MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

13 Agustus 2008

LAPORAN UTAMA: Salatiga Transit Wisata; Budaya dan Jati Diri; Kembangkan Pariwisata Lewat Kesenian

Salatiga Transit Wisata

Fungsi Salatiga, salah satunya,
dirumuskan sebagai kota transit wisata.
Rumusan yang terkandung dalam
Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 1996,
tentang Rencana Umum
Tata Ruang Kota itu,
saat ini sudah berusia hampir 12 tahun.
Di tengah kemajuan dan perubahan zaman,
apakah rumusan Salatiga sebagai
“kota transit wisata” masih relevan?

Wakil Ketua DPRD Kota Salatiga, Kasmun Saparaus menilai penting untuk menggagas ulang fungsi kota Salatiga. Terlebih pada tanggal 24 Juli 2008, Salatiga memperingati hari jadi ke-1258. Usia yang sangat tua bagi perjalanan peradaban masyarakat kota.

“Sebagai masyarakat yang berbudaya, kita perlu untuk melakukan refleksi dalam rangka melihat masa lalu, koreksi saat ini serta proyeksi ke depan,” tutur Kasmun yang juga anggota tim perumus hari jadi Salatiga ini.

Istilah pariwisata di tengah gelombang abad ke-21 masih cukup populer dan marketable. Terlebih persoalan pariwisata terkait dengan kebudayaan.
Sejumlah pakar budaya mensinyalir bahwa teori Alvin Toffler yang terkenal dengan istilah The Third Wave atau gelombang ketiga, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi kenyataan. Sebagaimana kemajuan peradaban sebelumnya di bidang pertanian dan industri.

Para pakar budaya meyakini bahwa ke depan, akan muncul gelombang keempat yang ditandai dengan kebangkitan budaya. Budaya menjadi sesuatu yang penting karena merupakan harta karun yang dapat mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat.

Kota Salatiga sesungguhnya mempunyai potensi harta karun kebudayaan tersebut. Sebab, Salatiga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah panjang Dinasti Syailendra yang didirikan oleh Raja Bhanu. Hal ini dikuatkan dengan adanya prasasti Plumpungan di wilayah Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo.

Prasasti berjenis caila dengan bobot mati 20 ton, terbuat dari batu jenis adenit berukuran 170 cm x 160 cm dengan garis lingkar 5 meter itu, dipahat menggunakan tulisan bahasa Kawi (Jawa kuno). Menurut para ahli sejarah prasasti tersebut dibuat pada waktu 672 Saka atau hari Jumat, 24 Juli tahun 750 Masehi.

Walikota Salatiga, John M Manoppo menyadari bahwa Salatiga mempunyai potensi luar biasa karena warisan sejarah dan kebudayaan. Salatiga, secara geografis, juga mempunyai potensi sebagai daerah sabuk gunung Merbabu dan Merapi, yang dikapit kota-kota besar seperti Jogjakarta, Solo dan Semarang atau Joglosemar. Karena itu, rumusan Salatiga sebagai kota transit wisata masih relevan dan menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai upaya untuk menarik wisatawan singgah di kota Salatiga, Walikota Salatiga telah melakukan berbagai upaya strategis. Diantaranya, dengan menjadikan Salatiga sebagai tempat penginapan para peserta dan oficial kegiatan The Secound Indonesia Open Woodball International Championship 2008, yang diikuti peserta dari sejumlah negara Asia. Kegiatan tersebut sebenarnya diselenggarakan di Etasia Tlatar, Boyolali.

”Tidak usah tergesa-gesa meninggalkan kota Salatiga, silahkan tinggal di sini untuk sebulan atau dua bulan,” kelakar John mempromosikan kota Salatiga di hadapan para tamunya, pada acara welcome dinner di halaman gedung Pemkot Salatiga, 27 Juni 2008 lalu.

Sementara itu, Kasmun Saparaus lebih lanjut mengatakan bahwa fungsi Salatiga sebagai kota transit wisata masih relevan. Persoalannya, ke depan Salatiga jangan hanya puas dengan status kota transit wisata. Sudah saatnya Salatiga menjadi kota tujuan pariwisata.

”Kalau hanya dijadikan sebagai kota transit, maka targetnya sekedar bagaimana para pengunjung bisa mampir di kota Salatiga. Padahal, Salatiga mempunyai potensi luar biasa yang dapat digarap, sehingga pengunjung yang singgah di Salatiga juga bisa menikmati potensi budaya yang ada,” ujarnya.

Salatiga, kata Kasmun, mempunyai nilai-nilai budaya yang dapat digali, baik dari segi fisik maupun normatif. Sayangnya, nilai-nilai tersebut belum terekam dengan baik dan belum menjadi kesadaran permanen bagi masyarakat. Celakanya lagi, pihak eksekutif dan legislatif kurang cerdas dalam menggali potensi kota Salatiga di bidang kebudayaan tersebut. Padahal, fondasi budaya suatu masyarakat bisa menjadi kunci keberhasilan pembangunan.

”Salatiga mempunyai nilai budaya normatif yang berkembang sejak masa Raja Bhanu sampai sekarang. Yakni, jati diri masyarakat yang mengedepankan kedamaian, rukun, toleran, loyal dan pekerja keras. Sedangkan nilai kultural secara fisik dikuatkan oleh peninggalan prasasti Plumpungan,” jelas Kasmun.

Nilai-nilai kultural tersebut jika tidak diperhatikan bisa terancam luntur dan hilang. Hal ini disebabkan oleh kesibukan masyarakat yang hanya berorientasi pada kegiatan rutinitas sehari-hari. Pada waktu yang sama, pemerintah belum secara maksimal menyediakan sarana dan prasarana bagi masyarakat untuk memperoleh kesempatan me-review potensi nilai-nilai budaya tersebut.

Karena itu, Kasmun bependapat bahwa sudah saatnya potensi yang dimiliki tersebut dikembangkan dan dieksploitasi untuk mendukung fungsi Salatiga sebagai kota wisata. Misalnya, dengan membuat miniatur prasati Plumpungan dengan ukuran besar. Perlu juga menonjolkan huruf Jawa kuno yang tertuang dalam prasati Plumpungan tersebut. Sebab, di Jawa Tengah, bahkan di Indonesia, peninggalan sejarah dengan tulisan huruf Jawa kuno menggunakan bahasa Sansekerta hanya ada di kota Salatiga.

”Pariwisata itu sifatnya atraktif. Oleh karena itu, Dinas Pariwisata harus cerdas membaca potensi untuk dieksploitasi menjadi sesuatu yang atraktif,” tandasnya. Untuk menopang itu semua, Kasmun yakin, sebenarnya tidak ada masalah dengan alasan kurang anggaran. Disinyalir yang ada adalah kurang komitmen dan kurang sumberdaya manusia.

”Tinggal bagaimana komitmen pemerintah dan kemauan untuk merekrut SDM (sumberdaya manusia) yang mumpuni. Kalau memang harus mengontrak orang dari luar negeri, kenapa tidak? Sepak bola saja bisa mencari pelatih dari luar negeri,” saran Kasmun.(ano)
=====================================================


Budaya dan Jati Diri

Seabad kebangkitan nasional telah menimbulkan semangat nasionalisme pada pelestarian budaya bangsa. Pelestarian budaya menjadi sangat penting agar identitas diri sebagai bangsa yang luhur dan berbudaya tidak luntur oleh pengaruh budaya asing.

Peradaban yang semakin serba modern membuat generasi muda kita mulai gamang. Parahnya, mereka tidak memahami pentingnya pelestarian budaya sendiri. Didukung oleh berbagai benturan dengan budaya asing, budaya lokal semakin tidak dihargai dan cenderung dilupakan.


Kebudayaan sebagai hasil karya dan cipta manusia yang berkembang searah dengan perubahan jaman hendaknya disikapi secara lebih bijak. Dengan berbudaya berarti kita memiliki jati diri dan tidak perlu khawatir bila dianggap kuno atau ketinggalan jaman.


Kemajuan jaman dan pengaruh budaya asing adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dihindari. Meskipun demikian, kita harus memahami bahwa yang kita butuhkan adalah kemajuan yang bertanggung jawab. Yakni, kemajuan terhadap sikap hidup yang lebih cerdas, kritis, dan selektif serta tidak merusak kondisi budaya setempat.


Berkembang Bersama Budaya
Dalam menapakkan diri sebagai kota budaya, Salatiga tidak terlepas dari ikatan sejarah masa lalu yang banyak melatarbelakangi perkembangan seni budayanya. Hasilnya pun masih dapat kita lihat hingga saat ini. Berbagai seni budaya dapat kita jumpai di kota Hati Beriman ini. Seni budaya ini merupakan hasil akulturasi budaya lokal dengan budaya luar yang dipengaruhi unsur Cina, Belanda, dan daerah sekitar seperti Yogyakarta, Semarang, dan Solo.

Seni budaya di Salatiga semakin berkembang dan mengalami kemajuan. Buktinya, partisipasi, perhatian, dan peranan pemerintah, pemerhati budaya, dan para pelaku budaya semakin meningkat. Ketiga pihak ini berupaya nguri-uri (memelihara) seni budaya bangsa. Caranya dengan mengadakan berbagai kegiatan dan mendirikan beraneka sanggar yang secara aktif mengikuti kegiatan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.


Pelestarian kebudayaan yang terus-menerus dan berkesinambungan ini merupakan hasil kerja sama banyak pihak. Dinas Pariwisata Seni Budaya dan Olah Raga (Disparsenibud) Kota Salatiga melakukan koordinasi dan kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng, BP3 Yogyakarta (Balai Penelitian Pelestarian Purbakala Yogyakarta), ISI (Institut Seni Indonesia) Solo, DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah) Provinsi Jateng, dan FPBI (Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia). Disparsenibud juga bekerja sama dengan para pelaku seni di Kota Salatiga seperti PEPADI (Persatuan pedalangan Indonesia), DKKS (Dewan Kesenian Kota Salatiga, Bidang PERMADANI (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) dan elemen-elemen masyarakat yang peduli kebudayaan.


Membangun Seni Budaya
Untuk mengantisipasi semakin tipisnya minat generasi muda terhadap budaya lokal, diperlukan berbagai upaya strategis. Upaya ini harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat luas.

Salah satu langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah menghidupkan budaya itu sebagai suatu kebiasaan dalam keseharian. Misalnya, menanamkan nilai-nilai unggah ungguh atau sopan santun dan berbahasa Jawa dengan tepat. Langkah sederhana lainnya adalah mengembangkan bakat dan minat menari Jawa dan tembang (lagu) Jawa, dan bergabung dengan sanggar, grup, atau paguyuban seni budaya.


Ketertarikan terhadap seni budaya lokal harus ditanamkan sejak dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Gerakan sosialisasi dan sadar budaya diharapkan dapat mendukung keberlangsungan nilai-nilai dan citra budaya yang dijunjung tinggi, seiring dengan semangat kebangkitan nasional.

Sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas seni dan budaya, Disparsenibud melaksanakan pembinaan, peningkatan, pengembangan, pelestarian, dan kemajuan kebudayaan. Disparsenibud mengambil langkah-langkah strategis yang akan diterapkan hingga 2012 nanti.

Upaya strategis ini dibagi dalam empat program, yaitu pengembangan nilai-nilai budaya, peningkatan dan pengelolaan kekayaan budaya, pengelolaan keragaman budaya, dan pengembangan kerja sama pengelolaan kekayaan budaya. Program pengembangan nilai-nilai budaya meliputi kegiatan pengembangan pelestarian sejarah dan museum, pengembangan sejarah dan purbakala, serta pengurusan cagar budaya pelestarian dan aktualisasi adat budaya daerah. Sebagai dasar pelaksanaan dalam melestarikan cagar budaya adalah Undang-Undang Nomor 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 10/1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5/1992.


Program peningkatan dan pengelolaan kekayaan budaya dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pengelolaan dan pelestarian budaya daerah. Program ini mencakup kegiatan fasilitasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kekayaan budaya dan penyusunan kebijakan pengelolaan kekayaan budaya lokal daerah.


Program pengelolaan keragaman budaya dalam rangka meningkatkan daya tarik seni dan budaya daerah terdiri atas lima kegiatan. Lima kegiatan tersebut adalah pengembangan kesenian dan kebudayaan daerah, penyusunan sistem informasi basis data di bidang kebudayaan, fasilitasi perkembangan keragaman budaya daerah, fasilitasi penyelenggaraan festival budaya daerah, dan seminar dalam rangka revitalisasi dan reaktualisasi (mengangkat) budaya lokal.


Program pengembangan kerja sama pengelolaan kekayaan budaya dalam rangka meningkatkan jaringan kemitraan dalam pelestarian kekayaan budaya daerah dilaksankan dengan memfasilitasi pengembangan kemitraan dengan LSM dan perusahaan swasta serta memfasilitasi pembentukan kemitraan usaha profesi antardaerah.


Penerapan berbagai program tersebut memerlukan kerja sama berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan pariwisata dan seni budaya.


Demokratis
Sesuai dengan sebutannya sebagai Indonesia mini, Salatiga memiliki penduduk yang berasal dari berbagai suku, agama, dan budaya. Kebhinekaan ini menjadikan Salatiga sebagai wilayah yang cukup rawan konflik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang mantap berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945.

Kebhinekaan inilah yang menjadi latar belakang berdirinya Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) Kota Salatiga. FPBI berupaya mendorong terbangunnya kesatuan bangsa yang utuh dan berdasarkan pada keadilan sosial, hak asasi manusia, dan nilai-nilai demokrasi. Upaya ini dilakukan melalui pendidikan pengenalan dan pemahaman keanekaragaman kultur dan budaya, dialog dan musyawarah, serta kampanye kritis bagi membangun persaudaraan bangsa. Forum yang berdiri pada 10 April 2004 ini merupakan hasil kesepakatan rapat dari unsur beragam suku bangsa di Indonesia yang berada di Salatiga. Aneka suku itu adalah Jawa, Bali, Sunda, Madura, Minang, Batak, Bugis, Toraja, Halmahera, Sumba, Papua, Tionghoa, dan Maluku.


Di era reformasi, demokratisasi merupakan wahana yang harus terus-menerus dikembangkan dan ditindaklanjuti dalam menjaga kondisi suasana tertib, tentram, saling tenggang rasa demi menjaga kesatuan bangsa untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di era otonomi daerah, arah kebijakan yang ditempuh Pemerintah Kota Salatiga adalah mengembangkan sikap terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, yang dilaksanakan pemerintah bersama masyarakat.


Oleh karenanya, di bidang kebudayaan dan keseniaan pun, pemerintah tetap memberikan perhatian. Pemerintah mengadakan pembinaan terhadap kelompok seni budaya. Pemerintah juga mengadakan bermacam pelatihan, seperti pelatihan pakeliran padat, pelatihan tari dan tata rias pengantin, dan pelatihan pambiyoworo. Pemerintah Kota Salatiga juga aktif mengirim peserta lomba/festival seni tradisional, seperti lomba menyanyi, tari, festival dalang, festival suarawati dan pentas dalam rangka penyambutan tamu-tamu tertentu, serta berpartisipasi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas/instansi terkait di tingkat provinsi.(ind)

==========================================================

Kembangkan Pariwisata Lewat Kesenian

Sudah sejak lama, Kota Salatiga memiliki Tri Fungsi Kota Salatiga. Tri fungsi ini meliputi kota pendidikan dan olah raga; kota jasa perdagangan; serta kota tujuan wisata dan pariwisata.
Oleh karena itulah kota ini terus berbenah dan mempercantik diri untuk mewujudkan fungsi-fungsi tersebut. Untuk menunjang fungsi kota tujuan wisata dan pariwisata, Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga bersama segenap elemen masyarakat bahu-membahu menggali, membina, mengembangkan serta melestarikan berbagai bentuk kesenian yang tumbuh di masyarakat. Upaya ini sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan kepariwisataan yang sedang menggeliat di Kota Salatiga.

Dewan Kesenian Kota Salatiga (DKS) sebagai salah satu unsur masyarakat dalam pengembangan potensi seni juga memiliki andil dalam menarik perhatian masyarakat kepada seni. Hasilnya, para pelaku seni di Salatiga, sedikit demi sedikit, mendapat tempat di hati masyarakat dengan apresiasi (penghargaan) yang baik. Kesenian menjadi penunjang dan pemanis kepariwisataan di Salatiga tanpa mengaburkan dan mengerdilkan idealisme yang diusung dan menjiwai proses berkesenian itu sendiri

Dalam edisi ini, reporter Hati Beriman berkesempatan menuliskan petikan wawancara dengan Ketua DKS, Didik Endaryanto.

Bagaimana perkembangan kesenian di Kota Salatiga?
Proses berkesenian dan pengembangan kesenian di Salatiga tidak terlepas dari peran Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga dalam perencanaan strategis untuk mengembangkan kesenian itu sendiri. Perencanaan yang selama ini berjalan masih sepenggal-sepenggal dan belum terkoordinasi dengan baik antara pemkot sebagai pengambil kebijakan dengan para pelaku seni yang setiap saat bergelut dengan dunia seni dan kesenian yang ditekuninya.

Bagaimana seharusnya koordinasi itu dibangun?
Dewan Kesenian baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota pada hakikatnya bertindak sebagai pendamping pemkot dalam menyusun program-program seni budaya yang ada di daerahnya. Pemikiran bersama antara penentu kebijakan dan para pelaku seni akan dapat menggali, menyusun, serta merumuskan strategi pembinaan dan melaksanakan pembinaan melalui komunitasnya dan mengadakan evaluasi kegiatan seni dan budaya.

Dengan siapa sajakah koordinasi ini perlu dibangun?
Selama ini DKS lebih banyak berkoordinasi dengan Dinas Pariwisata, Seni Budaya, dan Olah Raga (Disparsenibud dan OR). Namun, koordinasi itu perlu dilakukan di tingkat yang lebih tinggi. Artinya, kerja sama dapat dilakukan bukan hanya dengan Disparesnibud dan OR, tetapi dengan dinas dan instansi lain yang terkait. Misalnya, untuk seni kriya dengan Dinas Koperasi dan UKM, seni landscape (pemandangan) dengan DPLH bidang pertamanan. Sementara, bidang regenerasi seni lewat jalur pendidikan dengan Dinas Pendidikan, dan lain sebagainya.

Seberapa penting hal itu dilakukan?
Sangat penting. Masalah kebudayaan dan pengembangan kesenian secara umum adalah masalah yang besar yang patut mendapat perhatian kita semua. Jangan sampai kita nanti kehilangan kesenian kita dan hanya menjadi penonton. Nilai-nilai yang dibawa dan tertuang dalam kesenian dan hasil seni ini sungguh tak ternilai harganya.

Kaitannya dengan kepariwisataan, apakah kesenian yang hidup di Salatiga dapat mendukung pengembangan kepariwisataan di Salatiga?
Tentu saja akan sangat mendukung karena kesenian akan mendatangkan daya tarik tersendiri kepada para wisatawan. Terlebih di Kota Salatiga yang, bila dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, relatif kalah dalam hal tujuan wisata. Untuk itu, perlu kecerdikan dengan mengangkat kesenian yang ada dan berkembang di kota ini untuk mendukungan kepariwisataan menjadi lebih bergeliat.

Kalau begitu, langkah apa yang dapat dilakukan oleh Salatiga?
Memang ada pertanyaan klasik yaitu 'Mau dibawa kemana pengembangan kesenian di Salatiga?'. DKS juga telah memikirkan hal itu. Dalam kaitannya dengan Salatiga sebagai Kota Tujuan Wisata, DKS berkeinginan supaya kesenian dapat mendukung kegiatan pariwisata melalui budaya khas. Selain itu, DKS juga ingin mempertahankan Kota Salatiga sebagai miniatur Indonesia dengan mengembangkan budaya nusantara dan kuliner nusantara serta terwujudnya pasar seni nusantara sebagai tempat pamer hasil-hasil seni. DKS pernah mengusulkan, untuk sementara, pasar seni itu diwujudkan dengan mengambil tempat di bekas terminal bus di daerah Soka, sebelum nantinya di pindah secara permanen di kompleks Salatiga Park yang masih dalam tahap perencanaan.

Apakah para pelaku seni di Salatiga dapat hidup dengan hanya berkesenian?
Di Kota Salatiga, pelaku seni dapat dipilah dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah para pelaku seni yang menganggap berkesenian adalah profesi. Mereka antara lain adalah seniman hiburan, seperti dalam bidang musik, tari, kerajinan, dan sebagainya. Sementara kelompok kedua adalah seniman yang memang hidup untuk berkarya, seperti seniman tradisi ketroprak, reog, dan sebagainya. Mereka dapat eksis karena ada idealisme (patokan hidup) untuk tetap berkarya, walaupun penghargaan masyarakat Salatiga pada dunia yang mereka usung masih sangat memprihatinkan. Memang, seniman dari kelompok seniman profesi lebih banyak menerima penghargaan materi yang lebih dibandingkan dengan seniman lain yang kesehariannya bermata pencaharian sebagai pekerja kasar, seperti tukang batu dan pengolah lahan pertanian.

Selama ini, bagaimana pola kaderisasi seni yang dilakukan oleh pelaku seni di Salatiga?
Kaderisasi kesenian sekarang ini baru berjalan melalui jalur sekolah. Yaitu, dengan pemuatan berbagai pelajaran seni di dalam kurikulum sekolah. Hal ini memang masih sangat terbatas mengingat keterbatasan anggaran dari dinas untuk membiayai berbagai kegiatan seni budaya, seperti pentas seni yang diadakan oleh sekolah.

Mengapa hal itu penting?
Pemberian ruang untuk tumbuh kembang kesenian lewat pentas seni di masing-masing sekolah akan merangsang tumbuhnya kesadaran akan kesenian dan kebudayaan. Nantinya, penghargaan dan apresiasi terhadap hasil seni dan budaya di masyarakat akan menjadi baik dan positif. Oleh karena itu, kegiatan seni di sekolah juga perlu mendapat perhatian, termasuk suntikan dana. Hal ini agar tidak ada kesan bahwa kegiatan seni budaya seperti terpinggirkan jika dibandingkan kegiatan olah raga.

Bentuk kesenian apa yang patut ditonjolkan oleh Kota Salatiga dalam rangka menunjang tujuannya sebagai Kota Tujuan Wisata?
Seni lukis, seni musik, seni vokal, seni tari tradisional adalah bentuk kesenian yang sudah mendapat pengakuan di tigkat internasional. Seperti kesenian barongsay dari Salatiga yang berhasil meraih juar ketiga di tingkat dunia.

Apa langkah selanjutnya yang patut diambil untuk mengembangkan seni budaya di Kota Salatiga?
Perlu hubungan yang sinergis (kompak) antara kelembagaan dan kedinasan dalam mencapai target yang diinginkan. Kalau hal itu tidak terjadi, atmosfer seni budaya di Kota Salatiga mustahil berkembang.(shk)

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's