MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

20 Mei 2008

Budaya

Karawitan Tradisi nan Syahdu

Salatiga adalah salah satu kota di Jawa Tengah yang masih getol melestarikan karawitan. Meskipun umurnya sudah sangat tua, jika dinikmati dengan sungguh-sungguh, musik karawitan begitu syahdu di gendang telinga kita.

Merana dan Dicinta

Di tengah nasibnya yang merana di negeri sendiri, karawitan masih memiliki tempat untuk berkembang di Salatiga. Di kota ini, ada berbagai paguyuban karawitan. Dalam satu kesempatan, reporter Hati Beriman menyempatkan diri menengok Paguyuban Asmoro Budoyo.

Asmoro Budoyo Salatiga berdiri tahun 1991 yang di rintis Mester Sukardjo. Di Paguyuban Asmoro Budoyo, kita dapat menyaksikan berbagai kegiatan latihan untuk meningkatkan ketrampilan di bidang kesenian Jawa. Kegiatan itu meliputi karawitan, cokekan, ketoprak, wayang kulit, dan pawiyatan pedalangan anak-anak.

Khusus kesenian karawitan, personil yang dibutuhkan cukup banyak, yaitu 15-20 orang. Alunan musik ini sangat luwes sehingga dapat digunakan untuk mengiringi berbagai pertunjukan kesenian Jawa. Kesenian tari Jawa, wayang kulit, dan fragmen wayang orang serasa tak lengkap tanpa iringan karawitan. Perangkat musik ini ditambah kentongan jika sedang mengiringi pertunjukan ketoprak. Karena keluwesannya, musik karawitan menjadi salah satu pilihan bagi orang yang sedang mempunyai hajatan. Hal ini karena musik karawitan dianggap mampu memberikan ketenangan bagi pendengarnya.

Untuk meningkatkan kemampuan para anggota dalam memainkan alat musik, Ketua Paguyuban Asmoro Budoyo, Letkol (Purn) drg. K.R.H.T. H. Haryono, mengatakan, paguyuban mengadakan latihan rutin setiap malam Jum'at dan malam Minggu. Selama latihan berlangsung, anggota meningkatkan penguasaan terhadap alat musik, seperti bonang, kempung, saron, peking, gender, slentem, kenong, gong, gambang, siter, rebab, kemanak, dan terbang. Selain itu, setiap malam Selasa Kliwon, paguyuban yang bermarkas di Jalan Adi Sucipto ini mengadakan siaran langsung di RSPD. Kegiatan lainnya adalah Sarasehan Kebudayaan Jawa setiap malam Jum'at Kliwon dan mengisi acara rutin setiap Sabtu sore di Hotel Laras Asri. Asmoro Budoyo juga melayani warga yang ingin memanfaatkan keterampilan mereka dalam berkesenian. Biayanya cukup terjangkau untuk durasi (lama) pertunjukan selama tiga jam.

“Kesenian Jawa saat ini membutuhkan generasi muda untuk menjadi penerus dan mengembangkan budaya ini,” kata Haryono. Pasalnya, meskipun karawitan sudah mendunia, tapi merana di negeri sendiri. Gaungnya tertelan hingar bingar musik anak muda yang dinilai lebih modern dan gaul. Oleh karena itu, Asmoro Budoyo berupaya semakin banyak menggaet generasi muda untuk bergabung dengan paguyuban seni ini. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, kendala yang mereka hadapi semakin tidak mudah.

Menurut Haryono, menacari penerus untuk kesenian Jawa memang sangat sulit. “Rata-rata anak muda sekarang tidak suka dan tidak tertarik dengan kesenian tradisional Jawa,” tuturnya. Di antar kesulitan itu, yang paling sulit adalah mencari bibit sinden.

Hingga saat ini, anggota Asmoro Budoyo mencapai 50 orang. Hubungan antaranggota ini sangat akrab dan sudah seperti keluarga sendiri. Apabila ada yang sakit atau terkena musibah, paguyuban akan berusaha turut meringankan penderitaan dengan memberi sejumlah bantuan.

Mengapa Karawitan?

Berbicara tentang karawitan di Salatiga, terasa kurang lengkap tanpa pengetahuan sejarahnya. Sebenarnya, mengapa musik tradisional ini disebut karawitan?

Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa Jawa, yaitu rawit yang berarti rumit atau berbelit-belit. Rawit juga bisa berarti halus, cantik, berliku-liku, dan enak. Dalam bahasa Jawa, istilah karawitan khusus digunakan untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada nondiatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia, dan campuran yang indah didengar.

Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian karena gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya yang diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara hipotetis, sarjana J.L.A. Brandes (1889) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan.

Gamelan Jawa mempunyai sejarah yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami berbagai perubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatannya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitas. Dahulu, pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini, siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001).

Gamelan yang lengkap mempunyai sekitar 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 1015 pesinden dan atau gerong. Susunannya, terutama, terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang, rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai kawat yang dipetik bernama siter atau celepung.

Gamelan Jawa mempunyai tanggapan yang luar biasa di dunia internasional. Saat ini telah banyak diadakan pentas seni gamelan di berbagai negara Eropa dan memperoleh tanggapan yang sangat bagus dari masyarakat di sana. Bahkan, tak sedikit sekolah di luar negeri yang memasukkan seni gamelan sebagai salah satu musik pilihan untuk dipelajari oleh para pelajarnya. Ironisnya, di negeri sendiri masih banyak orang yang menyangsikan masa depan gamelan. Terutama para pemuda yang cenderung lebih tertarik pada musik-musik luar yang memiliki instrumen serba canggih. Dari sini diperlukan suatu upaya untuk menarik minat masyarakat kepada kesenian tradisional yang menjadi warisan budaya bangsa tersebut.

Secara filosofis, gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan erat dengan perkembangan religi yang dianutnya. Bagi masyarakat Jawa, gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan spiritual. Gamelan memiliki keagungan tersendiri. Buktinya, dunia pun mengakui gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Gamelan merupakan alat musik yang luwes, karena dapat berfungsi juga bagi pendidikan.

Sekarang ini, ada kecenderungan perbedaan persepsi yang dilakukan oleh generasi muda. Berbagai atraksi kebudayaan yang pada satu sisi kelihatan agak menonjol, tetapi di sisi lain merupakan kemunduran. Terutama yang menyangkut gerak-gerak tari dan penyuguhan gendhing-gendhing yang dikeluarkan. Anak muda terlihat tak tertarik gamelan karena tidak ada yang memperkenalkan. Selain itu, tidak ada yang mengajarkan. Artinya, ketidaktertarikan anak muda ini tak bisa disalahkan. Mayoritas orang tua, bahkan lingkungan sekolah, tidak mendukung anak mengenal gamelan. Bagi generasi muda, gamelan sulit diminati kalau dibunyikan seperti masa-masa dulu pada era orang tua atau kakek dan nenek mereka. Anak muda sekarang lebih suka jika membunyikan gamelan sesuka mereka dan dipasangkan dengan alat musik dan seni apa saja. Walaupun begitu, lewat cara-cara inilah gamelan mendapat jalan untuk lestari. Gamelan bukan sekadar alat musik tradisional atau obyek, namun ada spirit di dalamnya, yakni kebersamaan. Yang penting di sini adalah manusianya, yaitu bagaimana mereka merasa dekat dengan gamelan.

Perlu dipikirkan pula, demi kelestarian kebudayaan kita sendiri yang sungguh-sungguh adhi luhur, penuh dengan estetika, keharmonisan, ajaran-ajaran, filsafat-filsafat, tatakrama, kemasyarakatan, toleransi, pembentukan manusia-manusia yang bermental luhur, tidak lepas pula sebagai faktor pendorong insan dalam beribadah terhadap Tuhan, yaitu dengan sarana kerja keras dan itikat baik menjaga seni dan budaya sendiri. Jangan sampai ada suatu jurang pemisah atau gap dengan sesepuh yang benar-benar mumpuni (ahli). Bahkan, komunikasi perlu dijaga sebaik-baiknya dengan sesepuh sebagai sumber atau gudang yang masih menyimpan berbagai ilmu yang berhubungan dengan masalah kebudayaan itu sendiri, terutama para empu-empu karawitan, tari, dan seni Jawa yang lain.(kst/berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's