MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

04 November 2008

Artikel

Nick T Wiratmoko*

Menakar Demokrasi

Melalui Pemilihan Wawali?


“untuk mengisi kekosongan

jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari

parpol atau gabungan parpol

karena menggantikan kepala daerah

yang meninggal dunia, berhenti,

diberhentikan, atau tak dapat

melaksanakan kewajibannya selama

6 (enam) bulan secara terus menerus……..

kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang

calon wakil kepala daerah berdasarkan

usul partai politik

atau gabungan parpol…….”

(PP No. 49 tahun 2008, Pasal 131 ayat 2c)


Genderang rekrutmen calon wakil walikota (wawali) Kota Salatiga telah dimulai. Dua partai pengusung paket walikota/wawalikota salatiga, PDI-P dan PAN, telah mencoba menjaring sejumlah calon wawali untuk pengisian jabatan lowong pada posisi Wakil Walikota (Wawali). Apa yang menarik dari peristiwa demokrasi yang tengah bergulir ini? Setidaknya beberapa hal dapat disampaikan dalam catatan berikut.

Setengah Paket, Otoritas Partai Pengusung

Pada kondisi politik yang normal, partai pengusung calon walikota dan wakil walikota akan menyediakan satu paket. Artinya calon yang diusung terdiri dari calon walikota dan wakil walikota. Dari sekian banyak calon walikota/wawali dari berbagai parpol pengusung inilah mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung digulirkan. Cara seperti ini, untuk Salatiga, merupakan penerapan demokrasi secara langsung, di mana rakyat bisa memilih secara langsung calon walikota/wawali yang dijagokan.

Sementara, tak selamanya kondisi politik dalam situasi normal. Salatiga termasuk kategori kota yang khusus, karena walikota definitif telah berhalangan tetap. Sebab itu, secara otomatis wakil walikota menjadi walikota. Dan pada saat yang sama terjadi kekosongan jabatan politik di posisi wakil walikota. Kondisi ini, menurut regulasi yang diatur dalam PP 49 tahun 2008 Pasal 31 Ayat 2c --sebagai turunan dari UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah -- harus diisi dengan mekanisme yang telah di atur.

Pertanyaan yang bisa diajukan dari fakta empiris di atas adalah: mengapa jika pilihan paket penuh calon walikota/wawali dilakukan secara langsung, sedangkan kalau setengah paket (hanya wawali) dilakukan mekanisme pemilihan yang terkesan sebagai praktik demokrasi setengah hati? Apakah memang demikian? Beberapa premis penjelasan bisa diajukan sebagai berikut.

Pertama, secara mudah, pengisian lowongan jabatan wakil walikota adalah urusan negara pusat. Dengan keluarnya PP yang mengatur tentang pengisian lowongan jabatan wakil walikota, maka semua wacana pilihan wawali tinggal merupakan implementasi instrumen regulasi yang sudah ditetapkan negara pusat. Tidak penting lagi membahas wacana tersebut. Jadi perkara pelaksanaan pilihan wawali adalah persoalan instrumental belaka.

Kedua, mekanisme pilihan wawali seperti ini, bisa saja bertolak dari pertimbangan karena paket (penuh) pilihan kepala daerah secara langsung telah selesai dan yang terjadi kini adalah tinggal urusan mengisi kekosongan paket yang tidak lengkap usai pilihan definitif, maka mekanisme pengisian wawali dibedakan dengan pilihan secara langsung (dengan paket lengkap). Dengan kata lain, kini yang bertanggung jawab untuk mengurusi mekanisme pengisian jabatan ini adalah parpol pengusung dan walikota, bahkan pleno DPRD. Proses politik seperti ini dapat saja dibawa pada kesimpulan bahwa proses pengisian wawali adalah ranah oligarkhis, proses (kuasa) yang hanya dilaksanakan oleh segelintir penguasa saja.

Ketiga, sebagai implikasi dari premis kedua yang diajukan, tentu saja dengan mekanisme tersebut biaya politik yang akan dikeluarkan bisa dihemat. Catatan pembiayaan ini bisa menjadi relatif ketika kemudian proses seleksi dari partai pengusung dan walikota harus berujung pada pleno DPRD yang akan memilih satu dari dua kandidat terpilih. Di sinilah kasus Salatiga telah menyulut sentimen politik dengan keluarnya statemen Ketua DPC PDI-P Salatiga bahwa entitas legislatif di Salatiga adalah representasi grandong-grandong politik. Wacana ini sempat membuat kebakaran jenggot Pimpinan DPRD. Stigmatisasi ini akan dibawa ke Badan Kehormatan (BK) DPRD. Ternyata, BK DPRD yang mestinya bisa memastikan sinyalemen tersebut bungkam. Bisa saja kemudian muncul pertanyaan, apakah di legislatif fenomena grandong-grandong politik benar adanya?

Keempat, implikasi dari premis pertama hingga ketiga dengan sendirinya adalah bahwa posisi masyarakat begitu marginal. Praktik demokrasi langsung kini direduksi menjadi proses representasi demokrasi yang diwakilkan melalui legislatif. Posisi masyarakat yang marginal dalam proses ini masih ditambah dengan absennya peran KPUD dan Panwas. Sterilnya lembaga pengawasan dan pemilihan independen (KPUD), membuka peluang munculnya praktik politik dagang sapi atau bahkan potensi merebaknya grandong-grandong politik.

Kelima, sulit membayangkan bahwa dalam proses pendaftaran calon wakil walikota yang dibuka kedua parpol pengusung justru diminati oleh para legislatif sendiri. Pada titik ini, pendaftaran para legislator ini dapat diartikulasikan: [a] proses ini merupakan ekspresi krisis kenegarawanan. Artinya, legislatif yang kini mendaftarkan diri sebagai wawali pada saat sekarang sebenarnya memiliki fungsi dalam political budgeting, regulasi dan pengawasan. Sedangkan dengan memasuki ranah sebagai kandidat wawali merupakan wilayah eksekutif yang seharusnya justru diawasi oleh legislatif; [b] proses pendaftaran para legislatif ini dapat dimaknai sebagai ajang sosialisasi dan/atau kampanye pendahuluan pemilu 2009, walaupun disadari bahwa peluang untuk lolos menjadi dua kandidat kecil. Proses ini dapat juga dikategorikan sebagai bagian dari pencitraan politik (political imaging) ; [c] perebutan posisi ini sebagai orientasi mencari pekerjaan baru (job seekers); [d] dengan mengkombinasikan beberapa motif atau motif yang berdiri sendiri di atas, dapat dibayangkan bahwa proses pleno DPRD akan semakin menegaskan adanya conflict of interest anggota dewan.


Memecah Kebuntuan Demokrasi

Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa: Posisi rakyat sudah jelas termarginalisasi. Posisi DPRD sangat kuat. Potensi rente politik sebagaimana diungkap dengan atribut grandong-grandong politik juga terbuka. Ruang pengawasan dan eksekutor pengadministrasian proses ini tidak memanfaatkan lembaga independent steril. Gejala legilatif yang mengedepankan prinsip Machevialian, kecenderungan menghalalkan segala cara, sudah ada di depan mata.

Lantas, apakah sebagai warga Salatiga akan merelakan bahwa ruang demokrasi deliberatif, yang mempertimbangkan keutamaan partisipasi dan transparansi, direduksi menjadi mekanisme yang seolah baik, tetapi sebenarnya lebih menampilkan sosok demokrasi perwakilan. Meski demikian, jika ada pertimbangan untuk mengoptimalkan praktik demokrasi yang cerdas, maka beberapa catatan berikut bisa dijadikan wacana. Pertama, bisa saja didorong lembaga legislatif melakukan proses konsultasi publik atau dengar pendapat dengan rakyat. Dalam forum seperti ini, kriteria-kriteria sebagai wakil walikota bisa dimintakan pendapat dari masyarakat.

Kedua, untuk mendorong proses pendidikan politik, baik DPRD maupun media massa sebagai kekuatan keempat demokrasi (the fourth estate) dapat melakukan sejumlah jajak pendapat (polling) sebagai upaya menjaring pendapat publik tentang popularitas kandidat wakil walikota. Meskipun polling sendiri bukan merupakan hasil final pilihan kandidat, setidaknya bisa dijadikan indikator seberapa banyak kandidat dikenal masyarakat.

Ketiga, perlu dibentuk kolaborasi independen pengawasan pilkada wawali. Fungsi pengawasan ini di antaranya adalah menerima aduan atau praktik-praktik money politics, praktik grandong-grandong politik, ataupun praktik politik rente. Forum ini juga sekaligus bisa melakukan dukungan bagi parpol pengusung untuk mempromosikan praktik clean and good governance dalam proses pemilihan wawali ini.

Keempat, forum masyarakat peduli pilihan wawali bisa menyempatkan diri mengawal proses pleno pemilihan wawali di ruang sidang DPRD Salatiga. Memang, pengunjung ini hanya berperan sebagai observer (pengamat). Meski demikian, jika ada political will dari DPRD yang akan mendorong proses transparansi dan sekaligus mengatasi dampak negatif politik representasi, usaha untuk menyiarkan langsung proses pilihan ini, selain diliput media cetak akan sangat strategis juga ada peliputan oleh radio komunitas. Dengan penyiaran secara langsung, maka rakyat banyak di Salatiga akan dapat mengikuti proses ini.

Kelima, meski pilihan wawali terlihat sangat instrumental, sebenarnya bisa didorong para kandidat untuk menyampaikan visi-misinya dan komitmennya. Memang agak absurd usaha kampanye seperti ini, namun paling tidak akan memberikan informasi bagi masyarakat atau DPRD bagaimana sebenarnya kapasitas kemampuan kandidat sebagai pasangan walikota kelak.

Kelima catatan ini bisa saja menjadi agenda bersama para pemangku hak demokrasi di Salatiga.


Demokrasi Deliberatif, Mimpi Bersama

Bila para pihak yang berkepentingan membangun demokrasi dalam pilihan kandidat wawali di Salatiga bersepakat bahwa meski ada keterbatasan regulasi dan godaan pragmatisme politik dalam pengisian jabatan wawali, maka inilah momentum untuk membangun demokrasi yang deliberatif di Salatiga. Demokrasi deliberatif adalah praktik demokrasi yang mengedepankan banyak pertimbangan tetapi juga mendorong tumbuhnya ruang dialektika bagi para aktor politik. Dengan cara seperti ini, maka kita bisa mewujudkan Salatiga bukan karena perkasanya para grandong-grandong politik, tetapi justru mendorong kuatnya good governance demokrasi. Mungkinkah Salatiga muncul sebagai entitas yang demikian? Semoga, kalau kita bermimpi bersama maka tak tertutup kemungkinan promosi demokrasi deliberatif dapat terwujud dalam pilihan wawali..


*Nick T Wiratmoko

Pengamat Politik Lokal

Bekerja di Lembaga Percik

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's