Kampung Gejangan
Sebuah kampung yang terletak di Kelurahan Sidorejo Kidul ini adalah sebuah kampung yang tenang. Memang seperti halnya kampung lain di pinggiran Kota Salatiga, Kampung ini masih rimbun dengan berbagai jenis pohon yang membuat udara di sekitarnya menjadi sejuk. Sebagai sebuah kampung, disana berdiri beberapa rumah menjadi sekumpulan pemukiman.
Menurut Mbah Salamun, yang dulu pernah juga menjabat sebagai Bekel dan Kaur Pemerintahan Sidorejo Kidul, sebagai sebuah Kampung, Gejagan tergolong sebagai kampung yang tua. Namun pada Jaman Penjajahan Jepang banyak warga kampung yang pergi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan “antren beras” sama seperti dengan kupon pembagian Raskin sekarang. Hal ini ditempuh agar supaya mereka tidak mati kelaparan. Karena Penjajah Jepang menerapkan sistem pembagian daerah untuk membedakan daerah perkotaan dan pedesaan. Pada saat itu berlaku pembagian Kupon “Antern Beras”, hanya kepada rakyat yang tinggal di wilayah perkotaan (Si).
Mbah Salamun kembali menuturkan, rakyat yang saat itu dipaksa penjajah Jepang untuk menanam Pohon Jarak pada lahan pertaniannya, terpaksa tidak menikmati hasil pangan karena panen yang dihasilkan hanya pohon jarak. Mantan Bekel yang sekarang berusia 90 tahun ini menuturkan bagaimana dia melihat dan mengalami sendiri kesengsaraan yang menimpa rakyat saat itu. “Kamu tahu, JARAK, itu sebenarnya rakyat banyak yang 'diajar dan dilarak-larak (dihajar, diseret, disakiti)',” kata Pria yang terlihat masih segar bugar ini.
Kampung Gejagan kemudian menjadi sepi karena semua penduduknya memilih mengungsi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan “antren beras”. Seperti kita tahu jaman Penjajahan Jepang bahan pangan seperti beras, adalah barang langka. Hingga rakyat banyak yang mati karena kelaparan.
Awal mula disebut kampung Gejagan, kata Mbah Salamun, terjadi ketika jaman raja-raja jawa dahulu. Ada banyak pembesar istana yang mekukan perkelahian di daerah itu. Mereka berkelahi atau dalam istillah Jawa “Gejag”(=gelut, berkelahi), perang tanding sampai mati. Satu sama lain saling beradu kesaktian, saling mempertahankan prinsip masing-masing, dengan adu kekuatan bahkan sampai berhari-hari.
Saat perkelahian berlangsung kondisi lingkungan di sekitarnya pasti menjadi rusak dan menimbulkan suara keributan yang terdengar sampai radius yang jauh. Orang-orang awam menjadi takut untuk keluar rumah dan hanya berani mendengar keributan dari dalam rumah. Tanda sebuah perkelahian telah selesai adalah selesainya juga bunyi keributan yang mereka dengar. Cerita ini secara turun-temurun dituturkan secara lisan dari mulut ke mulut oleh masyarakat kampung Gejagan dan kampung-kampung lain disekitarnya.
Sekarang, di kampung ini tidak terdengar lagi adanya perkelahian. Yang ada hanyalah kedamaian para penghuni kampung. Kampung yang dulu pernah menjadi kampung mati, karena tak lagi berpenghuni, sekarang rejo (ramai) kembali.(shk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar