah Gratis Lebih lanjut, tokoh pendidikan Kota Salatiga yang sedang menyelesaikan program doktoral di Malang ini mengaku bahwa ada sebagian masyarakat yang mengeluhkan besarnya biaya pendidikan. Persoalan ini harus ditanggapi secara hati-hati, karena wacana sekolah gratis dinilai tidak masuk akal. Negara tidak mungkin dibebani untuk membiayai semua kebutuhan pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dinilai sebagai persoalan yang relatif. Di Salatiga misalnya, menurut Bambang tidak ada sekolah yang mahal, kecuali sekolah LAB. Kendati demikian, Bambang menyadari bahwa ukuran mahal atau murah tidak dapat dipukul rata. Karena itu, sistem subsidi silang masih sangat relevan untuk diterapkan pada semua jenjang sekolahan. Hal ini merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh kepala sekolah dan komite sekolah dalam rangka membantu siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Agar anak didik tidak merasa minder atau malu akibat terdata sebagai anak kurang mampu, maka persoalan ini menjadi pekerjaan antara orang tua, komite sekolah dan kepala sekolah. Tugas anak adalah belajar dan jangan dilibatkan untuk urusan keuangan dan biaya sekolah. “Celakanya kalau orang tua kurang peduli. Orang tua maunya terima bersih dan menyerahkan semua persoalan sekolah kepada anak dan pihak sekolah,” tuturnya. Selain subsidi silang, program BOS (bantuan operasional sekolah) dari pemerintah dapat meringankan biaya sekolah. Sayangnya, sistim yang diterapkan masih menggunakan paket. Sehingga, semua siswa dapat bantuan tanpa melihat apakah anak tersebut orang tuanya kaya atau miskin. Dana BOS semestinya lebih banyak diperuntukkan bagi kebutuhan sekolah anak dari kalangan keluarga miskin. “Sistim paket perlu dirubah dengan sistim yang lebih rinci. Sebenarnya hal ini bias dilakukan. Kuncinya ada di komite sekolah dan kepala sekolah dituntut lebih kreatif dan berpihak pada siswa,” imbuhnya.(ano)


Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's