MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

10 September 2008

BUDAYA: Rodad: Hidup Segan, Mati Tak Mau


Rodad: Hidup Segan, Mati Tak Mau

Awalnya, seni tari Rodad merupakan sarana sebagian kyai dalam menyebarkan syiar agama Islam di Pulau Jawa. Bacaan sholawat nabi dirangkai dalam suatu irama tertentu untuk mengiringi gerakan para penari. Selain untuk menghibur masyarakat, kesenian ini juga bertujuan untuk memperkenalkan agama Islam. Harapannya, melalui kesenian, masyarakat akan lebih tertarik untuk mendalami ilmu agama Islam.

Dalam perkembangannya, Rodad diterima masyarakat sebagai suatu bentuk kesenian rakyat. Seiring berkembangnya Rodad, berkembang pula seni tari serupa yang menampikan kesamaan motif gerak dan peralatan yang digunakan. Seni tari tersebut antara lain seni Angguk di Kulonprogo, seni Bangilun di Wonosobo, dan seni Ndolalak di Purworejo. Melihat nasib Rodad yang semakin memprihatinkan, dapat dikatakan bahwa kesenian rakyat ini sudah tidak merakyat lagi. Pasalnya, rakyat sebagai pemilik seni tari Rodad sudah jarang yang mengenal apalagi mau melestarikan kesenian ini. Bisa jadi, semakin punahnya Rodad karena ketidakmampuannya dalam mengikuti perkembangan waktu dan seni secara global. Ini karena pelaku seni Rodad terlalu kaku dalam memegang pakem atau aturan–aturan dalam membawakan tari Rodad.

Ciri khas Rodad seperti gerak yang sederhana, monoton, dan berulang–ulang tentu sulit diterima generasi muda zaman sekarang yang bersifat dinamis. Ditambah lagi, kostum yang sangat sederhana seperti celana pendek, baju putih, peci, dan kipas yang terkesan kuno. Belum lagi kesan aneh yang muncul karena kostumnya dilengkapi dengan kaca mata mata hitam, slempang, dan kaos kaki yang tinggi seperti pemain sepakbola. Sulit dipungkiri bahwa kostum ini cenderung menimbulkan rasa malu untuk menjadi penari Rodad.

Tentu saja Rodad sulit berkembang bila dipertahankan dengan pakemnya yang seperti itu. Padahal, disisi lain, perkembangan teknologi yang sedemikian pesat memungkinkan masuknya pengaruh budaya lain dalam kehidupan masyarakat. Sebagai gambaran, generasi muda sekarang akan lebih mengenal dan menyukai disco, musik rock, bahkan rap. Budaya asing ini dianggap lebih modern dan glamour dibandingkan Rodad, Angguk, maupun nDolalak.

Personil 30 Orang
Dalam pementasannya, Rodad menampilkan sekelompok penari yang berpasangan. Biasanya pendukung pementasan kesenian ini sekitar 30 orang. Dua puluh orang penari dan 10 orang lainnya memainkan alat musik. Meskipun demikian, tak ada aturan pasti yang mengatur jumlah pendukung pementasan sehingga dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan.
Kesenian ini menggunakan konsep pentas berbentuk arena dengan desain lantai lurus.

Kelompok pemusik berada di halaman, di dalam sebuah lingkaran, di antara penonton yang berdiri di pinggirnya. Dalam pementasan Rodad, penari berada dalam posisi duduk bersimpuh dan jengkeng. Hanya pada waktu srokal (berasal dari kata asrokol, ketika shalawat dibacakan) saja para penari ini berdiri dengan melakukan gerakan–gerakan tari yang sederhana. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa gerak lebih dipusatkan pada tangan dan kepala yang memang memiliki sentuhan spiritual. Kadang, gerakan tangan dan kepala dibarengi oleh liukan badan (torso).

Rodad dipentaskan pada malam hari selama 4-5 jam, sejak jam 20.00 hingga jam 01.00. Sebelum pertunjukan dimulai, ada kalanya dilakukan pembacaan ayat suci al Qur'an dan terkadang didahului dengan pertunjukan pencak silat sebagai pra-tontonan. Pertunjukan semacam ini biasanya mengambil tempat di dalam rumah penduduk atau di serambi masjid.
Selama menari Rodad, para penari tampil apa adanya tanpa memakai rias muka. Bacaan shalawat dinyanyikan dalam bahasa Arab. Ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Instrumen yang digunakan adalah empat buah terbang dan satu jedor. Dalam perkembangannya, instrumen ini ada yang ditambah dengan sebuah tambur (genderang) dan sempritan (peluit). Shalawat dibacakan bersama-sama secara bergantian antara kelompok penari dengan kelompok pemain instrumen pengiring. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang dalang yang disebut ro'is.

Rodad Sekarang
Rodad yang semakin dijauhi masyarakat tentu membutuhkan perhatian yang lebih dari berbagai. Perhatian yang lebih perlu diberikan untuk mempertahankan seni tradisional tersebut. Salah satu paguyuban seni yang berusaha melestarikan keberadaan seni rodad itu adalah paguyuban seni Turanggo Digdo Kauman Kidul.

Paguyuban yang diarsiteki oleh Amrih Gunarto, S.Sn. tersebut mencoba meramu kembali Rodad menjadi Rodad versi baru. Rodad versi baru ini dapat dipentaskan kapan saja tidak terpancang pada malam hari. Tampilannya pun lebih menarik agar layak ditonton dan kembali disukai masyarakat.

”Kami memberi sedikit perubahan pada kostum dengan tidak meninggalkan roh atau unsur pokok dari seni Rodad,” kata Amrih. Kostum baru itu antara lain kaos kaki, topi berornamen (hiasan), pakaian yang lebih menarik dan berwarna-warni dengan memakai jarik (kain).

Dari sisi gerak, ditambahkan unsur lain agar lebih menarik dan tidak monoton. Selain itu agar Rodad dapat diterima semua lapisan masyarakat tanpa membedakan agama, Turonggo Digdo mengembangkan seni Rodad dengan tema pembangunan. Amrih menjelaskan, perkembangan seni Rodad sangat dipengaruhi oleh daerah dan seniman yang terlibat didalamnya.

"Apabila kesenian Rodad itu ditangani oleh seniman-seniman tradisional, sulit bagi seni Rodad daerah yang bersangkutan untuk berkembang,” jelasnya. Namun dengan adanya keterlibatan seniman akademis, seni Rodad di suatu daerah akan lebih dapat perkembang dan tidak terpaku pada suatu pakem tertentu.

Filosofi Meja Indah
Amrih menjelaskan perlunya keseriusan dalam menggarap seni tari Rodad. Tentunya penggarapan tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan ciri khas yang dimiliki seni Rodad itu sendiri. Sehingga nantinya memunculkan seni Rodad dengan wajah baru yang lebih menarik namun tetap dapat diketahui bahwa itu adalah sebuah seni Rodad.

Dalam menyikap seni Rodad, Amrih mengumpamakan Rodad sebagai sebuah meja. Agar disukai orang, meja memerlukan berbagai perubahan sehingga tidak sekada berbentuk bujursangkar dan berkaki lurus. Misalnya, pada bagian atasnya dibuat ukir-ukiran dan kakinya dibuat lengkungan yang enak dilihat. ”Inovasi ini membuat meja menjadi lebih menarik dan memiliki nilai jual yang lebih namun masih tetap disebut sebagai meja,” ungkap guru di SD Lab Salatiga itu. Demikan halnya seni tari Rodad. Perubahan atau inovasi sangat dibutuhkan untuk mempercantik seni Rodad. Tujuannya, agar seni tari Rodad menjadi lebih indah, enak ditonton, namun tetap memiliki roh Rodad sehingga tetap menyandang nama sebagai seni tari Rodad.(dji)

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's