Hari Jadi Salatiga yang diperingati setiap tanggal 24 Juli, selalu membuka memori kita tentang sosok Raja Bhanu. Sayang, tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang pribadi Raja Bhanu. Hanya sedikit informasi yang dapat diakses menyebutkan bahwa Bhanu adalah raja pertama dan pendiri Dinasti Syailendra, dinasti bercorak Buddha Mahayana, yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. (baca: wikipedia.com)
Di Salatiga, Raja Bhanu dikenal sebagai raja yang mewarisi sebuah Prasasti Plumpungan, yang berada di wilayah Kelurahan Kauman Kidul. Warga setempat menyebut prasasti tersebut dengan istilah batu tulis.
Memahami isi prasasti tersebut (tertulis: Srir astu swasti prajabhyah / semoga bahagia, selamatlah rakyatku sekalian) menunjukkan bahwa Raja Bhanu merupakan pemimpin yang mempertemukan relasi agama dan negara. Bhanu menggunakan bahasa agama (Buddha) dalam menyapa rakyat. Pada waktu yang sama, Bhanu juga memberikan daerah Hampra (kini Salatiga) sebagai tanah Perdikan atau daerah bebas pajak. Sebuah kebijakan seorang pemimpin untuk menyejahterakan rakyatnya.
Relasi agama dan negara memang sudah dikenal sejak lama. Meski demikian, relasi tersebut tidak selamanya berjalan harmonis. Terkadang hubungan agama dan negara juga mengalami ketegangan.
Sedikitnya terdapat empat paradigma relasi agama dan negara yang kita kenal. Pertama, adalah negara agama, menempatkan nilai-nilai agama sebagai dasar membangun negara. Kedua, negara anti agama, negara sekuler yang melarang rakyatnya untuk memeluk suatu agama. Ketiga, negara mengakomodir agama, memfasilitasi dan melindungi masyarakat dalam beragama. Keempat, negara acuh tak acuh dengan agama, memberi kebebasan an-sich kepada masyarakat dalam beragama tanpa memfasilitasinya.
Raja Bhanu merupakan sosok pemimpin yang mempertemukan relasi agama dan negara secara harmonis. Nilai agama (Budhha) menjadi fundamen dalam membangun berbangsa dan bernegara. Bhanu telah memberi contoh yang baik di daerah Hampra alias Salatiga, yakni dengan semangat nilai agama senantiasa memikirkan nasib rakyat.
Bagaimana dengan sekarang? Sulit mengategorikan bahwa negara kita adalah negara agama. Lebih tepatnya negara kita adalah negara yang mengakomodir agama, memfasilitasi dan melindungi masyarakat dalam beragama. Meskipun definisi ini sangat membuka ruang polemik. Apalagi negara yang menggunakan label agama pun bukan jaminan dapat mensejahterakan rakyat.
Apapun istilahnya, apapun paradigmanya, selama negara tidak mampu memikirkan dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat, maka itu yang menjadi persoalan kita bersama. Untuk itu, pada peringatan Hari Jadi Salatiga ke- 1257 ini, tidak ada salahnya, bahkan penting, untuk melakukan refleksi, koreksi, serta meneladani sikap arif bijaksana (wisdoom) para pendahulu, khususnya Raja Bhanu.(*)
Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar