MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

30 Juli 2007

Anda Butuh Ruang Publik ?



Oleh : Mullie Swasto Pramidyo



Ditengah terik matahari kemarau dan letihnya badan karena sehabis membereskan promo dari ujung ke pojok kota, saya bersama teman saya Untung Saptono sejenak rehat di pintu sebelah timur Pemkot yang jarang dibuka.

Sambil memandang lepas ke rerumputan lapangan, saya terlibat rerasanan dengan teman saya – enak juga ya duduk-duduk istirahat disini dan tidak terasa tempat itu kami jadikan semacam “rest area” yang sering kita kenal selama ini.

Teman saya langsung menyambar pembicaraan dengan mengatakan bahwa uniknya disini – maksudnya dibawah pohon beringin ada sumber airnya, yang ternyata baik digunakan oleh para masyarakat, PKL di seputar lapangan Pancasila.

Ditengah minimnya ruang publik yang memang disiapkan didesain untuk keperluan itu kapan dibangun ruang publik dibangun dengan fasilitas yang memadai? Bukankah dinamika sosial yang pluralistik dan karakter publik urban di Salatiga surat lama mengisyaratkan pada Pemkot untuk mengakomodasikan “ruang publik”.

Lihat saja banyak orang orang muda yang “menciptakan” ruang mereka sendiri, seperti di pojok pojok lapangan Pancasila di depan kios Polres, di seputar STAIN, di depan Bank Jateng, di Pertokoan Tamansari dan di depan UK. Satya Wacana.

Timbulnya “komunitas marginal” informal itu hampir semua kalau kita perhatikan semuanya hampir pasti di depannya ada semacam open space – ruang terbuka, yang membuat pandangan tidak terbentur bentur. Di sisi lain teduhnya pepohonan juga menjadikan orang kerasan berlama-lama.

Komunitas yang ada beragam dari yang sekedar nongkrong buang sebel sampai ke yang klab-klab motor atau otomaotif, bahkan di depan UKSW kalau musim kemarau para pekerja seni yang diprakarsai oleh PRRW – Perupa rupa rupa warnanya setiap hari minggu memajang lukisan di trotroar karena tidak punya tempat, kasian.

Di Korean ada sebuah jalan yang bernama Picaso street yang setiap akhir minggu para pekerja seni, para pelukis oleh pemerintah disediakan pedestrian tempat untuk pejalan kaki, untuk buka dasar menjajakan hasil karya seninya pada publik. sebuah Pemerintah yang betul-betul mengerti kebutuhan warganya.

Beberapa tahun lalu saya pernah diundang pada sebuah pertemuan di Pemkot untuk membicarakan menjadikan Salatiga sebagai kota transit wisata yang mengandalkan jalan kaki, atau semacam city walk. Sayangnya keriuhkan omongan pejabat di rapat tidak sepadan dengan keriuhan dalam realisasi.

Ruang public atau public space di Salatiga yang konon cocok karena klimatologi yang mendukung tidak memimpikan Medison Evenue atau East 57th Street yang ada di New York atau Taman Menteng, misalnya. Tetapi pemkot punya kepekaan dimana publik berkumpul Pemkot memfasilitasi, tentu saja selama visible

Alun-alun Pancasila yang setiap hari jadi lintasan pejalan kaki kenapa Pemkot tidak membuatkan saja ditengahnya promenade atau jalur pejalan kaki agar rumput terjaga keberadaannya ? Ruang public tidak saja diperlukan untuk sebuah kota dimana warganya dapat saling berinteraksi tetapi juga bisa berfungsi semacam “katup pengaman” bagi masyarakat aras rumput.

Sebagai ruang untuk saling berkomunikasi masyarakat urban Salatiga yang plural itu, sebagai pentil pengaman agar tidak “meledak” jadi vandalisme atau apa saja yang jadi pemicu brutalitas sosial. Bukan tidak mungkin seorang suami, istri , anak yang stresnya memuncak jadi jinak setelah ngobrol dengan manusia lain di ruang publik.

Asal semua proporsional. Di Jepang setiap akhir pekan para manager atau siapa saja biasanya bertemu untuk khusus “ngobrol” dan guyon ngalor ngidul – sebab dari sini bisa lahir ide ide cemerlang yang perlu dalam pengambilan keputusan kelak.

Tentu ada masa orang harus bekerja tidak ngobrol di ruang publik terus terusan yang menjadikannya verbalisme alias omong doang. Diruang ini orang akan segan, karena ada semacam tekanan sosial, ada semacam kontrol sosial.

Ruang publik juga bisa berbentuk adanya fasilitas panggung musik atau hiburan lainnya. Paradigma Salatiga sebagai kota Olah raga nampaknya sudah mulai bergeser- mungkin karena ‘motor penggeraknya’ sudah mulai edging alias “menua”.

Kini Musik mulai mengambil peran, taruhlah seperti munculnya Widi AFI, atau yang akhir-akhir ini adik-adik kita yang tergambumg di Workstation yang jadi kelompok jagoan nomor satu di kontes Gudang Garam Rock Compatition di Indosiar yang pesertanya Nasional itu.

Kelompok musik di Kota ini yang begitu menjamur bakal bungah kalau mereka disediakan panggung gratis diakhir pekan – toh Pemkot punya asset yang repersentatif untuk itu. Banyak group yang bahkan mau membayar untuk bisa manggung agar go public. Ide beginian semestinya datang dari DKS yang aksesibel untuk kesenian.

Demand dari public sudah ada tinggal kepekaan para pejabat pengambil keputusan dan inilah kebutuhan publik Salatiga di yang berusia 1257 pada 24 Juli 2007. Semua berubah tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's