Sumeleh
Oleh: KRAT. Sudaryo Hadinagoro*)
Oleh: KRAT. Sudaryo Hadinagoro*)
Perkembangan jaman dan peradaban membawa dampak bagi perubahan nilai-nilai kehidupan manusia, terutama berkaitan dengan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat duniawi atau materi.
Kebutuhan akan hal-hal yang bersifat materi dan keduniawian mengakibatkan setiap individu menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Terkadang, mereka memaksakan kehendak pada sesama, bahkan, tak jarang, sampai pada tahap memaksakan kehendak pada Tuhan, Sang Maha Pencipta. Akibatnya, apabila sesuatu yang diinginkannya tidak tercapai maka keputusasaanlah yang akan muncul. Pada taraf tertentu, keadaan seperti ini akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap eksistensi Tuhan YME.
Hal seperti ini dapat terjadi karena manusia tidak menyadari bahwa sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dirinya penuh dengan kekurangan dan ketidakberdayaan. Dampaknya, manusia tidak dapat bersikap sumeleh atau menyerahkan diri sepenuhnya kepada kuasa Tuhan dengan keyakinan penuh bahwa Tuhan, Sang Maha Pencipta, akan memberikan anugerah yang terbaik bagi umat-Nya.
Sumeleh atau sumarah atau yang lebih lazim disebut dengan pasrah adalah sebuah kata yang gampang diucapkan, namun tidak mudah dilakukan. Seringkali terjadi kesalahan persepsi terhadap makna dan hekekat pasrah. Pasrah sering diasumsikan sebagai suatu bentuk ketidakberdayaan seseorang tanpa disertai adanya upaya untuk mengubah ketidakberdayaannya.
Pada hakekatnya, dengan bersikap pasrah atau sumeleh bukan berarti kita hanya mengandalkan bantuan orang lain tanpa berupaya. Tetapi, pasrah berarti ikhlas menerima semua anugerah dari Tuhan, baik yang dirasakan manis maupun pahit. Keikhlasan yang disertai upaya untuk memperbaiki atau mengubah kehidupan menjadi lebih baik dan keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Kasih akan memberikan yang terbaik bagi kita.
Untuk menjadi individu yang mampu bersikap pasrah atau sumeleh dibutuhkan kedewasaan sikap dan pribadi. Selain itu, disertai keyakinan sepenuhnya kepada Tuhan bahwa semua anugerah dan karunia-Nya merupakan sesuatu yang terbaik bagi kita. Dengan kata lain, yang terbaik bagi Tuhan adalah yang terbaik pula bagi manusia.
Dalam perkembangannya, sering muncul pertanyaan mengenai keterkaitan antara pasrah dengan takdir. Memang, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa rasa pasrah berkaitan dengan takdir, yakni, pasrah terjadi karena adanya takdir sehingga manusia menjadi malas untuk berupaya atau memperbaiki nasibnya karena beranggapan bahwa apa yang dialaminya merupakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada gilirannya, pasrah yang seperti ini akan mengakibatkan munculnya rasa malas untuk berupaya mewujudkan cita-cita yang lebih baik.
Perasaan seperti ini pada dasarnya muncul karena ketidakpercayaan pada diri sendiri, mudah putus asa, dan tidak mau mengakui bahwa dirinya sebenarnya mempunyai potensi dan kemampuan yang dapat dikembangkan. Dengan demikian, seharusnya manusia dapat tetap bersikap untuk berusaha mengembangkan diri dan potensinya dalam rangka memperbaiki nasib/kehidupannya dengan tetap menyerahkan diri sepenuhnya kepada kuasa dan keadilan Tuhan atau dengan kalimat lain, manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.
Memang, sebenarnya dalam siklus kehidupan manusia dikenal dan diakui adanya takdir. Akan tetapi, takdir yang dimaksud di sini bukanlah seperti anggapan di atas, yang menyerah tanpa usaha terhadap kenyataan yang ada. Takdir yang dimaksud di sini adalah suatu hasil atau tuaian terhadap usaha yang telah kita lakukan dengan tetap berpegang pada kuasa Tuhan.
Takdir apapun yang kita alami tidak perlu dihadapi dengan keluh kesah. Pada kenyataaannya, semua ini merupakan sesuatu yang harus kita terima dan alami. Oleh karena itu, diperlukan sikap pasrah dan bersujud secara tulus kepada Tuhan Yang Maha Suci. Takdir tidak mengenal pangkat atau golongan, karena semua orang mengemban amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Dengan demikian, jelas bahwa dalam keluhuran budi dan kebaikan seseorang tidak diukur berdasarkan pangkat, jabatan, kekayaan, maupun hal-hal yang bersifat keduniawian, akan tetapi didasarkan pada bagaimana seseorang tersebut melaksanakan apa yang digariskan oleh Tuhan, sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Sehubungan dengan hal tersebut dalam menerima takdir diperlukan sikap kerendahan hati dan percaya sepenuhnya bahwa Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang merugikan atau tidak adil. Dengan demikian, maka tidak akan ada sifat angkuh atau sebaliknya, putus asa, dalam diri kita. Angkuh atau sombong karena mampu mengatasi segala permasalahan dan mencapai segala yang diinginkan atau putus asa karena kegagalan yang kita terima. Apabila kita mampu menyadari bahwa keberhasilan dan kegagalan usaha kita semua bergantung pada kehendak dan kuasa-Nya, maka tidak akan muncul sifat sombong dan putus asa.
Semua hal tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila kita mampu mengendalikan hawa nafsu sebagai dasar untuk menjalani hidup. Dengan demikian tidak mudah bagi seseorang untuk bersikap sumeleh atau pasrah, diperlukan kesiapan batin. Berkenaan dengan hal tersebut terdapat beberapa sarana yang dapat dilakukan antara lain :
1. senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa setiap perbuatan baik yang dilakukan pasti akan menuai hasil yang baik pula.
2. senantiasa mawas diri dan dapat mengukur kekuatan yang dimilikinya, sehingga dalam setiap doa-doa yang dipanjatkan tidak memohon hal-hal yang diluar kemampuannya.
3. senantiasa mensyukuri semua anugerah yang Tuhan berikan baik yang indah/manis maupun yang pahit. Apabila menerima anugerah yang dirasakan pahit, maka berusahalah untuk senantiasa berfikiran positif bahwa :
a. Tuhan tidak akan menyengsarakan umatnya;
b. Kesedihan yang dialami manusia pada hakekatnya terjadi karena manusia itu sendiri tidak memahami rahasia alam atau rahasia kehidupan. Kita sebagai manusia tidak menyadari bahwa dunia ini semua bersifat semu, sedih dan gembira datang silih berganti. Apabila kita menyadari hal tersebut, maka sudah barang tentu perasaan kita tidak akan terlarut terhadap suasana gembira maupun sedih dengan berlebihan.
c. Anugerah yang dirasakan pahit atau pedih pada dasarnya merupakan bentuk kasih Tuhan kepada kita, dengan adanya anugerah yang dirasakan pahit tersebut setidaknya akan dapat mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam melangkah dan selalu mawas diri dalam setiap tindak-tanduk sehari-hari.
4. Kita harus menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang bersifat abadi, sedih dan gembira; sakit dan sehat akan senantiasa datang silih berganti.
Dengan bersikap sumeleh, kita tidak akan mengeluh terhadap permasalahan atau kegetiran hidup yang kita alami. Selain itu, dengan bersikap sumeleh, kita tidak akan berbuat baik kepada orang lain hanya sekadar untuk membalas budi karena orang lain telah berbuat baik pada kita. Namun, kita akan terdorong untuk berbuat baik pada orang lain karena kesadaran yang tumbuh dalam diri kita untuk berbagi kasih Tuhan pada sesama.
Berkaitan dengan itu, maka manusia harus tetap berusaha dan berupaya untuk menjadi lebih baik, dengan tetap berserah diri pada kekuasaan Sang Maha Pencipta.
*) Pensiunan PNS Pemkot Salatiga
Pemerhati Budaya Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar