Namanya Hermansyah Monginsidi, penampilannya tegas, raut wajahnya kuwat dan berkarakter. Runtut pembicaraannya mengalir dan perlahan tidak sekeras perwakannya. Dia adalah salah satu pencetak atlet karete ternama, bukan di tingkat nasional saja tapi juga internasional.
Laki-laki paruh baya ini sejak umur 8 tahun sudah berlatih olah raga adu jotos ini. Maka tidaklah mustahil saat ini Mongin, begitu akarab disapa mampu mengasuh atletnya menjadi yang terbaik. Sebagai contoh pada PON di Kalimantan Timur kemarin atletnya mampu mendulang emas, perak dan perunggu.
Yang mengherankan adalah atlet yang paling sukses selama ini adalah anak kandungnya sendiri. Bapak dari tiga bersaudara Puspa Aprilia, Imam Tauhid Ragananda dan Puspita Triagustin tidak mengistimewakan anaknya dalam latihan. “Semua anak didik saya anggap sebagai anak sendiri, jadi tidak ada perbedaan dalam keseharian apalagi dalam hal latihan karate. Keberhasilan mereka ditentukan oleh keteguhan mereka sendiri dalam latihan” papar Mongin.
“Tidak hanya saya istri saya Debora Sri Juwati juga mengasuh mereka sebagai anaknya sendiri. Terkadang ibu mengantar anak-anak ke sekolah juga datang sendiri mengurus administrasi mereka” tambah Mongin.
Ditanya tentang prestasi yang telah diraih para atlet, Mongin sudah lupa karena saking banyaknya. “Saya juga baru saja disuruh mengumpulkan data prestasi atlet sedah 1999-sekarang. Bayangkan tahun 1999 kami belum punya komputer, saya harus buka file kabinet lagi karena data diketik dengan mesin tik manual” terang Mongin.
Yang menonjol dan yang diingat Mongin memaparkan atletnya ada yang sampai pada kejuaraan dunia. Puspita anak kandungnya menjadi Juara Islamic Woman di Taheran, Sea Games Philipina, dan AKF di Makau, sekarang dia masih di Malaysia. Pada PON kemarin rata-rata atletnya mendulang medali. Atlet yang mewakili Jateng mendapatkan Emas, Perak dan Perunggu. Ada juga yang dipakai Provinsi lain juga mampu mempersembahkan emas.
“Átlet yang dididik di sini rata-rata menempati rangking 1-3 di tingkat nasional, baik usia dini, pemula, kadet, yunior dan senior. Prestasi ini dapat diraih karena dukungan semua pihak baik masyarakat sekitar Dojo, pemkot, teman pengurus FORKI dan sama masyarakat bela diri” ungkap laki-laki berambut cepak ini.
Kediamannya di Cabean Kelurahan Mangunsari Salatiga yang menjadi satu dengan Dojo Schreuder tempatnya mengodok anak didik. Nama Schreuder adalah terinspirasi dari jasa seorang Belanda bernama Antonius Johanes Schreuder yang sudi membiayai pendidikan atletnya.
Tempat latihan ini tidak dibangunsecara pribadi karena keterbatasan dana yang dialokasikan. Keperluan gizi dan pendidikan juga membutuhkan banyak dana. “Beberapa waktu silam kami mendapat kucuran dana 60 juta dari Pemkot Salatiga. Jelas dana tersebut kurang jika kami bangun tempat latihan, akhirnya semua dana saya serahkan bapak Yulianto, SE. MM salah seorang pemborong di Salatiga ini. Entah berapa kurangnya saya sendiri tidak tahu, dan sekarang Dojo telah berdiri seperti sekarang ini” tambah Mongin.
Mengenai pendidikan anak-anak, Mongin berjuang sekuat tenaga dan menempuh segala upaya diantaranya dengan menekuni bisnis tanaman hias dan jual nasi goreng. “Saya mengerjakan itu adalah untuk membiayai para atlet agar tidak hanya karir atlet yang menonjol tapi juga pendidikannya. Jual mie dan nasi goreng itu adalah warisan dari kakek dulu untuk membiayai atlet. Sedangkan jual bunga dapat menambah kebutuhan yang lain. Beberapa waktu yang lalu ketika jenis anturium harganya melambung, saya dapat mengkuliahkan anak-anak” tambah Mongin.
Mongin mengingatkan, bahwa jadi manusia harus tekun pada bidangnya masing-masing dan jangan serakah. Jika orang bisa mensyukuri nikmat Tuhan pasti sukses hidupnya, karena sukses kuncinya syukur, sabar dan doa.(lux)
Laki-laki paruh baya ini sejak umur 8 tahun sudah berlatih olah raga adu jotos ini. Maka tidaklah mustahil saat ini Mongin, begitu akarab disapa mampu mengasuh atletnya menjadi yang terbaik. Sebagai contoh pada PON di Kalimantan Timur kemarin atletnya mampu mendulang emas, perak dan perunggu.
Yang mengherankan adalah atlet yang paling sukses selama ini adalah anak kandungnya sendiri. Bapak dari tiga bersaudara Puspa Aprilia, Imam Tauhid Ragananda dan Puspita Triagustin tidak mengistimewakan anaknya dalam latihan. “Semua anak didik saya anggap sebagai anak sendiri, jadi tidak ada perbedaan dalam keseharian apalagi dalam hal latihan karate. Keberhasilan mereka ditentukan oleh keteguhan mereka sendiri dalam latihan” papar Mongin.
“Tidak hanya saya istri saya Debora Sri Juwati juga mengasuh mereka sebagai anaknya sendiri. Terkadang ibu mengantar anak-anak ke sekolah juga datang sendiri mengurus administrasi mereka” tambah Mongin.
Ditanya tentang prestasi yang telah diraih para atlet, Mongin sudah lupa karena saking banyaknya. “Saya juga baru saja disuruh mengumpulkan data prestasi atlet sedah 1999-sekarang. Bayangkan tahun 1999 kami belum punya komputer, saya harus buka file kabinet lagi karena data diketik dengan mesin tik manual” terang Mongin.
Yang menonjol dan yang diingat Mongin memaparkan atletnya ada yang sampai pada kejuaraan dunia. Puspita anak kandungnya menjadi Juara Islamic Woman di Taheran, Sea Games Philipina, dan AKF di Makau, sekarang dia masih di Malaysia. Pada PON kemarin rata-rata atletnya mendulang medali. Atlet yang mewakili Jateng mendapatkan Emas, Perak dan Perunggu. Ada juga yang dipakai Provinsi lain juga mampu mempersembahkan emas.
“Átlet yang dididik di sini rata-rata menempati rangking 1-3 di tingkat nasional, baik usia dini, pemula, kadet, yunior dan senior. Prestasi ini dapat diraih karena dukungan semua pihak baik masyarakat sekitar Dojo, pemkot, teman pengurus FORKI dan sama masyarakat bela diri” ungkap laki-laki berambut cepak ini.
Kediamannya di Cabean Kelurahan Mangunsari Salatiga yang menjadi satu dengan Dojo Schreuder tempatnya mengodok anak didik. Nama Schreuder adalah terinspirasi dari jasa seorang Belanda bernama Antonius Johanes Schreuder yang sudi membiayai pendidikan atletnya.
Tempat latihan ini tidak dibangunsecara pribadi karena keterbatasan dana yang dialokasikan. Keperluan gizi dan pendidikan juga membutuhkan banyak dana. “Beberapa waktu silam kami mendapat kucuran dana 60 juta dari Pemkot Salatiga. Jelas dana tersebut kurang jika kami bangun tempat latihan, akhirnya semua dana saya serahkan bapak Yulianto, SE. MM salah seorang pemborong di Salatiga ini. Entah berapa kurangnya saya sendiri tidak tahu, dan sekarang Dojo telah berdiri seperti sekarang ini” tambah Mongin.
Mengenai pendidikan anak-anak, Mongin berjuang sekuat tenaga dan menempuh segala upaya diantaranya dengan menekuni bisnis tanaman hias dan jual nasi goreng. “Saya mengerjakan itu adalah untuk membiayai para atlet agar tidak hanya karir atlet yang menonjol tapi juga pendidikannya. Jual mie dan nasi goreng itu adalah warisan dari kakek dulu untuk membiayai atlet. Sedangkan jual bunga dapat menambah kebutuhan yang lain. Beberapa waktu yang lalu ketika jenis anturium harganya melambung, saya dapat mengkuliahkan anak-anak” tambah Mongin.
Mongin mengingatkan, bahwa jadi manusia harus tekun pada bidangnya masing-masing dan jangan serakah. Jika orang bisa mensyukuri nikmat Tuhan pasti sukses hidupnya, karena sukses kuncinya syukur, sabar dan doa.(lux)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar