TUK Berkreasi dengan Sampah
yang berarti sumber mata air. Dengan kata lain, tuk merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Rupanya, pemaknaan inilah yang membuat tuk digunakan sebagai nama organisasi yang berdiri pada 1 Juli 2006.
Tanam untuk Kehidupan (TUK) adalah sebuah komunitas yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan melalui ekspresi seni. Organisasi ini aktif mengajak masyarakat Kota Salatiga untuk tidak mencabut, apalagi menebang, namun membudayakan menanam demi kehidupan. Dimotori oleh pelukis, Rudy Ardianto, TUK merupakan wujud keprihatian para seniman dan aktivis peduli lingkungan di Kota Salatiga.
”Kami prihatin melihat Salatiga yang sudah tidak sejuk dan indah lagi,” kata Rudi. Sumber mata air mulai terbatas dan sampah menumpuk di mana-mana. Akhirnya, dari berbagai acara berkumpul dan diskusi, mereka sepakat untuk membentuk Komunitas TUK.
Sebagai bagian Kota Salatiga, TUK ingin menunjukkan eksistensinya dengan memberikan konstribusi nyata terhadap kota kecil yang memiliki riwayat sebagai kota sejuk dan kaya mata air ini. Mereka mengadakan berbagai aktivitas seperti festival mata air, workshop, pameran, forum diskusi, dan pentas seni/budaya. Anggota komunitas juga tak segan melakukan reboisasi (penghijauan), bersih-bersih bumi, dan berbagai pelatihan ketrampilan. Membuat mainan dari sampah, kerajinan daur ulang, cetak sablon, dan teknik mengambar merupakan keterampilan yang sering mereka usung dalam pelatihan. Selain itu, mereka juga memberi pelatihan berkebun dan seni grafis cukil. Tak lupa, komunitas ini memajang hasil karya unik dan kreatif dari barang bekas dan tumbuh-tumbuhan di kantor sekretariat mereka yang berlokasi di Jalan Butuh Nomor 4 Salatiga. Penyelamatan lingkungan memang menjadi agenda penting mengingat kondisi lingkungan semakin terabaikan. ”Bahkan, pengabaian lingkungan telah berada pada pada tingkat destruktif (pengrusakan) yang berakibat buruk terhadap kelangsungan hidup generasi sekarang maupun generasi mendatang,” ungkap Koordinator Komunitas TUK ini.
Apa jadinya bila, karena kesalahan kita, lingkungan yang kita butuhkan justru berbalik menjadi bencana. Jebolnya lapisan ozon sebagai akibat pembakaran yang berlebihan telah menimbulkan efek global warming (pemanasan global). Bahkan, gara-gara lapisan ozon jebol, terjadi perubahan iklim dan hujan asam. Di tingkat lokal terjadi pencemaran air, udara, tanah longsor, banjir, kekeringan, dan limbah sampah.
Memang, dampak kerusakan lingkungan di Kota Salatiga belum begitu terasa. Namun, dalam jangka panjang, tak tertutup kemungkinan dampak negatif lingkungan akan terjadi.
Rudi menyatakan, sekarang saja, sebagian sumber air di Kota Salatiga telah mengalami penurunan debit (aliran) air yang sangat tajam. ”Bahkan menurut hasil penelitian, beberapa di antaranya sudah mulai kering,” tandasnya. Akibatnya, masyarakat akan kesulitan mendapatkan air layak untuk kebutuhan hidupnya, serta hasil pertanian menurun dan dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Padahal, Salatiga dikenal sebagai kota yang kaya akan sumber mata air. Sumber mata air ini tersebar di beberapa wilayah seperti Kalitaman, Ngentak, Kalisombo, dan Kalibening.
Agaknya kita harus mulai mawas diri, bahwa kesalahan terbesar kita adalah tidak bisa menjaga dan memelihara lingkungan sebagai anugerah Sang Pencipta. Andai kita tidak menebang pohon dengan membabi buta, tidak membuang sampah di sembarang tempat, setidaknya, kita dapat meminimalkan dampak buruknya.
Menurut Rudi, pengaruh era modernisasi telah mengikis tingkat kepedulian masyarakat sebagai akibat kurangnya pemahaman mereka kepada lingkungan. Maka, sebagai langkah awal, perlu ada kegiatan sosialisasi yang bersifat ajakan kepada masyarakat. Mereka perlu mengetahui, peduli, dan bertindak dengan konsep sederhana, yaitu, bila kita ramah terhadap lingkungan maka lingkungan juga akan ramah terhadap kita.
Rudi menegaskan, dalam menyukseskan gerakan sadar lingkungan diperlukan kerja sama seluruh komponen masyarakat. Setiap individu, sektor usaha, maupun pemerintah harus bersikap bijak terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Upaya penyelematan lingkungan harus dimulai dari diri sendiri, seperti hemat air, listrik, dan bahan bakar.
Bekali anak cucu dengan pengetahuan akan lingkungan, tidak sembarang menebang pohon, mempunyai semangat menanam pohon, dan kurangi mengunakan tas plastik. Bawalah tas belanja dari rumah, mengelola sampah dengan benar dan pada tempatnya serta tidak membakarnya.
”Idealnya, konservasi lingkungan di Kota Salatiga dilakukan dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan, memelihara kawasan mata air dan pengolahan sampah dengan tepat,” sarannya. Sampah merupakan komponen yang mempengaruhi proses penyerapan air di tanah. Namun, fakta tentang sampah masih terabaikan hingga menjadi masalah sosial dan lingkungan.
Berawal dari konsep sederhananya, TUK mencoba mengolah sampah agar tak lagi menjadi sampah. Meskipun merupakan barang sisa, sampah tidak boleh dibuang begitu saja. Sampah harus dipilah dan dikelola kembali agar berguna dan tidak menimbulkan pencemaran.
Sampah digolongkan menjadi dua, organik dan nonorganik. Bahan yang dapat terurai, seperti daun-daunan dan sisa makanan, tergolong sebagai sampah organik. Sedangkan sampah yang tidak dapat terurai seperti gelas, kertas, plastik, dan besi digolongkan sebagai sampah nonorganik.
Sampah dipilah berdasarkan golongannya. Bila ada sedikit lahan kosong di rumah, manfaatkanlah untuk membuat biopori. Biopori adalah lubang kecil dengan diameter 10 sentimeter dan dalamnya satu meter. Setiap biopori berjarak 0,5-1 meter. Lubang ini digunakan untuk langsung menampung sampah-sampah organik. Secara alami, sampah akan terurai menjadi kompos. Selain menyuburkan tanah, langkah ini juga membantu peresapan air ke dalam tanah.
Sampah yang tidak terurai dikumpulkan tersendiri untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir(TPA). Seyogianya, pilihlah TPA yang memiliki alat penghancur sampah dan lahan khusus untuk memroses sampah menjadi partikel terkecil sehingga tidak menimbulkan polusi/pencemaran.
TUK menawarkan solusi pemanfaatan barang bekas menjadi barang unik dan bermanfaat. Sampah nonorganik seperti plastik bekas pembungkus sebuah produk tidak harus dibuang. Plastik bekas ini dapat diolah menjadi barang kerajinan tangan seperti untuk tas belanja. Sampah-sampah kertas dapat disulap menjadi berbagai kerajinan daur ulang kertas seperti buku, tempat foto, atau tempat pensil. Kalung juga dapat dibuat dari bahan-bahan ini.
Sementara, barang bekas seperti botol, kaleng, dan besi kecil, dapat dibuat menjadi berbagai macam mainan robot, sepeda, dan kapal terbang. Sayangnya, ketrampilan ini tidak bisa diterapkan secara spontan kepada masyarakat karena harus melalui pelatihan (bakat-minat). Selain itu, keterampilan ini juga membutuhkan kemauan dan kesabaran masing-masing individu. Tidak semua orang mau dan mampu membuatnya. Namun, upaya pemilahan sampah yang benar sudah cukup membantu mengatasi masalah limbah sampah.(ind)
Tanam untuk Kehidupan (TUK) adalah sebuah komunitas yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan melalui ekspresi seni. Organisasi ini aktif mengajak masyarakat Kota Salatiga untuk tidak mencabut, apalagi menebang, namun membudayakan menanam demi kehidupan. Dimotori oleh pelukis, Rudy Ardianto, TUK merupakan wujud keprihatian para seniman dan aktivis peduli lingkungan di Kota Salatiga.
”Kami prihatin melihat Salatiga yang sudah tidak sejuk dan indah lagi,” kata Rudi. Sumber mata air mulai terbatas dan sampah menumpuk di mana-mana. Akhirnya, dari berbagai acara berkumpul dan diskusi, mereka sepakat untuk membentuk Komunitas TUK.
Sebagai bagian Kota Salatiga, TUK ingin menunjukkan eksistensinya dengan memberikan konstribusi nyata terhadap kota kecil yang memiliki riwayat sebagai kota sejuk dan kaya mata air ini. Mereka mengadakan berbagai aktivitas seperti festival mata air, workshop, pameran, forum diskusi, dan pentas seni/budaya. Anggota komunitas juga tak segan melakukan reboisasi (penghijauan), bersih-bersih bumi, dan berbagai pelatihan ketrampilan. Membuat mainan dari sampah, kerajinan daur ulang, cetak sablon, dan teknik mengambar merupakan keterampilan yang sering mereka usung dalam pelatihan. Selain itu, mereka juga memberi pelatihan berkebun dan seni grafis cukil. Tak lupa, komunitas ini memajang hasil karya unik dan kreatif dari barang bekas dan tumbuh-tumbuhan di kantor sekretariat mereka yang berlokasi di Jalan Butuh Nomor 4 Salatiga. Penyelamatan lingkungan memang menjadi agenda penting mengingat kondisi lingkungan semakin terabaikan. ”Bahkan, pengabaian lingkungan telah berada pada pada tingkat destruktif (pengrusakan) yang berakibat buruk terhadap kelangsungan hidup generasi sekarang maupun generasi mendatang,” ungkap Koordinator Komunitas TUK ini.
Apa jadinya bila, karena kesalahan kita, lingkungan yang kita butuhkan justru berbalik menjadi bencana. Jebolnya lapisan ozon sebagai akibat pembakaran yang berlebihan telah menimbulkan efek global warming (pemanasan global). Bahkan, gara-gara lapisan ozon jebol, terjadi perubahan iklim dan hujan asam. Di tingkat lokal terjadi pencemaran air, udara, tanah longsor, banjir, kekeringan, dan limbah sampah.
Memang, dampak kerusakan lingkungan di Kota Salatiga belum begitu terasa. Namun, dalam jangka panjang, tak tertutup kemungkinan dampak negatif lingkungan akan terjadi.
Rudi menyatakan, sekarang saja, sebagian sumber air di Kota Salatiga telah mengalami penurunan debit (aliran) air yang sangat tajam. ”Bahkan menurut hasil penelitian, beberapa di antaranya sudah mulai kering,” tandasnya. Akibatnya, masyarakat akan kesulitan mendapatkan air layak untuk kebutuhan hidupnya, serta hasil pertanian menurun dan dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Padahal, Salatiga dikenal sebagai kota yang kaya akan sumber mata air. Sumber mata air ini tersebar di beberapa wilayah seperti Kalitaman, Ngentak, Kalisombo, dan Kalibening.
Agaknya kita harus mulai mawas diri, bahwa kesalahan terbesar kita adalah tidak bisa menjaga dan memelihara lingkungan sebagai anugerah Sang Pencipta. Andai kita tidak menebang pohon dengan membabi buta, tidak membuang sampah di sembarang tempat, setidaknya, kita dapat meminimalkan dampak buruknya.
Menurut Rudi, pengaruh era modernisasi telah mengikis tingkat kepedulian masyarakat sebagai akibat kurangnya pemahaman mereka kepada lingkungan. Maka, sebagai langkah awal, perlu ada kegiatan sosialisasi yang bersifat ajakan kepada masyarakat. Mereka perlu mengetahui, peduli, dan bertindak dengan konsep sederhana, yaitu, bila kita ramah terhadap lingkungan maka lingkungan juga akan ramah terhadap kita.
Rudi menegaskan, dalam menyukseskan gerakan sadar lingkungan diperlukan kerja sama seluruh komponen masyarakat. Setiap individu, sektor usaha, maupun pemerintah harus bersikap bijak terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Upaya penyelematan lingkungan harus dimulai dari diri sendiri, seperti hemat air, listrik, dan bahan bakar.
Bekali anak cucu dengan pengetahuan akan lingkungan, tidak sembarang menebang pohon, mempunyai semangat menanam pohon, dan kurangi mengunakan tas plastik. Bawalah tas belanja dari rumah, mengelola sampah dengan benar dan pada tempatnya serta tidak membakarnya.
”Idealnya, konservasi lingkungan di Kota Salatiga dilakukan dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan, memelihara kawasan mata air dan pengolahan sampah dengan tepat,” sarannya. Sampah merupakan komponen yang mempengaruhi proses penyerapan air di tanah. Namun, fakta tentang sampah masih terabaikan hingga menjadi masalah sosial dan lingkungan.
Berawal dari konsep sederhananya, TUK mencoba mengolah sampah agar tak lagi menjadi sampah. Meskipun merupakan barang sisa, sampah tidak boleh dibuang begitu saja. Sampah harus dipilah dan dikelola kembali agar berguna dan tidak menimbulkan pencemaran.
Sampah digolongkan menjadi dua, organik dan nonorganik. Bahan yang dapat terurai, seperti daun-daunan dan sisa makanan, tergolong sebagai sampah organik. Sedangkan sampah yang tidak dapat terurai seperti gelas, kertas, plastik, dan besi digolongkan sebagai sampah nonorganik.
Sampah dipilah berdasarkan golongannya. Bila ada sedikit lahan kosong di rumah, manfaatkanlah untuk membuat biopori. Biopori adalah lubang kecil dengan diameter 10 sentimeter dan dalamnya satu meter. Setiap biopori berjarak 0,5-1 meter. Lubang ini digunakan untuk langsung menampung sampah-sampah organik. Secara alami, sampah akan terurai menjadi kompos. Selain menyuburkan tanah, langkah ini juga membantu peresapan air ke dalam tanah.
Sampah yang tidak terurai dikumpulkan tersendiri untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir(TPA). Seyogianya, pilihlah TPA yang memiliki alat penghancur sampah dan lahan khusus untuk memroses sampah menjadi partikel terkecil sehingga tidak menimbulkan polusi/pencemaran.
TUK menawarkan solusi pemanfaatan barang bekas menjadi barang unik dan bermanfaat. Sampah nonorganik seperti plastik bekas pembungkus sebuah produk tidak harus dibuang. Plastik bekas ini dapat diolah menjadi barang kerajinan tangan seperti untuk tas belanja. Sampah-sampah kertas dapat disulap menjadi berbagai kerajinan daur ulang kertas seperti buku, tempat foto, atau tempat pensil. Kalung juga dapat dibuat dari bahan-bahan ini.
Sementara, barang bekas seperti botol, kaleng, dan besi kecil, dapat dibuat menjadi berbagai macam mainan robot, sepeda, dan kapal terbang. Sayangnya, ketrampilan ini tidak bisa diterapkan secara spontan kepada masyarakat karena harus melalui pelatihan (bakat-minat). Selain itu, keterampilan ini juga membutuhkan kemauan dan kesabaran masing-masing individu. Tidak semua orang mau dan mampu membuatnya. Namun, upaya pemilahan sampah yang benar sudah cukup membantu mengatasi masalah limbah sampah.(ind)
Pengelolaan Sampah Mandiri
Dimulai dari Memilah Sampah!
Dimulai dari Memilah Sampah!
Isu tentang lingkungan dan pemanasan global sekarang ini bukan lagi monopoli orang-orang terpelajar. Semakin banyak orang awam dari berbagai lapisan di masyarakat ikut sadar dan kemudian tergugah untuk melakukan sesuatu demi terjaganya lingkungan, tempat mereka tinggal dan bernaung. Mereka Semakin tahu bahwa penebangan hutan, pembakaran lahan, dan pembuangan sampah secara serampangan dan sembarangan akan menyebabkan dampak yang serius bagi keseimbangan lingkungan.
Untuk itu kesadaran personal dari masyarakat akan isu-isu lingkungan harus juga ditindaklanjuti menjadi aksi yang nyata, mulai dari diri sendiri dan dalam lingkup yang terkecil. Maka tepatlah kiranya bila keluarga sebagai masyarakat yang terkecil ikut ambil bagian dalam usaha pembenahan dan perbaikan kualitas lingkungan tempat mereka tinggal.
Posisi strategis keluarga sudah seharusnya menjadi perhatian utama dalam pemecahan masalah lingkungan. Hal ini penting mengingat keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam usaha penanaman kesadaran akan lingkungan. Keluarga dapat menjadi media penyelamat lingkungan, dan juga sebaliknya dapat menjadi agen perusak lingkungan, yang disebabkan kurang tepatnya proses penenaman nilai-nilai kelestarian lingkungan.
Kesadaran keluarga akan kelestarian lingkungan di Kota Salatiga pun sedikit demi sedikit mulai tumbuh. Hal ini dapat dilihat dari beberapa simpul masyarakat yang meskipun masih bersifat sporadis, mau memikirkan jalan keluar bagi permasalahan lingkungan secara khusus persampahan, di lingkungan masing-masing. Seperti kita tahu, sampah domestik yang dihasilkan oleh rumah tangga di Kota Salatiga yang mencapai 385 M3 (data tahun 2006) sampai saat ini belum ditangani dan dimanfaatkan secara maksimal.
Padahal perhatian serius pada permasalahan persampahan domestik berupa pemilahan sampah mulai dari rumah tangga akan sangat membantu para pengangkut sampah. Selanjutnya sampah tersebut akan lebih mudah ditangani untuk dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan nilai tambahnya dengan mendatangakan keuntungan berupa uang. Hal ini memungkinkan karena barang-barang yang menurut anggapan umum disebut sebagi sampah, oleh sebagian orang, secara khusus para pemulung dapat mendatangkan penghasilan yang tidak kecil.
Adalah Dwi Lestiono, Ketua RT 03 RW 07 Karang Alit, Kelurahan Dukuh, beliau menagawali sebuah aksi untuk mengelola sampah yang ada di lingkungannya. Pengelolaan sampah yang digunakan dilingkungan itu adalah dengan menggunakan metode Reduce (meminimalisir penggunaan bahan yang dapat menjadi sampah), Reuse (pemanfaatan kembali barang yang tak terpakai), dan Recycle (daur ulang).
Awalnya dimulai dengan keprihatinan beberapa orang di lingkungan ini dengan masalah pengumpulan dan pembuangan sampah. Sebelumnya memang setiap rumah tangga dapat dibilang telah bertanggung jawab dalam penggelolaan sampah rumah tangganya masing-masing. Namun pembuangan sampah sampai Tempat Pembuangan Sampah (TPS) menjadi masalah tersendiri, mengingat di daerah itu belum ada TPS yang representatif. Untuk itulah warga awalnya mengusulkan agar dibantu fasilitas pembuangan sampah berupa kontainer sampah yang ditempatkan di lingkungan mereka. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) sebagai dinas yang ditujuk untuk mengelola sampah di Kota Salatiga menyambut baik inisiatif warga. Namun mereka menawarkan alternatif lain selain penyediaan Kontainer Sampah, yaitu dengan sistem pengelolaan sampah madiri oleh keluarga, yang disebut “Keluarga Mandiri Kelola Sampah”. Setelah beberapa kali bertukar pikiran, maka warga menyambut baik ide tersebut.
Bukan hanya itu, pengurus RT dan beberapa tokoh masyarakat diajak oleh DPLH untuk studi banding tentang pengelolaan sampah di Kota Magelang. Disana mereka belajar kepada salah satu paguyuban pengelola sampah di Kampung Paten Gunung. Dari Kota Magelang mereka semakin mendapatkan bekal untuk menerapkan pengelolaan sampah secara mandiri di Karangalit.
Akhirnya warga RT 03 Karangalit menggunakan waktu 2 bulan yaitu bulan Juni dan Juli 2008 untuk melakukan sosialisasi kepada warga. Lewat Pertemuan PKK, Dasawisma dan pertemuan RT, sosialisasi dilakukan secara terus menerus. Dalam sosialisasi awal, ditekankan tentang pentingnya pemilahan sampah dalam tiga kategori, yaitu sampah organik, sampah non organik, dan sampah keras.
Selain itu juga dilakukan pelatihan pemilahan sampah dan pembuatan kompos. Seorang warga yang bernama Bendot yang sekarang lebih dikenal dengan Bendot Sampah, yang berpengalaman bekerja di Dinas Pertanian, memberi bekal pelatihan pembuatan kompos kepada masyarakat. Dengan menggunakan alat peraga dan bahan-bahan untuk membuat kompos, dia menjelaskan dan memberi pelatihan kepada warga.
Untuk memfasilitasi Program Keluarga Mandiri Kelola Sampah ini, DPLH menyalurkan bantuan berupa sebuah gerobak sampah, 30 capstock, 90 kantong karung, 30 drum plastik. Bantuan ini diberikan kepada masing-masing rumah di RT 03 Karangalit, yang keseluruhannya berjumlah 55. Kekurangan sebanyak 25 unit untuk saat ini dipenuhi secara swadaya oleh masyarakat.
Secara perlahan tapi pasti, aksi pengelolaan sampah oleh masyarakat ini telah berlangsung selama bulan Agustus ini. Partisipasi dan respon positif dari warga membuat kegiatan ini berjalan maju untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Lahan kosong di depan Yayasan Sumber Kasih, diiklaskan untuk dijadikan TPS lingkungan RT tersebut. Warga sendiri dengan penuh kesadaran memilah sampah dari rumah masing-masing, sebelum nantinya diambil oleh petugas kebersihan. Mereka semakin sadar bahwa pemilahan adalah kunci agar pengelolaan sampah dapat berlangsung lebih efektif dan efisien.
Menurut Dwi Lestiono, sampah dari warga dipilah sendiri di rumah tangga masing-masing. Mereka menggolongkan sampah ke dalam tiga jenis yaitu sampah organik, sampah non organik, dan sampah keras. Memang pada prakteknya masih ada warga yang bertanya, tentang jenis sampah, dan kemana mereka harus menggolongkan sampah tersebut. Untuk itu ketua RT kemudian berinisiatif untuk membuat daftar jenis-jenis sampah dan penggolongannya dan daftar itu ditempel di dekat tempat sampah atau kantong yang telah dibagikan.
Sampah dari rumah warga akhirnya ditempatkan di TPS, dan kemudian dipilah lagi sesuai dengan jenis sampah. Misalnya sampah plastik di pisahkan menurut jenis plastiknya. Sedangkan untuk sampah organik, dapat diolah sendiri oleh warga di dalam drum bantuan DPLH, menjadi kompos dan digunakan untuk memupuk tanaman di pekarangan. Usaha untuk menggunakan pupuk buatan sendiri sudah dilakukan oleh beberapa warga pada tanaman sayuran dan bunga di pekarangan dan lahan-lahan kosong yang ada di sekitar pemukiman.
Untuk sampah yang telah terkumpul di TPS, secara rutin akan dijual kepada pengepul dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai operasional pengelolaan sampah dan sisannya digunakan untuk mengisi kas RT. Jadi sedikit banyak, warga tidak terlalu kesulitan untuk mengusahakan dana secara rutin.
Penanaman kebiasaan dan kesadaran pengelolaan sampah secara mandiri juga memberi penekanan pada usaha Reduce, dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh, mulai timbul kebiasaan dari ibu-bapak yang sering berbelanja di pasar, untuk membawa sendiri tas dari rumah. Hal ini dilakukan untuk memperkecil penggunaan tas plastik (kresek), dengan demikian volume sampah plastik yang terbuang menjadi lebih kecil.
Ada juga beberapa warga yang mencoba membuat sebuah barang-barang seni dari sampah non organik, seperti plastik pembungkus kopi dan pembungkus deterjen. Barang-barang hasil pemanfaatan sampah berupa tas dan tempat pensil, telah dihasilkan warga RT 03/ RW 07 Karangalit. Dan bukan tidak mungkin nanti barang-barang ini dapat diproduksi secara lebih besar untuk mengatasi masalah pengangguran, yang menjadi masalah kita bersama.
Usaha untuk membuat lingkungan nyaman ditinggali dan bersih dari sampah memang bukan usaha yang dapat dilakukan hanya sekali, namun harus berkelanjutan dan bersinergi dengan lingkungan dan masyarakat lain. Untuk itu pengetahuan tentang pengelolaan sampah ini juga mulai disosialisasikan kepada anak-anak agar kebiasaan baik ini dapat tertanam dalam pikiran mereka sehingga kapanpun dan dimanapun mereka berada kebiasaan membuang, memilah dan mengolah sampah menjadi sebuah kesadaran lingkungan. Masih banyak juga RT-RT lain di Karangalit dan di Kota Salatiga yang dapat mencontoh keberhasilan RT 03/07 Karangalit dalam merintis pengelolaan sampah secara mandiri. Semoga kesadaran ini dapat menyebar, dan bukan tidak mungkin kalau tahun depan di Kota Salatiga, kita tidak dapat menemui lagi sampah yang tidak pada tempatnya. Bahkan penghargaan Adipura sekalipun, akan datang dengan sendirinya. Semoga.(shk)
Untuk itu kesadaran personal dari masyarakat akan isu-isu lingkungan harus juga ditindaklanjuti menjadi aksi yang nyata, mulai dari diri sendiri dan dalam lingkup yang terkecil. Maka tepatlah kiranya bila keluarga sebagai masyarakat yang terkecil ikut ambil bagian dalam usaha pembenahan dan perbaikan kualitas lingkungan tempat mereka tinggal.
Posisi strategis keluarga sudah seharusnya menjadi perhatian utama dalam pemecahan masalah lingkungan. Hal ini penting mengingat keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam usaha penanaman kesadaran akan lingkungan. Keluarga dapat menjadi media penyelamat lingkungan, dan juga sebaliknya dapat menjadi agen perusak lingkungan, yang disebabkan kurang tepatnya proses penenaman nilai-nilai kelestarian lingkungan.
Kesadaran keluarga akan kelestarian lingkungan di Kota Salatiga pun sedikit demi sedikit mulai tumbuh. Hal ini dapat dilihat dari beberapa simpul masyarakat yang meskipun masih bersifat sporadis, mau memikirkan jalan keluar bagi permasalahan lingkungan secara khusus persampahan, di lingkungan masing-masing. Seperti kita tahu, sampah domestik yang dihasilkan oleh rumah tangga di Kota Salatiga yang mencapai 385 M3 (data tahun 2006) sampai saat ini belum ditangani dan dimanfaatkan secara maksimal.
Padahal perhatian serius pada permasalahan persampahan domestik berupa pemilahan sampah mulai dari rumah tangga akan sangat membantu para pengangkut sampah. Selanjutnya sampah tersebut akan lebih mudah ditangani untuk dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan nilai tambahnya dengan mendatangakan keuntungan berupa uang. Hal ini memungkinkan karena barang-barang yang menurut anggapan umum disebut sebagi sampah, oleh sebagian orang, secara khusus para pemulung dapat mendatangkan penghasilan yang tidak kecil.
Adalah Dwi Lestiono, Ketua RT 03 RW 07 Karang Alit, Kelurahan Dukuh, beliau menagawali sebuah aksi untuk mengelola sampah yang ada di lingkungannya. Pengelolaan sampah yang digunakan dilingkungan itu adalah dengan menggunakan metode Reduce (meminimalisir penggunaan bahan yang dapat menjadi sampah), Reuse (pemanfaatan kembali barang yang tak terpakai), dan Recycle (daur ulang).
Awalnya dimulai dengan keprihatinan beberapa orang di lingkungan ini dengan masalah pengumpulan dan pembuangan sampah. Sebelumnya memang setiap rumah tangga dapat dibilang telah bertanggung jawab dalam penggelolaan sampah rumah tangganya masing-masing. Namun pembuangan sampah sampai Tempat Pembuangan Sampah (TPS) menjadi masalah tersendiri, mengingat di daerah itu belum ada TPS yang representatif. Untuk itulah warga awalnya mengusulkan agar dibantu fasilitas pembuangan sampah berupa kontainer sampah yang ditempatkan di lingkungan mereka. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) sebagai dinas yang ditujuk untuk mengelola sampah di Kota Salatiga menyambut baik inisiatif warga. Namun mereka menawarkan alternatif lain selain penyediaan Kontainer Sampah, yaitu dengan sistem pengelolaan sampah madiri oleh keluarga, yang disebut “Keluarga Mandiri Kelola Sampah”. Setelah beberapa kali bertukar pikiran, maka warga menyambut baik ide tersebut.
Bukan hanya itu, pengurus RT dan beberapa tokoh masyarakat diajak oleh DPLH untuk studi banding tentang pengelolaan sampah di Kota Magelang. Disana mereka belajar kepada salah satu paguyuban pengelola sampah di Kampung Paten Gunung. Dari Kota Magelang mereka semakin mendapatkan bekal untuk menerapkan pengelolaan sampah secara mandiri di Karangalit.
Akhirnya warga RT 03 Karangalit menggunakan waktu 2 bulan yaitu bulan Juni dan Juli 2008 untuk melakukan sosialisasi kepada warga. Lewat Pertemuan PKK, Dasawisma dan pertemuan RT, sosialisasi dilakukan secara terus menerus. Dalam sosialisasi awal, ditekankan tentang pentingnya pemilahan sampah dalam tiga kategori, yaitu sampah organik, sampah non organik, dan sampah keras.
Selain itu juga dilakukan pelatihan pemilahan sampah dan pembuatan kompos. Seorang warga yang bernama Bendot yang sekarang lebih dikenal dengan Bendot Sampah, yang berpengalaman bekerja di Dinas Pertanian, memberi bekal pelatihan pembuatan kompos kepada masyarakat. Dengan menggunakan alat peraga dan bahan-bahan untuk membuat kompos, dia menjelaskan dan memberi pelatihan kepada warga.
Untuk memfasilitasi Program Keluarga Mandiri Kelola Sampah ini, DPLH menyalurkan bantuan berupa sebuah gerobak sampah, 30 capstock, 90 kantong karung, 30 drum plastik. Bantuan ini diberikan kepada masing-masing rumah di RT 03 Karangalit, yang keseluruhannya berjumlah 55. Kekurangan sebanyak 25 unit untuk saat ini dipenuhi secara swadaya oleh masyarakat.
Secara perlahan tapi pasti, aksi pengelolaan sampah oleh masyarakat ini telah berlangsung selama bulan Agustus ini. Partisipasi dan respon positif dari warga membuat kegiatan ini berjalan maju untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Lahan kosong di depan Yayasan Sumber Kasih, diiklaskan untuk dijadikan TPS lingkungan RT tersebut. Warga sendiri dengan penuh kesadaran memilah sampah dari rumah masing-masing, sebelum nantinya diambil oleh petugas kebersihan. Mereka semakin sadar bahwa pemilahan adalah kunci agar pengelolaan sampah dapat berlangsung lebih efektif dan efisien.
Menurut Dwi Lestiono, sampah dari warga dipilah sendiri di rumah tangga masing-masing. Mereka menggolongkan sampah ke dalam tiga jenis yaitu sampah organik, sampah non organik, dan sampah keras. Memang pada prakteknya masih ada warga yang bertanya, tentang jenis sampah, dan kemana mereka harus menggolongkan sampah tersebut. Untuk itu ketua RT kemudian berinisiatif untuk membuat daftar jenis-jenis sampah dan penggolongannya dan daftar itu ditempel di dekat tempat sampah atau kantong yang telah dibagikan.
Sampah dari rumah warga akhirnya ditempatkan di TPS, dan kemudian dipilah lagi sesuai dengan jenis sampah. Misalnya sampah plastik di pisahkan menurut jenis plastiknya. Sedangkan untuk sampah organik, dapat diolah sendiri oleh warga di dalam drum bantuan DPLH, menjadi kompos dan digunakan untuk memupuk tanaman di pekarangan. Usaha untuk menggunakan pupuk buatan sendiri sudah dilakukan oleh beberapa warga pada tanaman sayuran dan bunga di pekarangan dan lahan-lahan kosong yang ada di sekitar pemukiman.
Untuk sampah yang telah terkumpul di TPS, secara rutin akan dijual kepada pengepul dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai operasional pengelolaan sampah dan sisannya digunakan untuk mengisi kas RT. Jadi sedikit banyak, warga tidak terlalu kesulitan untuk mengusahakan dana secara rutin.
Penanaman kebiasaan dan kesadaran pengelolaan sampah secara mandiri juga memberi penekanan pada usaha Reduce, dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh, mulai timbul kebiasaan dari ibu-bapak yang sering berbelanja di pasar, untuk membawa sendiri tas dari rumah. Hal ini dilakukan untuk memperkecil penggunaan tas plastik (kresek), dengan demikian volume sampah plastik yang terbuang menjadi lebih kecil.
Ada juga beberapa warga yang mencoba membuat sebuah barang-barang seni dari sampah non organik, seperti plastik pembungkus kopi dan pembungkus deterjen. Barang-barang hasil pemanfaatan sampah berupa tas dan tempat pensil, telah dihasilkan warga RT 03/ RW 07 Karangalit. Dan bukan tidak mungkin nanti barang-barang ini dapat diproduksi secara lebih besar untuk mengatasi masalah pengangguran, yang menjadi masalah kita bersama.
Usaha untuk membuat lingkungan nyaman ditinggali dan bersih dari sampah memang bukan usaha yang dapat dilakukan hanya sekali, namun harus berkelanjutan dan bersinergi dengan lingkungan dan masyarakat lain. Untuk itu pengetahuan tentang pengelolaan sampah ini juga mulai disosialisasikan kepada anak-anak agar kebiasaan baik ini dapat tertanam dalam pikiran mereka sehingga kapanpun dan dimanapun mereka berada kebiasaan membuang, memilah dan mengolah sampah menjadi sebuah kesadaran lingkungan. Masih banyak juga RT-RT lain di Karangalit dan di Kota Salatiga yang dapat mencontoh keberhasilan RT 03/07 Karangalit dalam merintis pengelolaan sampah secara mandiri. Semoga kesadaran ini dapat menyebar, dan bukan tidak mungkin kalau tahun depan di Kota Salatiga, kita tidak dapat menemui lagi sampah yang tidak pada tempatnya. Bahkan penghargaan Adipura sekalipun, akan datang dengan sendirinya. Semoga.(shk)
Alat Pencacah Sampah
Belum Cukup
Belum Cukup
Sampah di Kota Salatiga tidaklah sedikit sebagaimana luasan kotanya yang tergolong kecil. Bayangkan jumlahnya kurang lebih 90 ton per hari.
Jumlah penduduk hanya sekitar 170 juta, namun mampu menyisakan pekerjaan berat bagi Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kota Salatiga. Terbukti tumpukan sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir di Ngronggo sangat banyak. Seandainya di gelar pasti memenuhi kota ini.
Bagaimana kiat dinas yang bergelut dengan kebersihan tersebut mengatasi permasalahan sampah tersebut? Berikut petikan wawancara langsung reporter Hati beriman dengan bapak Bambang Pamulardi, SH. selaku Kabid Kebersihan DPLH Kota Salatiga.
Berapa besar jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Salatiga perharinya? Sampah yang ada di Salatiga adalah 90 ton perhari. Sebagai catatan sampah itu bukan hanya disisakan oleh masyarakat Salatiga saja, namun dari masyarakat sekitarnya juga. Ini dikarenakan Salatiga merupakan kota jasa dan perdagangan serta pendidikan. Dengan begitu orang yang masuk di kota ini dari berbagai profesi, dan kesemuanya berpotensi membuang sampah di Salatiga.
Apa yang mereka buang tersebut? Ya, beragam bentuknya. Kalau pedagang yang dihasilkan berupa sisa-sisa dagangan, baik sayuran, plastik dedaunan dan sebagainya. Sedangkan pelajar lebih sering sampah plastik dan kertas.
Dari mana saja sampah tersebut? Prosentase sampah adalah dari rumah tangga 60%, yang dihasilkan pasar 20%, 10% dari industri dan perkotaan dan yang 10% dari fasilitas umum seperti jalan dan tempat umum terbuka.
Bagaimana sampah dikelola saat ini? Dari dulu sampai sekarang ini sampah lama yang ada di TPA Ngronggo ditangani secara open dumping atau buka tutup. Artinya sampai dalam kurun waktu tertentu dibalik agar yang di bawah naik ke atas juga sebaliknya. Tujuan dari proses ini adalah terjadi pembusukan bagi sampah organik. Sedangkan yang anorganik dapat dimanfaatkan oleh pemulung.
Apakah proses tersebut cukup efektif? Berbicara tetang keefektifan masih kurang. Coba saja semua sampah ditumpuk menjadi satu antara yang bisa terurai dan yang tidak, ini tetunya akan memperlambat proses penguraian. Sedang sampah yang tidak bisa terurai juga susah diambil.
Bagaimana langkah DPLH ke depan? Sampah yang sampai ke TPA akan dikelola dengan pemilahan terlebih dahulu. Ini nantinya akan bekerjasama dengan paguyuban “Warga Sejahtera Mandiri Kelola Sampah”. Paguyuban ini dikelola oleh pensiunan yang peduli dengan sampah, pengepul barang bekas, pemulung dan LSM. Meski SK mereka belum ditandatangani ketua namun sudah berjalan.
Apa upaya lain dari DPLH untuk memaksimalkan pengelolaan sampah? Nantinya mesin pengayak sampah yang kita miliki akan didekatkan pada tumpukan sampah lama, sehingga sampah plastik dengan yang kompos akan terpisah. Dengan begitu akan memudahkan pembuatan kompos dan pemanfaatan kembali sampah plastik.
Bagaimana pemanfaatan dari proses tersebut? Untuk sampah plastik tidak ada masalah karena kerjasama di atas dengan para pengepul. Sedangkan sampah yang sudah menjadi pupuk akan kita jual kepada BUMN Perhutani. Kenapa tidak kita jual ke para petani, ini disebabkan kompos dari sampah lama banyak mengandung seng dan bakteri ekoli dan ini tergolong berbahaya. Sedangkan kompos yang dihasilkan dari sampah baru bisa kita lempat ke petani.
Bagaimana dengan alat pencacah sampah yang telah beroperasi? Cukup membantu namun belum cukup untuk mengatasi persoalan sampah. Mesin tersebut baru bisa mencacah sampah 3 ton perhari dibandingkan sampah yang ada 90 ton per hari. Sebenarnya alat tersebut masih bisa ditingkatkan lagi, namun sayang jika nantinya cepat rusak.
Apa bentuk dukungan DPLH kepada paguyuban pengelola sampah tersebut? DPLH akan membantu untuk mengusahakan eks pondok boro Ngawen untuk dibuat kios. Kios-kios tersebut akan dibuat berjualan pupuk dan bibit tanaman. Nanti paguyuban akan mengajukan bantuan ke Kementerian Lingkungan Hidup, pihak pusat menyediakan bantuan biaya daur ulang yang diharuskan untuk pembelian barang. Nanti dana tersebut akan diwujudkan instalasi daur ulang, sedangkan biaya operasionalnya akan bekerjasama dengan koperasi.
Apa harapan DPLH kepada masyarakat Salatiga? Harapan pendek adalah terciptanya keluarga mandiri memilah sampah, sedangkan jangka panjang mereka mampu memilah dan mengolah. Agar mereka mau untuk memilah tentu harus ada imbalan, nanti kami akan bekerjasama dengan paguyuban untuk membeli hasil pilahan tersebut, syukur mereka bisa menjual sendiri ke para pengepul barang bekas.
Dimana daerah yang menjadi acuan bapak? Kami telah studi banding ke Yogyakarta tepatnya di daerah RW Sukunan. Setelah keluarga mau memilah dan mengolah sampah, sisa sampah yang sampai TPA hanya 10%. Sisanya berupa softex, sacet shampo(mengandung alumunium foil), pempers dan stereo form. Di Salatiga sudah ada orang yang membuat kerajinan tangan dari sacet shampo dan sacet lainnya.
Bagaimana respon masyarakat dengan program keluarga mandiri kelola sampah tersebut? Setelah program ini dicanangkan pada 4 Agustus 2008 di Pemkot, banyak sekali warga dari perorangan, RT, RW yang datang ke DPLH minta bantuan stimulan. Bantuan berupa kantong-kantong sampah dan alat.
Apa harapan masyarakat kepada DPLH? Masyarakat menginginkan sistem yang praktis dalam mengelola sampah.
Sementara itu, Kasi Kebersihan dan Pengelolaan Sanpah, Agung Budi Wahyono, SH. juga berkesempatan memberikan keterangan kepada HB. Berikut petikannya.
Apa saja perangkat yang disiapkan DPLH dalam mengatasi sampah di Kota Salatiga? Kita sudah memiliki alat pencacah sampah seperti yang diterangkan bapak Babang tadi yang mulai beroperasi tahun 2007. Alat ini dioperasikan untuk mencacat sampah organik, sampah tadi kemudian dicampur dengan EM4 dan ditimbun setengah bulan maka akan menjadi pupuk kompos. Sedangkan sampah plastik dipilah oleh petugas (pegawai honorer) sesuai jadwal. Selama ini sampah plastik mereka kelola bersama-sama.
Apa sarana lainnya? DPLH menyiapkan counter sampah sebanyak 27 se –Salatiga, TPS dari batu bata (permanen) 3 tempat, Depo sebanyak 3 tempat. Selain itu ada gerobak sampah, amrol 8 unit, dum truck 5 unit mobil pembilas.
Mengapa ada mobil pembilas? Mobil pembilas adalah mobil bak terbuka, digunakan untuk mengangkut sampah setelah disapu petugas khususnya yang tidak terangkut gerobak. Mobil ini sebagai kontrol terakhir jalan agar tetap bersih, beroperasi pada jeda sapu pagi sampai siang.
Apa kendala yang dirasakan petugas saat ini? Tidak ada kendala, namun karena petugas kami terbatas sedangkan jumlah sampah semakin lama kian bertambah tentu hal itu menguras tenaga. Jumlah petugas penyapu saat ini hanya 99 orang.
Kapan waktu petugas membersihkan lokasi? Ada tiga shift, shift pertama mulai dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang, shift kedua pukul 12.00-18.00 dan yang terakhir pukul 18.00-23.00 malam.
Apa faktor suksesnya pengelolaan sampah di Salatiga? Semua keluarga mau memilah dan mengelola sampah. Beberapa waktu lalu DPLH memberikan peralatan berupa kantong sampah, gancu, gerobak, tong, cupstok dan sprayer.(lux)
Jumlah penduduk hanya sekitar 170 juta, namun mampu menyisakan pekerjaan berat bagi Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kota Salatiga. Terbukti tumpukan sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir di Ngronggo sangat banyak. Seandainya di gelar pasti memenuhi kota ini.
Bagaimana kiat dinas yang bergelut dengan kebersihan tersebut mengatasi permasalahan sampah tersebut? Berikut petikan wawancara langsung reporter Hati beriman dengan bapak Bambang Pamulardi, SH. selaku Kabid Kebersihan DPLH Kota Salatiga.
Berapa besar jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Salatiga perharinya? Sampah yang ada di Salatiga adalah 90 ton perhari. Sebagai catatan sampah itu bukan hanya disisakan oleh masyarakat Salatiga saja, namun dari masyarakat sekitarnya juga. Ini dikarenakan Salatiga merupakan kota jasa dan perdagangan serta pendidikan. Dengan begitu orang yang masuk di kota ini dari berbagai profesi, dan kesemuanya berpotensi membuang sampah di Salatiga.
Apa yang mereka buang tersebut? Ya, beragam bentuknya. Kalau pedagang yang dihasilkan berupa sisa-sisa dagangan, baik sayuran, plastik dedaunan dan sebagainya. Sedangkan pelajar lebih sering sampah plastik dan kertas.
Dari mana saja sampah tersebut? Prosentase sampah adalah dari rumah tangga 60%, yang dihasilkan pasar 20%, 10% dari industri dan perkotaan dan yang 10% dari fasilitas umum seperti jalan dan tempat umum terbuka.
Bagaimana sampah dikelola saat ini? Dari dulu sampai sekarang ini sampah lama yang ada di TPA Ngronggo ditangani secara open dumping atau buka tutup. Artinya sampai dalam kurun waktu tertentu dibalik agar yang di bawah naik ke atas juga sebaliknya. Tujuan dari proses ini adalah terjadi pembusukan bagi sampah organik. Sedangkan yang anorganik dapat dimanfaatkan oleh pemulung.
Apakah proses tersebut cukup efektif? Berbicara tetang keefektifan masih kurang. Coba saja semua sampah ditumpuk menjadi satu antara yang bisa terurai dan yang tidak, ini tetunya akan memperlambat proses penguraian. Sedang sampah yang tidak bisa terurai juga susah diambil.
Bagaimana langkah DPLH ke depan? Sampah yang sampai ke TPA akan dikelola dengan pemilahan terlebih dahulu. Ini nantinya akan bekerjasama dengan paguyuban “Warga Sejahtera Mandiri Kelola Sampah”. Paguyuban ini dikelola oleh pensiunan yang peduli dengan sampah, pengepul barang bekas, pemulung dan LSM. Meski SK mereka belum ditandatangani ketua namun sudah berjalan.
Apa upaya lain dari DPLH untuk memaksimalkan pengelolaan sampah? Nantinya mesin pengayak sampah yang kita miliki akan didekatkan pada tumpukan sampah lama, sehingga sampah plastik dengan yang kompos akan terpisah. Dengan begitu akan memudahkan pembuatan kompos dan pemanfaatan kembali sampah plastik.
Bagaimana pemanfaatan dari proses tersebut? Untuk sampah plastik tidak ada masalah karena kerjasama di atas dengan para pengepul. Sedangkan sampah yang sudah menjadi pupuk akan kita jual kepada BUMN Perhutani. Kenapa tidak kita jual ke para petani, ini disebabkan kompos dari sampah lama banyak mengandung seng dan bakteri ekoli dan ini tergolong berbahaya. Sedangkan kompos yang dihasilkan dari sampah baru bisa kita lempat ke petani.
Bagaimana dengan alat pencacah sampah yang telah beroperasi? Cukup membantu namun belum cukup untuk mengatasi persoalan sampah. Mesin tersebut baru bisa mencacah sampah 3 ton perhari dibandingkan sampah yang ada 90 ton per hari. Sebenarnya alat tersebut masih bisa ditingkatkan lagi, namun sayang jika nantinya cepat rusak.
Apa bentuk dukungan DPLH kepada paguyuban pengelola sampah tersebut? DPLH akan membantu untuk mengusahakan eks pondok boro Ngawen untuk dibuat kios. Kios-kios tersebut akan dibuat berjualan pupuk dan bibit tanaman. Nanti paguyuban akan mengajukan bantuan ke Kementerian Lingkungan Hidup, pihak pusat menyediakan bantuan biaya daur ulang yang diharuskan untuk pembelian barang. Nanti dana tersebut akan diwujudkan instalasi daur ulang, sedangkan biaya operasionalnya akan bekerjasama dengan koperasi.
Apa harapan DPLH kepada masyarakat Salatiga? Harapan pendek adalah terciptanya keluarga mandiri memilah sampah, sedangkan jangka panjang mereka mampu memilah dan mengolah. Agar mereka mau untuk memilah tentu harus ada imbalan, nanti kami akan bekerjasama dengan paguyuban untuk membeli hasil pilahan tersebut, syukur mereka bisa menjual sendiri ke para pengepul barang bekas.
Dimana daerah yang menjadi acuan bapak? Kami telah studi banding ke Yogyakarta tepatnya di daerah RW Sukunan. Setelah keluarga mau memilah dan mengolah sampah, sisa sampah yang sampai TPA hanya 10%. Sisanya berupa softex, sacet shampo(mengandung alumunium foil), pempers dan stereo form. Di Salatiga sudah ada orang yang membuat kerajinan tangan dari sacet shampo dan sacet lainnya.
Bagaimana respon masyarakat dengan program keluarga mandiri kelola sampah tersebut? Setelah program ini dicanangkan pada 4 Agustus 2008 di Pemkot, banyak sekali warga dari perorangan, RT, RW yang datang ke DPLH minta bantuan stimulan. Bantuan berupa kantong-kantong sampah dan alat.
Apa harapan masyarakat kepada DPLH? Masyarakat menginginkan sistem yang praktis dalam mengelola sampah.
Sementara itu, Kasi Kebersihan dan Pengelolaan Sanpah, Agung Budi Wahyono, SH. juga berkesempatan memberikan keterangan kepada HB. Berikut petikannya.
Apa saja perangkat yang disiapkan DPLH dalam mengatasi sampah di Kota Salatiga? Kita sudah memiliki alat pencacah sampah seperti yang diterangkan bapak Babang tadi yang mulai beroperasi tahun 2007. Alat ini dioperasikan untuk mencacat sampah organik, sampah tadi kemudian dicampur dengan EM4 dan ditimbun setengah bulan maka akan menjadi pupuk kompos. Sedangkan sampah plastik dipilah oleh petugas (pegawai honorer) sesuai jadwal. Selama ini sampah plastik mereka kelola bersama-sama.
Apa sarana lainnya? DPLH menyiapkan counter sampah sebanyak 27 se –Salatiga, TPS dari batu bata (permanen) 3 tempat, Depo sebanyak 3 tempat. Selain itu ada gerobak sampah, amrol 8 unit, dum truck 5 unit mobil pembilas.
Mengapa ada mobil pembilas? Mobil pembilas adalah mobil bak terbuka, digunakan untuk mengangkut sampah setelah disapu petugas khususnya yang tidak terangkut gerobak. Mobil ini sebagai kontrol terakhir jalan agar tetap bersih, beroperasi pada jeda sapu pagi sampai siang.
Apa kendala yang dirasakan petugas saat ini? Tidak ada kendala, namun karena petugas kami terbatas sedangkan jumlah sampah semakin lama kian bertambah tentu hal itu menguras tenaga. Jumlah petugas penyapu saat ini hanya 99 orang.
Kapan waktu petugas membersihkan lokasi? Ada tiga shift, shift pertama mulai dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang, shift kedua pukul 12.00-18.00 dan yang terakhir pukul 18.00-23.00 malam.
Apa faktor suksesnya pengelolaan sampah di Salatiga? Semua keluarga mau memilah dan mengelola sampah. Beberapa waktu lalu DPLH memberikan peralatan berupa kantong sampah, gancu, gerobak, tong, cupstok dan sprayer.(lux)
2 komentar:
Menarik sekali artikel mengenai sampah ini. Diharapkan melalui artikel ini, warga masyarakat dapat swadaya mengelola sampah yang ada di lingkungan masing - masing demi kepentingan bersama. Namun sebagai masyarakat Salatiga saya ingin memberikan beberapa saran kepada DPLH, antara lain :
1. Penambahan tong atau tempat sampah di trotoar dan tempat - tempat umum untuk meminimalisasi orang buang sampah sembarangan.
2. Perlunya pemberian sanksi yang tegas kepada inidividu, instansi, atau pihak-pihak lain yang merusak lingkungan, karena sudah adanya payung hukum yang jelas dalam bentuk Perda
3. Perlunya sosialisasi yang lebih kepada masyarakat, khususnya warga yang berada di tepi - tepi sungai,untuk senantiasa tidak membuang sampah sembarangan, dan mengelolanya dengan baik dengan bantuan DPLH.
Semoga masukan - masukan ini dapat diperhatikan demi terwujudnya Salatiga Hati Beriman.
Yth. Saudara Cleo-Salatiga, Komentar anda pada blog majalah hati beriman tanggal 2 November 2008 tentang artikel mengenai sampah, dengan berbagai pertimbangan telah masuk sebagai surat pembaca pada Majalah Hati Beriman edisi 6 tahun 2008. Dengan demikian saudara Cleo-Salatiga dapat mengambil honornya di Kantor Redaksi Majalah Hati Beriman Jl. Letjend Sukowati 51 Salatiga dengan membawa foto copy bukti diri yang syah.
Posting Komentar