Seni, Antara Nurani dan Himpitan Ekonomi
seni bukanlah barang murah.
Betapa banyak modal
yang harus direlakan untuk menghasilkan sebuah
karya seni, baik tenaga, materi, waktu, maupun pikiran.
Inilah yang menyebabkan lebih banyak seniman yang hidup susah.
Tak sedikit seniman yang berkualitas sekalipun harus berjibaku
dengan dunia yang penuh materi ini.
Bagaimanapun, mereka harus menghadapi kenyataan
bahwa senang membuat karya seni saja
tak cukup untuk melanjutkan hidup.
Seni telah diagungkan selama berabad-abad. Seni juga sudah menjadi kebutuhan dalam berekspresi, bahkan makanan bagi jiwa. Lebih dari itu, seni menawarkan ketenangan batin; membuat hidup lebih hidup; dan menyegarkan pikiran. Seni juga dimaknai sebagai penjaga peradaban.
Semua itu memang tidak salah. Buktinya, Presidan kita sekarang pun lebih senang melampiaskan perasaannya dengan membuat karya seni, yaitu lagu. Tetapi, seringkali pandangan semacam ini malah menjadi batu sandungan dan dapat merugikan seniman itu sendiri. Pandangan ini juga seperti menjadi pemakluman bahwa seniman layak untuk hidup susah dan kurang dihargai. Sebaliknya, banyak orang sukses berpendapat bahwa mereka yang beruntung dan bahagia adalah mereka yang menyenangi dan menikmati pekerjaannya. Seniman langsung digolongkan ke dalam tipe ini. Ini karena kebanyakan orang yang memilih menjadi seniman adalah karena mampu menghasilkan karya seni. Selain itu, karena mereka menyukai proses pembuatan karya seni itu sendiri dan karenanya dia adalah orang yang beruntung dan bahagia.
Idealisme yang TerbuangLantas, bagaimanakah para seniman menjalani kehidupan ini? Bagaimana mereka membiayai kebutuhan sehari–hari? Bagi seniman yang sudah terkenal, apalagi yang sudah go internasional tidaklah sulit untuk memenuhi kebutuhan materi. Seperti, mendiang Basuki Abdullah. Satu lukisannya bias dihargai hingga 50 juta rupiah, bahkan lebih. Sekarang bagaimana dengan seniman yang ada di sekitar kota kita?Adalah Budi, seorang pelukis sekaligus penjual lukisan yang biasa mangkal di Jalan Jenderal Sudirman, sebuah jalan protokol di Kota Salatiga yang dipenuhi dengan nafas kehidupan perekonomian Kota Salatiga yang hampir tidak pernah sepi. Berlatar belakang rumah dinas Walikota Salatiga, laki- laki setengah baya dengan rambut sebahu ini biasa memajang hasil karya lukisnya. Sebuah lukisan berukuran 60x100 sentimeter yang menggambarkan kuda yang sedang berlari kencang hanya dihargai 60 ribu rupiah. Ada juga lukisan Dewi Kuan Im dijual dengan harga yang sama. Budi menjelaskan, "Lukisan ini saya buat karena ada sebagian dari masyarakat yang menyukai jenis lukisan seperti ini.” Budi mengaku terpaksa membuat lukisan itu. “Tapi mau bagaimana lagi? Orientasi saya adalah pasar, jadi apa yang menjadi selera pasar itulah yang saya jual walau terkadang tidak sesuai dengan keinginan saya.”
Kondisi seniman seperti Budi memang lazim terjadi. Idealisme (patokan hidup) pribadi harus disingkirkan jauh–jauh. Pesanan dan keinginan pasar harus dikedepankan. Lebih lanjut, Budi menyatakan, kalau melukis sesuai hati nurani, dapur bisa tidak mengepul. Itulah resikonya apabila seniman bekerja sesuai hati nuraninya yang belum tentu sesuai selera konsumen. Padahal, Budi memiliki tiga anak yang semuanya membutuhkan nafkah.
Upaya BertahanSelain di Jalan Jend Sudirman Salatiga, pada hari–hari yang lain Budi memajang hasil karyanya di Ambarawa, terkadang di Ungaran. “Menjaring pembeli, Mas. Siapa tahu di Salatiga tidak laku tapi di Ambarawa atau Ungaran ada yang mau membeli,” kilahnya. Setiap kali memasarkan lukisan, pria yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta ini dapat membawa sekitar 25 lukisan sekaligus. Semua karya itu dia bawa hanya dengan menggunakan sebuah sepeda motor.
Dua bilah kayu diikat di bagian belakang motor itu dengan tali karet. Di kayu itulah Budi mengikat 25 karya lukisnya. Keadaan seperti itu telah dia tekuni selama sekitar 10 tahun terakhir. “Hampir tiap hari seperti ini. Siang hari saya melukis dan malam harinya saya keliling menjual lukisan,” jelasnya. Jika sedang beruntung, ada yang membeli lukisan. Bahkan, 20 lukisannya pernah terjual dalam waktu semalam. “Pernah juga tidak ada yang membeli, tapi tidak mengapa karena memang begitulah kondisinya,” ucapnya pasrah.
Seni Itu MahalSebenarnya, seni bukanlah barang murah. Betapa banyak modal yang harus direlakan untuk menghasilkan sebuah karya seni, baik tenaga, materi, waktu, maupun pikiran. Inilah yang menyebabkan lebih banyak seniman yang hidup susah. Tak sedikit seniman yang berkualitas sekalipun harus berjibaku dengan dunia yang penuh materi ini. Bagaimanapun, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa senang membuat karya seni saja tak cukup untuk melanjutkan hidup. Untuk dapat terus berkarya bukan hanya kepuasan pribadi yang perlu diperhatikan. Penghargaan atau apresiasi perlu diberikan kepada para seniman. Namun, yang lebih banyak terjadi adalah seniman tidak mendapat penghargaan yang layak. Bahkan, terkadang penghargaan berupa ucapan atas karya seni pun tidak keluar untuk seniman yang sudah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya.
Lupakan soal apresiasi dalam bentuk materi, apabila ucapan penghargaan terhadap suatu hasil karya saja sulit diutarakan. Inilah yang menyebabkan bekerja untuk seni adalah sesuatu yang berat. Kadang berekspresi harus terbentur dengan selera masyarakat yang ngoyo. Kurangnya apresiasi juga yang menyebabkan banyak orang berpikir dua kali untuk terjun ke dunia seni.(dji)
”Bahasa Jawa” Tumbuh Berkembang dari Kaum Remaja
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang banyak digunakan, baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, dalam perkembangannya budaya jawa mulai ditinggalkan, terutama di kalangan generasi muda, demikian dikatakan Sekretaris II (LPMK) Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah, Premono, S.Pd.
Menurutnya yang juga menjadi guru bahasa jawa di SMK Muhammadiyah Salatiga ini, di lingkungan keluarga dewasa ini, orang tua mulai meninggalkan bahasa jawa, diantaranya orang tua mulai menggunakan Bahasa Indonesia untuk mendidik anak-anaknya dalam bertutur kata. Sehingga Bahasa Jawa sebagai salah satu budaya jawa, bukan lagi menjadi bahasa sehari-hari, tetapi sudah menjadi bahasa yang begitu asing di kalangan remaja. Inilah yang menyebabkan, gradasi bahasa Jawa, akan menuju sebuah penggusuran zaman. Dikarenakan kaum mudanya sudah mulai mening-galkan bahasa Ibu, sebuah sinyal yang sangat ironis dan memprihatinkan.
Karena kalangan muda, yang notabene masih bersosialisasi di lingkungan masyarakat Jawa, tetapi sudah mulai enggan menggunakan bahasa Jawa. Dan lebih condong pada bahasa gaul, yang lebih memberikan nilai-nilai pergulatan yang berkonotasi pada perubahan zaman. Fenomena inilah yang barangkali, akan membuat bahasa Jawa kian terasing dari generasi muda. Juga bisa menjadi titik tolak tergesernya pola-pola budaya Jawa kian tercerabut dari bumi masyarakat Jawa.Apalagi dalam tingkah laku sehari-hari, jika ada orang tua mengingatkan anaknya, maka orang tua akan dianggap kuno dan tidak gaul.
Dengan demikian penanaman agama sejak dini sangatlah penting dalam melestarikan kebudayaan jawa. Bila ditanamkan iman kepada anak yang usianya sudah menginjak remaja seakan bagaikan membuat mie instant, yang dibuat secara cepat dan tidak akan bisa menerima nasihat dengan pikiran yang arif dan bijaksana.Budaya Jawa sangat perlu diuri-uri dengan harapan generasi muda akan mempunyai sopan santun terhadap siapa saja, yang sekarang sudah mulai terkikis bahkan dianggap remeh. Generasi Muda mulai kehilangan sopan, santun dan tepo seliro.Apalagi dengan ditiadakannya pelajaran bahasa jawa di sekolah beberapa tahun lalu, hal ini membuat para siswa kehilangan toto kromo dan sopan santun, bahkan tidak punya unggah-ungguh.
Jadi paradigma pendidik khususnya pengajar bahasa jawa, kebingungan dan kewalahan untuk menata anak-anak agar menerapkan sopan-santun baik di rumah, maupun di sekolah, bahkan dengan orang tua sendiripun tidak dapat boso kromo, orang tua dianggap seperti temannya sendiri.Sebagian kalangan remaja menganggap budaya jawa adalah budaya kuno dan tidak modern, namun orang-orang Suriname malah menggunakan budaya dan bahasa jawa. Seharusnyalah kita merasa kehilangan budaya sendiri yang diserap oleh bangsa lain. Apalagi terhadap kesenian jawa yang sering menampilkan pakaian rapi dan sopan, duduk dengan santun. Sebagai contoh adalah kesenian tradisional wayang kulit, keroncong, wayang orang dan kerawitan, teah dianggap kuno dan sangat tidak modern.
Namun kesenian yang bercorak hura-hura semi ngerock, jazz dengan penyanyi yang tidak mau menutup auratnya malah sangat diminati masyarakat kita.Secara signifikan, kalau kaum remaja sudah enggan dengan bahasa jawa, dengan begitu secara perlahan bahasa Jawa akan menjadi bahasa yang langka di masyarakat Jawa itu sendiri. Dari kaum remajalah bahasa Jawa bisa tumbuh dan tetap berkembang. Tetapi realitas di lapangan, fenomena bahasa gaul, terasa begitu menggerogoti bahasa Jawa. Hal itu tidak lepas dari sifat globalisasi yang telah mendoktrin generasi remaja dewasa ini.
Kalau kita lihat dari segi positifnya, bahasa Jawa tetap kecil mudharatnya dan besar manfaatnya. Dengan begitu, marilah kita mulai berbenah diri untuk menata anak-anak kita sejak dini, mari kita didik anak-anak kita dengan menggunakan bahasa jawa yang boso kromo, bukan ngoko, kita tanamkan dari keluarga kita masing-masing untuk senantiasa menggunakan boso kromo, karena dengan menggunakan bahasa jawa boso kromo di rumah itu akan lebih santun disbanding dengan bahasa jawa ngoko, sedangkan dilihat dari tingkat kesulitannya juga lebih sulit bahasa jawa, sehingga sekaligus akan mendidik anak kita untuk mencintai bahasa jawa sebagai salah satu budaya jawa.(bdi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar