Adipura, Tanggung jawab Siapa?
Adipura. Kata yang satu ini begitu mudah diucapkan, namun sulit diraih.
Adipura merupakan award (penghargaan) pemerintah pusat kepada daerah (kabupaten/kota) yang peduli terhadap lingkungan. Kriteria bersih dan indah inilah yang sulit untuk diwujudkan.
Gengsi tinggi tentu akan melekat pada daerah yang mendapatkan penghargaan ini. Bagaimana tidak? Dengan memboyong Adipura, suatu daerah tidak dicap lagi sebagai kota yang jorok atau kotor.
Begitu pun kota kita tercinta, Salatiga. Kota berhawa sejuk ini pernah memperoleh penghargaan bergengsi ini. Pada periode 1996-1997, Salatiga dinilai memenuhi syarat untuk masuk kriteria peduli terhadap lingkungan.
Selain itu, pada periode penilaian 2005-2006, Salatiga memperoleh nilai 69 yang berarti telah mendekati syarat minimal, yaitu 71. Dengan perolehan nilai ini, Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) bersemangat untuk meningkatkan perolehan nilai. Berbagai upaya telah dilaksanakan. Di antaranya, membersihkan jalan utama dan pasar serta saluran air secara rutin. Ironisnya, pada tahun berikutnya, nilai Salatiga justru turun. ”Kami sangat kecewa karena yang membuat nilai jatuh adalah fasilitas umum yang di luar tanggung jawab DPLH,” ungkap Drs. Tedjo Suprianto, M.M.
Padahal, menurut Kepala Bidang Kebersihan DPLH ini, untuk mendapatkan Adipura, suatu kota tidak perlu menjadi yang terindah, terbersih, atau terbaik. ”Memenuhi kriteria penilaian dan masuk sepuluh besar adalah modal yang cukup untuk membawa pulang Adipura,” paparnya.
Tedjo, demikian dia biasa disapa, juga memberikan gambaran tentang tata cara penilaian. Mencapai batas nilai tersebut tidaklah mudah. Pasalnya, yang dinilai oleh tim tidak hanya menyangkut satu instansi, melainkan menyeluruh. Tim akan menelusuri secara detail obyek suatu tempat yang masuk dalam penilaian. Tim juga tidak diketahui kapan datangnya dan siapa yang akan menilai.
Tim hanya memberi tahu perkiraan bulannya. ”Kita juga tidak mendampingi mereka dalam penilaian, sehingga tidak ada alasan yang memberi keringanan,” tambahnya. Mereka datang sendiri, langsung mengambil gambar dan menyutingnya kemudian memberi penilaian.
”Kita dapat mengetahui kunjungan mereka ketika diminta menyelenggarakan forum pertemuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) beserta Camat, Lurahdan RW,” jelasnya. Dalam pertemuan itu, tim penilai memutarkan hasil gambar yang mereka ambil. Kemudian, mereka memberi keterangan kekurangan kota kita. Dari situ, munculah nilai yang dihasilkan. Obyek yang dinilai dalam penyelenggaraan Adipura ini beragam. Mulai dari pasar, pertokoan, terminal bus dan angkutan kota, sekolah, serta perkantoran. Selain itu, perumahan, jalan kolektor, jalan arteri, puskesmas, rumah sakit, dan tempat pembuangan akhir (TPA) juga dinilai. Dari semua tempat yang dinilai tersebut mengandung aspek pengelolaan sampah, drainase, penghijauan, parkir, dan penataan pedagang kaki lima-jika ada.
Semua aspek penilaian menyangkut kebersihan dan keindahannya. ”Sebagian besar obyek penilaian yang menjadi tanggung jawab kami telah diupayakan memenuhi kriteria penilaian,” tegasnya. Buktinya, nilai kebersihan dan keindahan meningkat pada jalan umum dan lampu penerangan jalan. Sedangkan nilai yang jatuh sebenarnya menjadi tanggung jawab SKPD atau dinas terkait.
Hasil ini menunjukkan, memboyong Adipura bukanlah tanggung jawab DPLH semata. Tetapi, upaya meraih Adipura adalah tanggung jawab masyarakat luas dan dinas terkait yang membawahi obyek. Sebagai contoh, kebersihan dan keindahan pasar menjadi tanggung jawab Dinas Pasar dan PKL, RSUD menjadi tanggung jawab RSUD, dan trotoar,drainase menjadi tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum.
”Meskipun demikian, kita tidak membatasi tugas secara kaku,” kata Tedjo. DPLH selama ini juga membantu dinas terkait. ”Kami membagi beberapa kelompok dalam berbagai shift (jam kerja) untuk setiap saat menjaga kebersihan pasar,” ungkapnya. Kebersihan jalan juga dirawat DPLH. Buktinya bisa dilihat dari batas kota lama Soka sampai Pamot.
”Meskipun demikian, kita tidak membatasi tugas secara kaku,” kata Tedjo. DPLH selama ini juga membantu dinas terkait. ”Kami membagi beberapa kelompok dalam berbagai shift (jam kerja) untuk setiap saat menjaga kebersihan pasar,” ungkapnya. Kebersihan jalan juga dirawat DPLH. Buktinya bisa dilihat dari batas kota lama Soka sampai Pamot.
Kekurangan DPLH adalah belum memadainya TPA yang ada serta tidak adanya hutan kota. Menurut Tedjo, kendalanya adalah dana. Memang, merujuk pada syarat TPA, Salatiga belum memiliki TPA yang letaknya terisolir, akses jalan yang mudah, ada pos penjagaan, adanya pagar, tidak ada asap pembakaran, ada pohon peneduh, serta ada sumur pantau. Prasarana lain agar TPA memenuhi syarat adalah adanya alat berat, drainase, saluran lindi, dan penanganan gas. ”TPA Ngronggo yang kita miliki masih jauh dari persyaratan tersebut,” sesalnya. Sudah barang tentu, kondisi ini akan mengurangi fungsi TPA itu sendiri.
Meskipun demikian, DPLH tidak berputus asa untuk terus menjaga dan merawat kota Hati Beriman ini sesuai bidang tugasnya. Penyediaan gerobak dan tempat pembuangan sampah berdasarkan permintaan warga, telah diupayakan. DPLH juga menjalin kerja sama dengan masyarakat luas, TNI, Polri, serta berbagai partai politik dalam program bersih-bersih lingkungan.
Bersama Yonif 411, DPLH membersihkan Jalan Veteran. Kita juga perna bekerja sama dengan warga Perumahan Domas, DPLH menyediakan sarana dan mobilitas. Kegiatan yang lain yaitu: bersama warga Kalioso dan Pancuran membersihkan saluran air dan dengan warga Perum Dliko Indan serta Karang Alit bersih-bersih lingkungan.
Pendek kata, DPLH siap membantu siapa pun, kapan pun, dan di mana pun dalam menjaga dan merawat Kota Salatiga. ”Kami bekerja tidak pandang waktu. Hari libur dan besar pun selalu ada petugas yang piket,” tegasnya.
Menurut pria yang berkantor di Jalan Hasanuddin 110 ini, jika pemerintah dan elemen masyarakat bersama-sama menjaga Kota Salatiga, tak dicari pun, Adipura sudah datang sendiri. Oleh karenanya, Tedjo menghimbau masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam menjaga kebersihan lingkungan di sekitarnya.
”Selain itu, saya ingin mengingatkan masyarakat bahwa penilaian Adipura akan dilakukan lagi pada bulan Maret tahun 2008 ini,” ungkapnya. Diharapkan, seluruh pihak mempersiapkan diri serta terus menjaga lingkungannya. ”Jangan ada lagi pihak yang memasang spanduk atau bendera secara sembarangan,” pintanya. Pemasangan spanduk dan bendera harus mengikuti aturan yang berlaku.
Pendek kata, DPLH siap membantu siapa pun, kapan pun, dan di mana pun dalam menjaga dan merawat Kota Salatiga. ”Kami bekerja tidak pandang waktu. Hari libur dan besar pun selalu ada petugas yang piket,” tegasnya.
Menurut pria yang berkantor di Jalan Hasanuddin 110 ini, jika pemerintah dan elemen masyarakat bersama-sama menjaga Kota Salatiga, tak dicari pun, Adipura sudah datang sendiri. Oleh karenanya, Tedjo menghimbau masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam menjaga kebersihan lingkungan di sekitarnya.
”Selain itu, saya ingin mengingatkan masyarakat bahwa penilaian Adipura akan dilakukan lagi pada bulan Maret tahun 2008 ini,” ungkapnya. Diharapkan, seluruh pihak mempersiapkan diri serta terus menjaga lingkungannya. ”Jangan ada lagi pihak yang memasang spanduk atau bendera secara sembarangan,” pintanya. Pemasangan spanduk dan bendera harus mengikuti aturan yang berlaku.
Tedjo juga meminta kesadaran semua pihak bahwa, disadari atau tidak, setiap kita adalah penghasil sampah. Jadi, janganlah keberatan dengan adanya Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan yang besarnya Rp 1.500 untuk daerah kota dan Rp 500 untuk daerah pemekaran.(lux)
===========================================================
Salatiga Butuh ULP
Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang efektif sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sistem pengadaan yang buruk mengakibatkan biaya tinggi. Karenanya, kehadiran unit pelayanan pengadaan barang dan jasa sangat diperlukan.
Ketidakberesan sistem pengadaan selama ini membuka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga menimbulkan banyak protes dan kecurigaan terhadap integritas proses pengadaan. Maklum, pengadaan barang dan jasa (B/J) pemerintah yang dibiayai oleh APBN/APBD, BUMN/BUMD maupun hibah luar negeri biasanya melibatkan dana yang cukup besar. Untuk menghindari penyimpangan yang mempunyai konsekuensi hukum, setiap pihak yang terlibat diharuskan memiliki pemahaman atas prosedur pengadaan B/J pemerintah. Oleh karena itu, Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dan perubahannya tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah mengharuskan setiap pengguna B/J dan Panitia/Pejabat Pengadaan B/J Pemerintah memiliki sertifikat keahlian pengadaan B/J pemerintah.
Kita harus berani mengakui dengan jujur bahwa sistem pengadaan kita belum berfungsi dengan baik dan profesionalisme Panitia/Pejabat Pengadaan maupun Pejabat Pembuat Komitmen masih kurang. Padahal meningkatkan profesionalisme, kemandirian, dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen, Panitia/Pejabat Pengadaan dan Penyedia B/J adalah kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan B/J yang harus diwujudkan secepatnya.
Khusus untuk Panitia/Pejabat Pengadaan, perlu dilakukan revitalisasi guna meningkatkan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawabnya. Pertama, Panitia/Pejabat Pengadaan kedudukannya setara dengan Pejabat Pembuat Komitmen, sehingga praktek menjadikan Panitia/Pejabat Pengadaan hanya sebagai alat legitimasi dan justifikasi prosedural administratif belaka dari suatu proses pengadaan harus dihilangkan.
Kedua, untuk menjamin kemandirian dan independensi Panitia/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan tugasnya, sebaiknya Panitia/Pejabat Pengadaan bukanlah bawahan langsung dari Pejabat Pembuatan Komitmen, atau pegawai yang secara structural berada di bawah Pejabat Pembuat Komitmen.
Panitia/Pejabat Pengadaan adalah garda terdepan/ujung tombak dalam proses pengadaan B/J pemerintah. Apabila garda terdepan dimaksud dapat menjalankan tugas secara tertib, professional, mandiri atas dasar kejujuran dan bertanggung jawab, maka pengadaan B/J pemerintah yang efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dapat tercapai.
Untuk menciptakan efisiensi, efektivitas, keterbukaan, transparansi, keadilan, dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa, maka pengadaan B/J dengan nilai di atas Rp 50 juta harus dilakukan melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang dibentuk melalui SK Walikota. ULP (procurement unit) terdiri atas para pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan B/J pemerintah. ULP terdiri dari beberapa kelompok kerja (pokja) dan sekretariat. Pokja khusus melakukan pelelangan sedangkan bantuan administrasi dan logistik dilakukan oleh sekretariat yang terdiri dari koordinator, wakil koordinator, sekretaris dan staf.
Keanggotaan dalam pokja ULP terdiri dari lima orang dan yang mempunyai sertifikat ahli pengadaan nasional. Anggota ULP diambil dari personil SKPD atau instansi lain terdekat yang sudah mempunyai sertifikat keahlian pengadaan B/J. Sertifikat keahlian pengadaan B/J pemerintah adalah bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan B/J pemerintah yang diperoleh melalui ujian sertifikasi keahlian pengadaan B/J nasional dan untuk memenuhi persyaratan seseorang menjadi pejabat pembuat komitmen atau panitia/pejabat pengadaan atau anggota ULP.
Syarat untuk menjadi anggota ULP adalah memiliki integritas moral, disiplin, tanggung jawab, dan memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan. Selain itu, anggota harus memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan/ULP yang bersangkutan, memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan, tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pejabat yang mengangkat dan menetapkannya sebagai panitia/pejabat pengadaan/anggota ULP, memiliki sertifikat keahlian pengadaan B/J pemerintah.
Dilarang duduk sebagai anggota ULP adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bendahara serta pegawai pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/Inspektorat Jenderal Departemen/Badan Pengawas Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, Pengawasan Internal BI/BHMN/BUMN/BUMD kecuali menjadi panitia/pejabat pengadaan/anggota ULP untuk pengadaan B/J yang dibutuhkan instansinya. Pejabat yang bertugas melakukan verifikasi surat permintaan pembayaran dan/atau pejabat yang bertugas menandatangani surat perintah membayar juga dilarang menjadi anggota ULP.
Tugas, wewenang, dan tanggung jawab ULP meliputi menyusun jadwal dan menetapkan cara pelaksanaan serta lokasi pengadaan, menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri, menyiapkan dokumen pengadaan, mengumumkan pengadaan B/J di surat kabar nasional dan/atau provinsi dan/atau papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan diupayakan diumukan di website pengadaan nasional, menilai kualifikasi penyedia melalui pascakualifikasi atau prakualifikasi, melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk, mengusulkan calon pemenang, membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada pejabat pembuat komitmen dan/atau pejabat yang mengangkatnya dan menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan B/J dimulai. Pakta integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen/panitia pengadaan/pejabat pengadaan/ULP/ penyedia B/J yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan B/J.
Menunjuk pada keterbatasan personil yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan B/J pemerintah utamanya dijumpai di lingkup satuan-satuan kerja di kabupaten/kota, maka tidak ada salahnya jika wacana pembentukan ULP ini diwujudkan. Hal ini sesuai dengan yang diamanahkan Perpres Nomor 8 Tahun 2006. Selain itu, ULP juga menjadi solusi alternatif atas ketentuan yang mengharuskan setiap pejabat/panitia pengadaan B/J pemerintah memiliki sertifikat keahlian dimaksud.
Memang, dalam implementasinya, ULP akan banyak menghadapi resistensi dan adaptasi, terutama dari para pengguna anggaran maupun kuasa pengguna anggaran masing-masing satuan kerja. Namun tentunya dibutuhkan goodwill (niat baik) untuk mewujudkan transparansi dan efektifitas program. Pasalnya, keberadaan ULP sangat bermanfaat dalam pengadaan B/J.
Sebelum terbentuk ULP, dokumen pelelangan dibuat masing-masing oleh SKPD sehingga terjadi ketidaseragaman sesuai dengan tingkat pemahaman pejabat/panitia terhadap dokumen yang harus disiapkan. Dengan adanya ULP yang anggotanya telah bersertifikat dan berpengalaman maka dokumen yang disusun sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga tecapailah standarisasi dokumen pelelangan. Dengan demikian, prinsip dasar pengadaan B/J tercapai, terutama prinsip terbuka, dan transparan serta adil/tidak diskriminatif.
Lama pelelangan memang telah ditentukan. Namun, ketidakpahaman panitia pengadaan pada tiap SKPD berakibat pada tertundanya pelaksanaan tahapan-tahapan pelelangan. Sehingga prinsip efisiensi waktu tak tercapai. Dengan ULP proses pelelangan akan lebih cepat.
Sebagaimana diketahui proses pengadaan adalah bagian dari kegiatan dalam pelayanan kepada masyarakat. Tetapi, proses pengadaan sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Dengan proses pengadaan dilakukan oleh ULP, maka SKPD dapat berkonsentrasi pada peningkatan pelayanan sesuai tupoksinya. Selain itu, prinsip efisien serta efektif dapat tercapai.
Manfaat lain dari pembentukan ULP adalah tidak terjadi nepotisme antara SKPD dengan penyedia B/J, aderah tidak perlu mempunyai pegawai yang bersertifikat ahli pengadaan dalam jumlah yang banyak. Di satu pemda cukup 15-25 orang pegawai bersertifikat yang bergabung di ULP. Para pegawai ini berasal dari masing-masing keahlian/dinas yang mengetahui (familiar) dengan substansi dari setiap pengadaan yang dilakukan. Pembinaan kepada ULP akan lebih mudah dibandingkan pembinaan kepada setiap kepanitiaan yang jumlahnya sangat banyak. Dengan pengadaan B/J melalui ULP, maka kesempatan untuk melakukan nepotisme antara SKPD dengan penyedia B/J berupa intervensi kepala SKPD kepada panitia pengadaan dapat dihindari karena ULP bersifat independen.
Mengacu pada prinsip-prinsip dasar pelaksanaan pengadaan B/J sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003, dalam praktek/implementasinya dapat ditetapkan indikator/ukuran keberhasilan dalam penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai prinsip-prinsip: efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
Indikator keberhasilan dalam penerapan setiap pengadaan barang dan jasa tersebut adalah sebagai berikut:
- Efisien dapat diukur dari kemampuan mengadakan B/J yang berkualitas dalam waktu yang singkat dan dana yang wajar.
- Efektif terwujud apabila B/J yang diadakan bermanfaat sesuai rencana.
- Terbuka dan bersaing berarti pengadaan B/J terbuka bagi bagi penyedia B/J yang memenuhi persyaratan dalam persaingan yang sehat.
- Transparan berarti adanya akses yang luas bagi penyedia B/J dan masyarakat terhadap B/J yang diadakan pemerintah.
- Adil/Tidak diskriminatif berarti adanya perlakukan yang sama terhadap semua penyedia B/J.
- Akuntabel berarti B/J yang diadakan sesuai dengan rencana fisik dan keuangan.
Semoga pemikiran dalam tulisan ini dapat menciptakan suatu terobosan baru untuk pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga di Tahun 2008.
*) Pegawai pada Pengadilan Negeri Kota Salatiga
Ahli Pengadaan Nasional L4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar