Mullie Swasto Pramudyo*
D K S,
Nafsu Besar Tenaga Kurang
Keberadaan Dewan Kesenian Daerah
Salatiga (DKS),
kini acap dipertanyakan.
Tidak saja DKS berhasil menghasilkan
ide-ide cemerlang,
strategis, dan taktis untuk ranah kesenian
di Salatiga,
tetapi DKS juga digerogoti oleh masalah intern,
Seperti, rasa jelek dan perasaan
“in group felling” yang meluntur.
DKS yang dibentuk hampir sepuluh tahun
yang lalu kini
makin edging-makin menua.
Sebagai institusi lembaga kesenian yang ada, ekpektasi public sudah sewajarnya tinggi. DKS diharapkan sebagai “agent of change” kesenian di daerah yang tidak punya “pabrik” seniman atau pekerja seni. Agen perubahan itu yang diharapkan oleh publik.
Atau paling tidak sebagai-pinjam istilah Notohamidjojo, Rektor I, UKSW – Creative minority, sebagai kelompok kecil yang kreatif. Logika beginian wajar saja. Sebab memang harus ada bedanya ada dan tidak adanya DKS. Support pemerintah untuk kesenian adalh hak kesenian yang harus diperjuangkan.
Birokrasi punya pemerintah bertujuan untuk membantu kesenian, melayani kesenian bukan malah minta dilayani. Tapi disinilah mulo bukane masalah – Banyak kesenian dan pekerja seni jadi jengah, sebal, curiga bahkan curiga bila berurusan dengan yang namanya DKS. Ini sungguh menjadikan kesenian jadi “birokrasi sekaligus politis”.
DKS ibarat “Wujuduhu fi Adamihi” tulis penyair Binhad Nurrohmat, seolah ada tapi tiada. DKS menjadi semacam lembaga resmi yang bermakna sekedar sebagai lembaga imajiner. Celakanya kini sering “ditunjuk” sebagai pelaksana ini itu oleh pemkot cq Parsenibud sambil di utak utik oleh beberapa orang (oknum) soal profitnya.
Litbang = Sulit berkembang ?
Bisa jadi “tidak berkembangnya” DKS karena kelewat beratnya beban fungsi dan peranannya. Lihat saja ada fungsi peningkatan aktifitas, kwalitas, apresiasi kesenia dan kesejahteraan seniman. ( Lihat Pedoman Dasar DKS Bab II Pasal 2 )
Disatu sisi pengurus DKS dituntut untuk bekerja keras dan progresif tetapi disi lain pengrus tidak pernah mendapat sekedar pengganti bensin.
basic need pengurus abai dipenuhi yang kemudian dituntut performa kerja yang baik. Semua memerlukan ongkos, ditengah krisis perbankandan pasar modal yang tengah berlangsung dan juga BBM yang terus meroket. Mengapa tidak dianggarkan?
Yang paling nelangsa adalah : sejak kepengurusan DKS putaran kedua terbentuk kurang lebih 3 tahun lalu Litbang DKS tidak pernah didanai sepeserpun untuk Penelitian dan Pengembangan. Lantas apa yang mau dikembangkan.
Oleh teman saya, Imam R Kusuma (Ozi) Litbang diplesetkan jadi, Sulit Berkembang – dasar kartunis. Atau bahkan (maaf)….lit abang. Padahal kalau industri kreatif bergerak maju, kesenian juga berkembang dan istilah PSK bakal makin beringsut. PSK = Perupa Sering Kekurangan.
Musda
DKS adalah bentukan atas instruksi Gubernur Jateng yang ditetapkan dalam SK Walikota tanggal 30 April 1999. kini sudah waktunya DKS mengadakan Musda, yang paling tidak pada bulan april lalu yang sebelumnya diadakan temu wicara yang banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak.
Dengan alokasi dana sekitar tigapuluh juta naik turun tidak banyak yang bisa diperbuat DKS, terus aspirasi yang terserap di Musda untuk apa ? Soal kesekretariatan DKS juga harus menatap diri agar tidak acakadut. Sayang computer seharga empat setengah juta hanya untuk mengetik surat doing. Seharusnya dengan harga sejumlah itu sudah dapat untuk surfing di internet. Tidak saja berkomunikasi di dunia internasional yang bukan tidak mungkin bakal mendatangkan dana yang tidak sedikit pula.
Kukutnya unjuk kerja DKS juga sedikit banyak disebabkan oleh rasa in group falling pengurusnya, satu persatu meninggalkan DKS. Ada yang mempersoalkan SK Walikota yang tak kunjung terbit sejak pengurusnya terpilih lebih tiga tahun lalu. Apa susahnya meminta SK Walikota.
Sebagai menduga ini disengaja sebagai upaya politiking. Yang paling naïf adalah adanya dua logo di board dan cap yang digunakan. Padahal sudah ada surat otentik logo mana yang digunakan atau pemenang lomba. Hati hati dengan logo, logo adalah citra atau brand. Logo pertamina yang diganti, memerlukan dana 3,5 millyar.
Focus
Dari segi resourse atau SDM, DKS nampaknya tidak kekurangan. Hampir samuanya sarjana. Tetapi secara intern DKS hamper selalu diwarnai conflict of interest, ini karena pengurus punya kelompok masing masing. Ada yang punya kelompok keroncong, tari, campursari, seni rupa, dll.
DKS juga memiliki pengurus yang konon jago dalam bidang menejemen dan organisasi. Tetapi hingga kini unjuk kerja DKS tidak beranjak dari begitu begitu saja. Ini mungkin banyak pengurus yang tidak punya curiosity dan passion terhadap dunia seni. Padahal hamper semua media punya rubrik seni.
Kalau DKS ingin berubah dan berkembang DKS mestinya focus dan punya prioritas pengembangan, tanpa pembiaran pada kesenian yang butuh sentuhan. Seperti JFC – Jember Feshion Carnaval yang dimotori oleh Dinant Fariz yang tidak kenal menyerah, kini JFC dari ivent Internasional yang menggerakkan industri kreatif Jember. Atau Helarfes dengan brand lain Bandung Creative City Forum ( Helar dalam bahasa Sunda artinya menampilkan beragam potensi ) yang sarat dengan industri kreatif.
Atau refitalisasi desa hingga dapat mencegah Urbanisasi seperti desa Klebet, Bantul, Yogya yang kini jadi desa wisata yang menarik, yang membangkitkan industri kretif lokal. Semua harus dilatari dengan kerja yang kontinum yang terus menerus sinambung. Tidak bisa hanya “sakgebyaran” saja.
Kesenian yang acap disebut dunia tanpa batas, dengan keberadaan DKS dapat menjadi inspairing, bervibrasi dan bagian dari industri kretif. Bukan yang asal ada, untuk pantas panteslah, patut patut….capek deh !
*Penulis adalah
Ketua Litbang DKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar