MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

10 September 2008

ARTIKEL: ragam Kaedah Penentuan Awal Bulan Puasa


MUH YUHRI
RAGAM KAEDAH
PENENTUAN BULAN SYAWAL

Syariat Islam tentang Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha

Bermula dari perintah puasa yang disebutkan dalam Al-Quran surah al-Baqarah 183 dan 185. Pada ayat 183 disebutkan “Hai orang-orang mukmin, ditetapkan atas kamu menjalankan puasa seperti yang telah ditetapkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahkan kamu bertaqwa.” Di tengah-tengah ayat 185 disebutkan “…barang siapa berada di bulan Ramadhan supaya berpuasa…”

Akan halnya syari'at Ibadah haji, sebuah hadis menyebutkan “Haji itu (wukuf) di Arafah (pada tanggal 9 Zulhijjah).” Untuk mendapatkan tanggal 9 Zulhijjah diperlukan penetapan tanggal 1 Zulhijjah. Karenanya diperlukan kegiatan seperti menjelang tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal.
Tidak seorang Islam pun membantah bahwa puasa Ramadhan dimulai pada tanggal satu, dan dikerjakan sebulan penuh. Persoalannya, kapan tanggal satu?

Untuk memahami bagaimana memasuki Ramadhan dalam ayat tersebut diperlukan bantuan keterangan hadis Nabi

(Bila kamu melihat bulan berpuasalah dan bila kamu melihat bulan ber-Idul Fitri-lah. Bila terlindung awan maka perkirakanlah).

Berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis tersebut, orang Islam melakukan ru`yah di akhir bulan Qamariyah, tepatnya tanggal 29. Ru`yah pada tanggal 30 tidak ada gunanya karena berhasil melihat bulan atau tidak, hari berikutnya adalah tanggal satu bulan berikutnya, karena usia bulan Qamariyah itu maksimum 30 hari.

Seperti halnya terhadap perhitungan awal waktu shalat, ilmu pengetahuan --astronomi, matematika, fisika, dan lain-lain-- memberikan kontribusi dalam menetapkan awal Ramadhan dan 1 Syawal, menjelma dalam Ilmu Hisab/Falak. Terdapat ayat-ayat Alquran yang merangsang untuk kepentingan ini. Misalnya, “(Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakan, ia tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.(Q.S. al-Baqarah; 189)

"(Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan menentukan posisi-posisi agar kamu mengetahui perhitungan tahun dan bilangan waktu)."
(Q.S. Yunus; 5)
tandan

"(Matahari itu beredar pada garis edarnya. Begitulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Mengetahui. Bulan itu Kami tentukan posisi-posisinya hingga kembali (lagi) bentuknya seperti
tua (melengkung)." (Q.S. Yasin; 38-39)
"Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan."(Q.S. al-Rahman; 5)

Ayat-ayat tentang benda-benda langit dan peredarannya benar-benar menggairahkan cendekia muslim menelusuri peredaran matahari dan bulan. Akhirnya posisi-posisi bulan dan matahari dalam peredarannya dapat diperkirakan dengan Ilmu Hisab/Falak. Dengan Ilmu ini kita dapat memperkirakan apakah hilal dapat dilihat ketika matahari terbenam dalam memasuki bulan Qamariyah. Lebih dari itu kita dapat mengetahui di arah mana ia mengambil posisi, di sebelah kanan atau kiri matahari, berapa derajat jaraknya dengan matahari, dan berapa lama bulan itu berada di atas horizon dan seterusnya. Informasi hasil peritungan ilmu ini memudahkan pelaku rukyah menentukan arah pandangnya ke benda langit yang dituju, dalam hal ini bulan sabit. Pelaku rukyah tidak boleh semaunya sendiri mengarahkan pandangannya dan tidak pula dengan mudah memutuskan bahwa benda berwarna kuning yang dilihatnya adalah bulan sabit.

Syari'at membutuhkan Hisab
Tadinya penetapan permulaan puasa Ramadhan dan Idul Fitri dilakukan dengan rukyah. Ini dapat dimengerti karena masyarakat Nabi dikenal sebagai masyarakat ummiy. Di kalangan mereka budaya tulis-baca dan ilmu hitung tidak populer. Sebuah hadis riwayat al-Bukhari menyatakan, “Kita adalah masyarakat ummiy, tidak (berilmu) menulis dan menghitung. Bulan itu sekian (dua puluh sembilan hari) dan sekian (tigapuluh hari).”

Dalil yang dijadikan penguat melakukan rukyat adalah hadis yang berbunyi
(bila kamu melihat bulan berpuasalah dan bila melihatnya ber-Idul Fitri lah. Bila kamu terlindung oleh awan maka taqdirkanlah.)

Kata faqduru lahu dapat dipahami dengan arti menyempurnakan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari, berdasarkan hadis “jika kamu terlindung awan, perkirakanlah tiga puluh hari, dan hadis “…sempurnakanlah bilangan hari menjadi tiga puluh.”
Namun demikian ada juga yang memahami faqduru lahu dengan arti agar memperkirakan bahwa hari ke 30 itu sudah bulan baru (ganti bulan). Dengan kata lain, bila pada tanggal 29 Sya'ban atau Ramadhan dilakukan rukyah ternyata bulan terlindung awan, maka menurut pemikiran ini, hari berikutnya (hari ke 30) adalah sudah bulan baru (Ramadhan atau Syawal).

Setelah perkembangan ilmu pengetahuan tentang alam raya yang melibatkan matematika menunjukkan kemajuan yang menggembirakan, mulailah penetapan awal bulan Qamariyah dilakukan dengan hisab. Langkah ini diambil dengan pertimbangan:
Ø Rukyah bukan persoalan eskatologik, tetapi persoalan fisik kosmologik, yang didekati dengan indera dan ilmu pengetahuan.
Ø Informasi ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan informasi indera, karena ilmu pengetahuan didasarkan empiri inderawi dan untuk kepentingan ini.
Ø Informasi ilmu pengetahuan lebih akurat dari pada informasi indera, dalam hal ini penglihatan. Mata berkata, rel kereta api yang sejajar itu semakin jauh semakin menyempit, tetapi ilmu pengetahuan berkata, ia tidak menyempit, tetapi jaraknya tetap sama.

Karenanya tidak mengherankan kalau untuk menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri para ahli Falak menyediakan hasil hisab sebagai ganti dari rukyah. Hal yang sama diterapkan juga ketika hendak mengerjakan shalat wajib, kita tidak perlu keluar rumah melihat posisi matahari atau mencermati syafaq dan fajar, tetapi cukup melihat jadwal waktu shalat hasil hisab dan jam, karena kita mempercayai hasil ilmu pengetahuan. Dalil naqli yang dijadikan landasan antara lain ayat Al-Quran dan hadis Nabi

Dari ayat dan hadis tersebut dapat diketahui bahwa hilal adalah 'alamatusy-syahr. Target utama ilmu hisab di sini adalah memberi informasi tentang posisi hilal sebagai 'alamutusy-syahr tadi. Kata faqdurū lah dipahami dengan “maka perkirakanlah” yang wujudnya perhitungan hisab. Boleh jadi bulan yang diperkirakan itu berusia 29 hari, bisa juga 30 hari. Adapun hadis dengan redaksi lain dipandang sebagai riwayat bil ma'na dengan hadis ini, yang di dalamnya terdapat peluang intervensi periwayat. Tentu, asumsi di atas tetap dipakai, bahwa hasil hisab tidak bertentangan dengan informasi indera. Karenanya, secara ilmiah, hasil hisab harus selalu dikonfirmasikan dengan temuan indera.

Atas dasar pemikiran bahwa ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan indera, bahkan lebih unggul, maka bila hasil hisab mengatakan bahwa bulan tidak wujud di atas horizon ketika matahari terbenam, maka secara empiri, bulan tidak akan dapat dirukyah. Pengakuan melihat bulan ketika rukyah yang bertentangan dengan hasil hisab perlu dipertanyakan. Sebaliknya, bila hasil hisab berkata bahwa bulan itu wujud di atas horizon, ia tidak otomatis kelihatan ketika dilakukan rukyah. Ini dipengaruhi oleh banyak hal, seperti, ketinggian hilal yang minim, azimut antara matahari dengan bulan terlalu dekat, atau karena cuaca yang tidak mendukung. Artinya, keberadaan bulan di atas ufuk tidak menjamin dapat dilihat. Hal inilah yang membuka peluang perbedaan penetapan permulaan Ramadhan/Syawal antara pemegang hisab dengan pemegang rukyah. Yang akan menggembirakan ialah, bila hisab berkata “bulan dapat dilihat” karena dalam posisi ideal, dan hasil rukyah pun begitu, seperti Ramadhan tahun 1419 H ini, Insya Allah.

Mengapa usia bulan Qamariyah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari, karena dalam Ilmu Hisab, usia bulan Qamariyah rata-rata, atau peredaran bulan mengelilingi bumi dari sebuah titik ke titik semula sejauh 3600 adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Setelah diadakan perhitungan cermat, usia tahun Qamariyah adalah 354 hari 8 jam 48,5 menit, yang kalau disederhanakan menjadi 354 11/30 hari. Titik permulaan perjalanan peredaran bulan disebut ijtima'. Dengan demikian, hisab murni mendefinisikan bulan (syahr/wulan) adalah “dari ijtima' ke ijtima'.” Ijtima' adalah keberadaan bulan dengan matahari dalam satu garis (longitude) dilihat dari bumi. Peristiwa ini terjadi pada waktu yang sama, ada yang sedang berada pada siang hari, ada yang sedang berada pada malam hari, pagi hari, petang hari, dan sebagainya.

Hasil perhitungan para ahli Ilmu Hisab --misalnya waktu terjadinya ijtima' akhir bulan Sya'ban tahun tertentu-- terkadang berbeda karena perbedaan buku rujukan yang dipakai. Masing-masing rumus yang dituangkan dalam buku Ilmu Hisab dimaksudkan memudahkan penghitungan. Adalah merupakan sunnatullah bahwa ilmu jenis ini berkembang terus, begitu juga alat yang digunakan. Tadinya, perhitungan tata surya dituangkan dalam Rubu' mujayyab. Kemudian perhitungan itu disempurnakan dan dipopulerkan dengan ilmu segitiga bola langit. Alat hitung yang digunakan tadinya angka biasa, kemudian daftar logaritma, dan akhirnya kalkulator. Alat-alat mutaakhir memberikan kontribusi bahwa hasil perhitungannya akan lebih halus dan akurat dari yang lebih tua. Misalnya, hasil perhitungan dengan daftar logaritma yang menyediakan 5 atau 4 desimal di belakang koma akan kalah akurat dibanding hasil perhitungan dengan kalkulator yang memuat delapan 8 atau 9 desimal di belakang koma. Ini menunjukkan bahwa temuan rumus-rumus mutaakhir menyempurnakan rumus-rumus tua. Tentu saja begitu, karena ilmu mutaakhir merupakan pengembangannya, bukan berdiri sendiri.

Di lapangan kita dapati sebagian orang menggunakan perangkat tua, sebagian perangkat mutaakhir. Misalnya, apa yang disebut hisab taqribi menyediakan rumus untuk menghitung tinggi hilal sebagai berikut: Tinggi hilal = Ghurub dikurangi Ijtima' dibagi 2, tanpa memperhitungkan sisi lain. Tentu, untuk ukuran sekarang, rumus ini terasa terlalu simpel, perlu diperhalus. Sebab, dalam kasus tertentu, perhitungan taqribi menunjukkan, bulan sudah mungkin terlihat, sedangkan hisab modern menunjukkan belum mungkin.

Dalam menghitung tinggi hilal terjadi penyempurnaan, misalnya, apa yang dimaksud tinggi hilal itu 4 derajat. Perhitungan kasar biasanya memberi informasi bahwa dimaksud dengan 4 derajat adalah dihitung dari titik pusat bulan. Padahal, bagian bulan yang dilihat bukan titik tengahnya, tetapi piringan bulan bagian bawah. Karenanya diperlukan pula pembedaan antara ufuq haqiqi dan ufuq mar`i. Bukan hanya itu, besar sinar yang diterima oleh bulan dari mata hari serta ketinggian lokasi observasi ikut diperhitungkan.

Ragam Kaedah Penetapan Awal Bulan Qamariyah
Namun demikian, hasil perhitungan Hisab dengan perangkat mutaakhir cenderung sama. Kalau terjadi perbedaan, selisihnya tidak terlalu jauh karena perbedaan pembulatan angka ketika melakukan penghitungan. Kendati hasil hisab tidak berbeda mencolok, tetapi penetapan awal bulan Qamariyah bisa berbeda karena perbedaan mereka akan komitmen terhadap hasil hisab dan petunjuk syara'. Setidaknya, dapat kita temukan perbedaan kaedah penetapan awal bulan Qamariyah dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut:
1.Bila ijtima' terjadi sebelum shubuh/fajar, -- misalnya ijtima' terjadi pada malam Senin jam 02.00 -- maka hari Senin itu juga dimulai puasa Ramadhan. Tidak penting, apakah sore hari Ahad menjelang Senin itu wujud atau tidak. Pendapat ini memiliki komitmen yang kuat terhadap temuan Falakiyah bahwa batas pergantian bulan adalah ijtima'. Jadi, ijtima' sebelum subuh dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan; 2.Bila ijtima' terjadi sebelum ghurubusy-syamsi dan bulan telah wujud --seberapa pun tingginya-- ketika matahari terbenam, --misalnya ijtima` terjadi pada pada jam 13.00 siang hari Selasa, dan diperkirakan ketika matahari terbenam nanti bulan sudah wujud, sungguh pun belum kelihatan (belum imkan ru`yah),-- maka Hari Rabu sudah masuk tanggal 1 Ramadhan/Syawal. Pemikiran ini mengkonversi ru`yah dengan hisab. Pemikiran ini tidak menerima pemikiran pertama (1) karena ijtima' ba'dal ghurub menggambarkan bahwa hilal belum wujud, apalagi dirukyah; 3. Bila ijtimak terjadi jauh sebelum matahari terbenam, dan ketika matahari terbenam, bulan diperkirakan dapat dilihat, maka hari berikutnya adalah tanggal 1 Ramadhan/ Syawal. Misalnya ijtima' terjadi pada hari Jumat jam 5 pagi. Ketika matahari terbenam, tinggi hilal 5 derajat. Informasi lain mengatakan, hilal berpeluang dirukyah. Maka hari Sabtunya tanggal 1 bulan berikutnya. Persoalannya, batasan imkan rukyah belum ada kesepakatan. Imkan rukyah tidak cukup diukur dengan ketinggian hilal, tetapi harus diperhitungkan pula besar sinar matahari yang diterima bulan sehingga bulan tampak. Faktor cuaca tidak kalah menarik untuk diperhitungkan.

Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan mereka menangkap ajaran dari dalil yang sama. Yang dipentingkan oleh ajaran agama itu bunyi teks ataukah rahasia di balik teks, itulah yang menjadi titik perbedaan mengambil keputusan Fikih. Menarik untuk disimak adalah ketika dari suatu jihad, Rasulullah memerintahkan agar para shahabat tidak shalat 'Ashar sebelum sampai di kampung Quraidzah. Hari sudah sore. Sebagian shahabat mengerjakan perintah itu apa adanya kendati waktu 'Ashar sudah habis. Sementara, shahabat lain menangkap perintah itu bertujuan agar kaum muslimin berjalan cepat sampai di Quraidzah, sampai di sana masih 'Ashar. Karennya mereka mengerjakan shalat 'Ashar di perjalanan, bukan di Quraidzah sebagaimana diperintahkan. Yang penting mereka secepatnya mendapatkan Quraidzah. Kelompok pertama tidak menangkap perintah itu bertujuan percepatan perjalanan. Nah, yang mana pun mereka tidak disalahkan oleh Rasulullah.

Kembali kepada perintah ru`yah, ada yang menangkap bahwa syahr itu diukur dengan rukyah hilal. Ada pula yang setelah mendalami ilmu, syahr itu tidak harus hilalnya kelihatan, cukup dengan wujud hilal. Hilal adalah álamatus syahr. 'Alamatus syahr dapat diganti dengan apa yang dicapai oleh ilmu. Ada pula yang berpandangan ilmu murni, bahwa syahr itu dari ijtima' ke ijtima'. Ini semua mempunyai implikasi perbedaan hasil penetapan awal bulan Qmariyah.

Penutup
Demikian Uraian tentang Perbedaan Kaedah Penentuan awal bulan Qamariyah semoga ada gunanya. Mohon maaf bila terdapat istilah teknis yang tidak mudah dimengerti.

*Penulis adalah
Guru Besar STAIN Salatiga

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's