Djisnozero 45*
Tahun 2008 ini Salatiga memperingati Hari Jadi yang ke-1258. Sebuah peringatan yang fantastis tua. Tapi pengakuan secara hukum baru ditetapkan pada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 1995, berdasarkan hasil penelitian Tim Peneliti atas Batu Prasasti Plumpungan.
Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno dan Bahasa Sansekerta itu mempunyai arti penting dalam membangun Salatiga ke depan. Seperti yang ditulis pada Buku Laporan Tim Penelitian Hari Jadi Salatiga (hal. 10), Bahwa penetapan hari jadi dapat memacu dan memiliki semangat untuk memajukan dan membangun daerahnya. Pembangunan daerah yang tentu berakar pada nilai-nilai budaya dan sejarahnya.
Berdasarkan tulisan di batu prasasti Plumpungan, sebuah kalimat “ srir = astu swasti prajabhyah “(ya, selamat, makmur dan bahagialah semua rakyat). Kalimat itu bukan sekedar salam, tapi adalah sebuah mantra. Kalimat sakti yang mengandung nilai-nilai sebagai dasar untuk membangun dalam mewujudkan keselamatan, kemakmuran dan kebahagian rakyat. Untuk mewujudkan itu tentunya melalui proses dan kesungguhan dari para penguasa berdasarkan konsekuen logis serta partisipasi masyarakat.
Hari Jadi Salatiga efektif diperingati sejak dikeluarkan Perda Nomor 15 Tahun 1995. Memperingati sebuah moment pada dasarnya mengingat dan memahami kembali nilai-nilai budaya dan sejarah dari moment itu sekaligus sebagai evaluasi dalam mewujudkan nilai-nili itu terhadap kesejahteraan rakyat. Maka diperlukan pemahaman, kesadaran dan ketulusan oleh semua pihak.
Memperingati Hari Jadi Salatiga berarti memahami Prasasti Plumpungan dengan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, meliputi budaya, sejarah, sosial dan pemerintahan. Termasuk memperingati dengan tata cara budaya dan sejarah, tidak sekedar seremonial dan festival/prosesi. Karena dengan tata cara budaya dan sejarah akan relatif lebih cepat proses memahami nilai-nilai yang terkandung, terutama memahami kalimat sakti ”srir–astu swasti prajabhyah“ sebagai sebuah visi dalam membangun Salatiga (prasasti pada era pemerintahan modern Salatiga, Hati Beriman). Akan sangat harmonis apabila srir = astu swasti prajabhyah bersinergi dengan Salatiga Hati Beriman dan Perundang-undangan serta peraturan-peraturan pemerintah (nasional) dalam mewujudkan pembangunan.
GUGON TUHON
Pada kehidupan masyarakat Jawa tumbuh “kepercayaan” gugon tuhon (gugon = gugu ; percaya, tuhon = tuhu ; setia) bahwa apabila tidak melaksanakan ajaran luhur (termasuk nilai budaya dan sejarah) akan kuwalat (menerima hukuman dari alam).
Kejadian-kejadian di Salatiga terutama yang berkaitan dengan pemerintahan yang berhubungan dengan hukum dan terpuruknya kehidupan masyarakat, semoga bukan kuwalat karena alpa menjalankan ajaran-ajaran luhur, baik yang bersifat budaya maupun perundang-undangan yang berlaku. Sebab pemerintahan di Salatiga dikelola dan dikendalikan oleh sumber daya manusia terpilih (minimal berpendidikan Strata 1).
Mengutip salah satu pada/bait dari sebuah karya besar, Serat Kalatidha karya Pujangga Raden Ngabehi Ronggawarsita :
Ratune ratu utama, patihe patih linuwih,
Pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik,
Parandene tan dadi, paliyasing kala bendu,
Malah mangkin andadra, rubeda kang ngreribeti,
Beda-beda hardane wong sanagara. (dhandhanggula)
Ratu/raja (pemimpin suatu wilayah) seorang pilihan, patih (pembantu utama raja) orang cakap dan intelek, pra nayaka (para pejabatnya) berkeinginan selamat dan sejahtera, panekare (para pegawainya) setia dan baik, namun kenyataannya tidak mampu mencegah zaman terkutuk, terjadi pelanggaran-pelanggaran karena berbeda-beda loba-angkaranya orang diseluruh negara.
Semoga dengan memperingati Hari Jadi ke-1258 Salatiga di tahun ini, sebagai pertanda bangkitnya kesadaran dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran luhur, untuk mewujudkan “srir = astu swasti prajabhyah” sekaligus Salatiga Hati Beriman. Karena rakyat Salatiga sangat merindukan. Pada peringatan Hari Jadi Salatiga tahun 2008 ini perkenankan saya tengarai dengan surya sengkala. “ESTHINING KALUHURAN MULYA KADULU”.
Tahun 2008 ini Salatiga memperingati Hari Jadi yang ke-1258. Sebuah peringatan yang fantastis tua. Tapi pengakuan secara hukum baru ditetapkan pada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 1995, berdasarkan hasil penelitian Tim Peneliti atas Batu Prasasti Plumpungan.
Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno dan Bahasa Sansekerta itu mempunyai arti penting dalam membangun Salatiga ke depan. Seperti yang ditulis pada Buku Laporan Tim Penelitian Hari Jadi Salatiga (hal. 10), Bahwa penetapan hari jadi dapat memacu dan memiliki semangat untuk memajukan dan membangun daerahnya. Pembangunan daerah yang tentu berakar pada nilai-nilai budaya dan sejarahnya.
Berdasarkan tulisan di batu prasasti Plumpungan, sebuah kalimat “ srir = astu swasti prajabhyah “(ya, selamat, makmur dan bahagialah semua rakyat). Kalimat itu bukan sekedar salam, tapi adalah sebuah mantra. Kalimat sakti yang mengandung nilai-nilai sebagai dasar untuk membangun dalam mewujudkan keselamatan, kemakmuran dan kebahagian rakyat. Untuk mewujudkan itu tentunya melalui proses dan kesungguhan dari para penguasa berdasarkan konsekuen logis serta partisipasi masyarakat.
Hari Jadi Salatiga efektif diperingati sejak dikeluarkan Perda Nomor 15 Tahun 1995. Memperingati sebuah moment pada dasarnya mengingat dan memahami kembali nilai-nilai budaya dan sejarah dari moment itu sekaligus sebagai evaluasi dalam mewujudkan nilai-nili itu terhadap kesejahteraan rakyat. Maka diperlukan pemahaman, kesadaran dan ketulusan oleh semua pihak.
Memperingati Hari Jadi Salatiga berarti memahami Prasasti Plumpungan dengan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, meliputi budaya, sejarah, sosial dan pemerintahan. Termasuk memperingati dengan tata cara budaya dan sejarah, tidak sekedar seremonial dan festival/prosesi. Karena dengan tata cara budaya dan sejarah akan relatif lebih cepat proses memahami nilai-nilai yang terkandung, terutama memahami kalimat sakti ”srir–astu swasti prajabhyah“ sebagai sebuah visi dalam membangun Salatiga (prasasti pada era pemerintahan modern Salatiga, Hati Beriman). Akan sangat harmonis apabila srir = astu swasti prajabhyah bersinergi dengan Salatiga Hati Beriman dan Perundang-undangan serta peraturan-peraturan pemerintah (nasional) dalam mewujudkan pembangunan.
GUGON TUHON
Pada kehidupan masyarakat Jawa tumbuh “kepercayaan” gugon tuhon (gugon = gugu ; percaya, tuhon = tuhu ; setia) bahwa apabila tidak melaksanakan ajaran luhur (termasuk nilai budaya dan sejarah) akan kuwalat (menerima hukuman dari alam).
Kejadian-kejadian di Salatiga terutama yang berkaitan dengan pemerintahan yang berhubungan dengan hukum dan terpuruknya kehidupan masyarakat, semoga bukan kuwalat karena alpa menjalankan ajaran-ajaran luhur, baik yang bersifat budaya maupun perundang-undangan yang berlaku. Sebab pemerintahan di Salatiga dikelola dan dikendalikan oleh sumber daya manusia terpilih (minimal berpendidikan Strata 1).
Mengutip salah satu pada/bait dari sebuah karya besar, Serat Kalatidha karya Pujangga Raden Ngabehi Ronggawarsita :
Ratune ratu utama, patihe patih linuwih,
Pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik,
Parandene tan dadi, paliyasing kala bendu,
Malah mangkin andadra, rubeda kang ngreribeti,
Beda-beda hardane wong sanagara. (dhandhanggula)
Ratu/raja (pemimpin suatu wilayah) seorang pilihan, patih (pembantu utama raja) orang cakap dan intelek, pra nayaka (para pejabatnya) berkeinginan selamat dan sejahtera, panekare (para pegawainya) setia dan baik, namun kenyataannya tidak mampu mencegah zaman terkutuk, terjadi pelanggaran-pelanggaran karena berbeda-beda loba-angkaranya orang diseluruh negara.
Semoga dengan memperingati Hari Jadi ke-1258 Salatiga di tahun ini, sebagai pertanda bangkitnya kesadaran dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran luhur, untuk mewujudkan “srir = astu swasti prajabhyah” sekaligus Salatiga Hati Beriman. Karena rakyat Salatiga sangat merindukan. Pada peringatan Hari Jadi Salatiga tahun 2008 ini perkenankan saya tengarai dengan surya sengkala. “ESTHINING KALUHURAN MULYA KADULU”.
*Budayawan Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar