Di tengah Kampung Nogosari (Nogosaren) Kelurahan Bugel, terdapat sebuah makam. Makam ini diyakini oleh masyarakat sebagai makam Mbah Kyai Nogosari. Dengan menggunakan sepeda motor, kita dapat mencapai tempat ini dalam waktu 15 menit dari pusat kota.
Di depan kompleks, kita akan menjumpai beberapa anak tangga dan pendopo kecil yang tenang. Rimbunan pohon bambu petung tampak menaungi petilasan yang terkesan damai itu. Petilasan ini juga dikelilingi pagar dari batu bata yang masih belum halus seluruhnya.
Meskipun namanya Nogosari, bukan berarti Mbah Kyai ini seorang penggemar kue nagasari. Masyarakat setempat menyakini bahwa Mbah Kyai Nogosari adalah seorang ulama muslim dari Keraton Surakarta. Ada juga orang yang menyebutnya makam punden. Ini karena Mbah Kyai Nogosari dianggap sebagai cikal bakal dan sesepuh Nogosaren.
Menurut warga sekitar petilasan, Kyai Nogosari dilahirkan di Keraton Surakarta dan merupakan keturunan Pangeran Samber Nyowo, cucu Amangkurat III. Beliau juga ikut menyebarkan syariat Islam di wilayah itu pada masa penjajahan Belanda (tahun 1980-an). Bahkan, Kyai Nogosari juga ikut berjuang melawan penjajah dengan menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Kyai Nogosari wafat pada tanggal 12 Sapar tahun 1850-an.
Meskipun petilasan ini sudah berusia ratusan tahun, kondisinya tampak sangat terawat. Memang, masyarakat kampung tersebut rajin merawat makam sesepuh kampung itu dan mendoakan arwahnya. Bahkan, mereka membangun kompleks makam dengan dana swadaya masyarakat pada tahun 2006. Hal ini dilakukan warga untuk menghormati makam seseorang yang dianggap sesepuh dan pendiri Kampung Nogosari.
Tak hanya itu, acara adat berupa sadranan Sapar juga dilakukan setiap hari Minggu terakhir di antara tanggal 20-27 Sapar. Hal itu dilakukan untuk memperingati Khoul Mbah Kyai Nogosari. Pada tanggal 12 Sapar diadakan Khataman Qur'an dan pengajian khusus di Masjid Kampung Nogosari.
Menurut Nur Salim, seorang warga yang tinggal di sekitar makam, banyak orang yang datang ke makam untuk nyekar (ziarah). Tak jarang di antara mereka berdoa agar apa yang mereka inginkan terkabul. “Kebanyakan (pengunjung) berasal dari luar kota, yakni sekitar Solo,” kata Nur. Mereka yang datang dengan niat dan keinginan yang baik sering kali mendapatkan apa yang diinginkan. Sebaliknya, bagi yang datang dengan niat buruk, keinginannya tidak akan terkabul. Konon, ada juga di antara peziarah yang mampu berkomunikasi langsung dengan Kyai Nogosari.
Terlepas akan benar atau tidaknya cerita tersebut, Nur Salim berpendapat, kepercayaan masyarakat terhadap berbagai cerita tentang makam Kyai Nogosari, memang tidak bisa dipaksakan. “Ada yang meragukan, namun juga banyak yang percaya karena mengalaminya sendiri,” pungkasnya.(shk)
Di depan kompleks, kita akan menjumpai beberapa anak tangga dan pendopo kecil yang tenang. Rimbunan pohon bambu petung tampak menaungi petilasan yang terkesan damai itu. Petilasan ini juga dikelilingi pagar dari batu bata yang masih belum halus seluruhnya.
Meskipun namanya Nogosari, bukan berarti Mbah Kyai ini seorang penggemar kue nagasari. Masyarakat setempat menyakini bahwa Mbah Kyai Nogosari adalah seorang ulama muslim dari Keraton Surakarta. Ada juga orang yang menyebutnya makam punden. Ini karena Mbah Kyai Nogosari dianggap sebagai cikal bakal dan sesepuh Nogosaren.
Menurut warga sekitar petilasan, Kyai Nogosari dilahirkan di Keraton Surakarta dan merupakan keturunan Pangeran Samber Nyowo, cucu Amangkurat III. Beliau juga ikut menyebarkan syariat Islam di wilayah itu pada masa penjajahan Belanda (tahun 1980-an). Bahkan, Kyai Nogosari juga ikut berjuang melawan penjajah dengan menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Kyai Nogosari wafat pada tanggal 12 Sapar tahun 1850-an.
Meskipun petilasan ini sudah berusia ratusan tahun, kondisinya tampak sangat terawat. Memang, masyarakat kampung tersebut rajin merawat makam sesepuh kampung itu dan mendoakan arwahnya. Bahkan, mereka membangun kompleks makam dengan dana swadaya masyarakat pada tahun 2006. Hal ini dilakukan warga untuk menghormati makam seseorang yang dianggap sesepuh dan pendiri Kampung Nogosari.
Tak hanya itu, acara adat berupa sadranan Sapar juga dilakukan setiap hari Minggu terakhir di antara tanggal 20-27 Sapar. Hal itu dilakukan untuk memperingati Khoul Mbah Kyai Nogosari. Pada tanggal 12 Sapar diadakan Khataman Qur'an dan pengajian khusus di Masjid Kampung Nogosari.
Menurut Nur Salim, seorang warga yang tinggal di sekitar makam, banyak orang yang datang ke makam untuk nyekar (ziarah). Tak jarang di antara mereka berdoa agar apa yang mereka inginkan terkabul. “Kebanyakan (pengunjung) berasal dari luar kota, yakni sekitar Solo,” kata Nur. Mereka yang datang dengan niat dan keinginan yang baik sering kali mendapatkan apa yang diinginkan. Sebaliknya, bagi yang datang dengan niat buruk, keinginannya tidak akan terkabul. Konon, ada juga di antara peziarah yang mampu berkomunikasi langsung dengan Kyai Nogosari.
Terlepas akan benar atau tidaknya cerita tersebut, Nur Salim berpendapat, kepercayaan masyarakat terhadap berbagai cerita tentang makam Kyai Nogosari, memang tidak bisa dipaksakan. “Ada yang meragukan, namun juga banyak yang percaya karena mengalaminya sendiri,” pungkasnya.(shk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar