MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

22 Juni 2007

Tradisi Bernama Penerimaan Siswa Baru

Penerimaan Siswa Baru (PSB) tingkat satuan pendidikan mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) semisal Play Group, Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak (TK) Raudhat al Alfal (RA) Tarbiat al Banin, sampai pendidikan dasar (SD/MI) hingga menengah atas (SMA/MA/SMK) akan digelar Juni 2007 mendatang. Akan tetapi di beberapa satuan pendidikan sudah mulai secara diam-diam menerima siswa baru dengan dalih rekruitmen siswa agar lebih selektif dan berkualitas. Tidak sedikit orang tua siswa menitipkan bukti tanda jadi berupa akte kelahiran, ijazah, ataupun uang untuk sekedar memastikan bahwa minat anaknya atau orang tuanya sendiri ke sekolah tersebut sangat tinggi. PSB pun tidak dapat mengghindari perang

spanduk yang semakin hari semakin meramaikan ruang publik reklame di Salatiga. Spanduk yang berisi informasi sistem PSB dari sekolah yang bersangkutan tersebut terkadang dipenuhi janji dan fasilitasi yang harus dibuktikan oleh masyarakat pengguna itu sendiri. Sekolahsekolah

swasta dan atau sekolah-sekolah negeri pinggiran kota, sudah siap dengan membentuk tim sukses agar PSB kali ini dapat diserbu oleh para peminatnya. Bahkan di beberapa sekolah melibatkan siswanya untuk diterjunkan ke lapangan walaupun hanya sekedar membagi-bagikan brosur kepada calon siswanya. Tidak sedikit siswa-siswi SMA tertentu siap dengan segepok brosur dan berdiri di depan pintu gerbang sekolah sembari menunggu siswa SMP yang baru selesai UN tanggal 24-26 April kemarin. Sementara itu sekolah-sekolah favorit sudah mulai

mengatur strategi bagaimana memanfaatkan momentum ini untuk menaikan citra sekolah agar

lebih bergengsi untuk masa-masa mendatang Hal di atas merupakan sekelumit tradisi dan fenomena rutinitas Penerimaan Siswa Baru. Ini terkadang juga merupakan puncak gunung es yang di bawah permukaan masih kita temui problem PSB yang tidak sederhana dan butuh penyelesaian secara arif agar pendidikan di Kota Salatiga dapat transparan, akuntabel, maju dan sesuai dengan cita-cita kota pendidikan. Lihatlah misalnya praktek titipan dengan dalih Bina

lingkungan (bilung), intervensi pihak-pihak tertentu dalam PSB, hubungan yang renggang antara komite dan sekolah dalam PSB, tarif PSB, rebutan calon peserta, berkahnya sekolah unggulan dan musibahnya sekolah pinggiran, regulasi PSB dan banyak hal lagi yang butuh penanganan lebih serius. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari menerbitkan surat

edaran, juklak - juknis, sosialisasi, koordinasi, monev (monitoring dan evaluasi) PSB sampai kebijakan-kebijakan yang melindungi pengguna pendidikan. Akan tetapi masyarakat harus tetap

ekstra jeli akan hal PSB ini, karena ini menyangkut nasib dan perkembangan serta kemajuan generasi muda kita. Di beberapa wilayah masyarakat sudah terpola dengan sendirinya mengenai PSB ini. Kaum kosmopolitan kota sedang berusaha menerima perubahan dan diversitas budaya sebagai hal yang paralel dengan perluasan demokrasi, tingkat kemapanan ekonomi serta kemajuan teknologi. Mereka mulai kritis dengan PSB, mulai melirik sekolah yang bertanggung jawab, maju dan punya program yang berwawasan ke depan. Mereka juga tidak membeda-bedakan sekolah negeri atau swasta. Sepanjang anak-anak mereka nyaman, aman dan dapat beradaptasi dengan perubahan budaya yang dikembangkan sekolah yang bersangkutan masalah

dana bagi mereka nomor dua. Sedangkan kaum konservatif kota dan kaum tradisional desa terus

berupaya mencari perlindungan di sekolah negeri, biaya murah dan maju untuk merebut kursi dalam PSB dengan modal apa adanya. Dua hal tadi tidak identik dengan prilaku dan pilihan yang satu baik sementara yang lainnya buruk atau sebaliknya, namun perbedaan dan persamaan dalam melihat PSB bagi masyarakat merupakan cermin dari tingkat kemajuan serta akses pendidikan bagi masyarakat kita sendiri.

Input, Proses dan Output

Jika kita berasumsi bahwa PSB dilakukan dengan baik, maka kehidupan pendidikan dan persekolahan akan lebih baik pula, karena PSB adalah sistem pertama dalam membuka dan menerima anggota baru bagi satuan pendidikan. Baik dan bagus inputnya, baik dan bagus prosesnya maka dapat dipastikan outputnya unggul. Untuk dapat menggapai output yang unggul masyarakatpun harus dapat terlibat dan memberikan kontribusi ke arah itu melalui saluran Komite Sekolah. Kendala yang dihadapi dapat diretas oleh kekuatan kolegial yang dimiliki sekolah, komite dan stakeholder lainnya. Dalam hal ini ada beberapa tawaran yang dapat dicermati untuk dapat dikembangkan, misalnya: Pertama, jika kita lebih melihat PSB lebih

berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif, kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan siswa menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan pada visi misi sekolah yang baru, maka PSB dapat diarahkan untuk mendukung visi misi sekolah tersebut. Kedua, jika kita menilai sistem PSB tidak kunjung berubah secara signifikan dari tahun ke tahun, ia berjalan secara konvensional, tradisional dan

monoton, maka sistem PSB dapat saja dicanggihkan secara terbuka dengan sistem on line yang dapat dipantau, diikuti perkembangannya dari detik perdetik. Ketiga, jika kita menilai bahwa pendekatan PSB cenderung normatif, tanpa ilustrasi konteks social budaya yang melatarinya maka kita dapat saja kita mengusulkan untuk share calon siswa dapat dilakukan secara adil dan bijak, sehingga tidak terjadi penumpukan dan kelebihan pada satu-dua sekolah sementara sekolah lain tidak mendapat satupun penambahan jumlah siswa yang signifikan malah dari

tahun ke tahun mengalami penurunan yang drastis, dan akhirnya sekolah tersebut di regrouping atau bahkan ditutup sama sekali. Keempat, jika kita melihat bahwa kegiatan PSB umumnya bersifat menyendiri, kurang berinteraksi dengan program sekolah yang lain, bersifat marjinal dan periferal, maka ke depan PSB harus dilihat menjadi bagian yang integral dalam sistem perencanaan sekolah yang matang. PSB adalah ujung tombak dari standar nasional pendidikan yang terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara

berencana dan berkala. Standar tersebut tidak dapat terpenuhi jika Penerimaan Siswa Baru dilakukan secara amburadul. Kelima, jika kita menilai bahwa perencanaan PSB kurang diimbangi dengan nuansa profesional, maka masyarakat berhak untuk dapat membantu melalui

saluran Komite Sekolah yang dijamin oleh undang-undang. Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Memang Tidak adil menimpakan tanggung jawab atas munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan PSB itu kepada sekolah, sebab peran masyarakat juga harus didorong agar PSB dapat disempurnakan.

Bagaimana dengan Bilung ?

Issu yang sempat menghangat era PSB tahun 2006 adalah bilung. Ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua. Bilung adalah Bina Lingkungan yang merupakan praktek Penerimaan Siswa Baru (PSB) untuk kepentingan kedekatan emosional dan sosial antara satuan pendidikan dengan masyarakat sekitarnya. Karena praktek ini disalahgunakan untuk kepentingan tertentu maka praktek ini semestinya dilarang. Praktek Bilung juga dilarang adalah yang mengarah pada pemusatan kekuatan kebijakan PSB oleh satu atau lebih pelaku pendidikan yang mengakibatkan dikuasainya sistem dan atau mekanisme atas PSB dan atau jasa tertentu dalam PSB sehingga menimbulkan upaya tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan pengguna pendidikan atau

masyarakat umum. Praktek bilung juga dilarang yang mengarah pada bentuk perjanjian yang merupakan suatu perbuatan satu atau lebih pelaku pendidikan untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih masyarakat pengguna pendidikan dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Praktek bilung hendaknya juga dilarang yang mengarah pada bentuk persekongkolan atau konspirasi dalam PSB yang berbentuk kerjasama dilakukan oleh pelaku

pendidikan dengan pelaku pendidikan lain dengan maksud untuk menguasai sistem dan mekanisme PSB. Karena untuk memenuhi kebutuhan kelas yang dibatasi secara maksimum katakanlah 40 (empat puluh) siswa, demi prinsip keadilan dan kesempatan yang sama bagi masyarakat pengguna pendidikan maka dilarang menggunakan praktek bilung dan atau penerimaan siswa baru diluar jalur resmi dan atau penerimaan siswa baru diluar prosedur yang telah ditetapkan. Untuk itu masyarakat perlu mengawasi, dan pelaku pendidikan di satuan pendidikan tertentu patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan praktek bilung jika terjadi perbedaan jumlah siswa yang diterima dengan yang diumumkan melalui hasil PSB. Lebih jauh dari itu pelaku pendidikan dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan masyarakat pengguna pendidikan yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh masyarakat pengguna pendidikan lain untuk PSB dan atau jasa

yang sama. Masyarakat hendaknya juga dituntut untuk kritis dan cermat dalam hal ini. Benar bahwa UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dengan jelas mengatur hak dan kewajiban warga negara, orang tua dan masyarakat, akan tetapi itu semua dapat dilakukan jika kita mau dan proaktif. Sama halnya jika juga harus proaktif dalam mengusung, mengusulkan dan ikut terlibat dalam rencana penyusunan Raperda Pendidikan kota Salatiga, kalau kita memilih cuek, jangan salahkah kalau 10-20 tahun mendatang akan lahir generasi cuek.

Penulis adalah sekretaris Dewan Pendidikan

Kota dan Kepala Pusat Sistem Informasi

Manajemen STAIN Salatiga

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's