Pendidikan Inklusif Tanpa Diskriminatif
Oleh: Drs. H. Damroji, M.Pd.*)
Keprihatinan terhadap dunia pendidikan di Indonesia tak surut dibicarakan. Seolah, dunia pendidikan kita sarat permasalahan yang tak ada ujung penyelesaiannya.
Setara Meski Beda
Berpuluh tahun, para pengamat, paktisi, dan mereka yang prihatin terhadap bidang pendidikan, memberikan kritikan tajam terhadap manajemen, kurikulum, komersialisasi buku, ujian nasional, dan kualitas guru. Harus diakui, bukannya tuntas, persoalan-persoalan tersebut sampai kini malah semakin memprihatinkan.Tanpa bermaksud mengabaikan beragam masalah di atas, para kritikus pendidikan ternyata lupa tentang pentingnya pendidikan inklusif, yakni pendidikan yang dapat diikuti oleh semua orang tanpa kecuali. Istilah inklusif luput dibicarakan sampai sekarang. Padahal, banyak siswa yang tidak layak masuk sistem pendidikan konvensional (umum). Mereka adalah para siswa yang berkelainan mental, cacat fisik, maupun hambatan psikis (kejiwaan).Penting untuk mengakui bahwa masyarakat yang lengkap ditandai dengan keragaman, bukan kesamaan. Meskipun berbeda dalam gender, penampilan, kesehatan, kemampuan, dan keberfungsian, sebagai manusia, kita diciptakan setara, baik anak-anak maupun orang dewasa. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai praktek pengotak-kotakkan karena berbagai alasan.
Persoalan Mendasar
Ide pendidikan inklusif bermula dari kenyataan bahwa perilaku manusia (human behavior) sangat kompleks (rumit). Hampir tidak mungkin mencari penyebab yang tunggal dan terpisah bagi ketidakstabilan emosi (perasaan) atau perilaku. Beberapa faktor fisik atau lingkungan dapat meningkatkan kemungkinan berkembangnya suatu masalah. J. David Smith (1998) menjelaskan, banyak anak tertinggal yang tidak tampak mempunyai hambatan (cacat) namun juga tidak bisa sebaik yang diharapkan sekolah dan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Smith mencatat tiga persoalan mendasar yang harus dievaluasi.Pertama, adanya anggapan tentang keterbelakangan mental ringan. Para guru sekolah konvensional biasanya menilai anak yang lambat berpikir mengalami hambatan mental. Skor IQ (tolok ukur kecerdasan) yang rendah sering dijadikan satu-satunya bukti dalam hal ini. Kalau sudah begini, maka kecillah harapan orang tua untuk memajukan anak-anaknya. Sebab IQ rendah seolah menjadi sebuah takdir.Kedua, menyangkut anak yang kurang berkembang di sekolah bukan karena menyandang cacat tertentu, tetapi karena ketidakstabilan emosi (emotional disturbance). Para guru sering menggolongkan anak-anak ini sebagai anak yang mengalami hambatan emosional dalam belajar (emotional block to learning). Smith berpendapat bahwa ini adalah kesalahan asumsi, sebab dengan demikian anak yang tidak stabil emosinya harus diberi terapi khusus.Ketiga, anak-anak yang tidak maju belajarnya di sekolah karena malas. Soal kemalasan sering dikaitkan dengan keluarga. Dengan kata lain, anak malas karena masalah orang tua. Dalam perspektif (sudut pandang) pendidikan inklusif, hal-hal yang dikatakan Smith tersebut adalah mitos. Pendidikan inklusif tidak mengenal hambatan maupun kekurangan. Inklusif adalah solusi bagi siapa pun, di mana pun, bahkan dalam kondisi apa pun.
Inklusif
Dari penjelasan sebelumnya, kita dapat melihat, betapa manusiawinya visi inklusif. Ia menekankan pentingnya mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Termasuk di dalamnya, siswa yang berkelainan. Normal Kunc (1980) mengatakan, pendidikan yang inklusif adalah bagian dari nilai-nilai kehidupan. Kunc menegaskan prinsip dasar inklusif adalah menghargai perbedaan dalam masyarakat manusia. Bila pendidikan inklusif dirangkul sepenuhnya, kita meninggalkan ide bahwa siswa harus menjadi “normal” agar dapat berperan dalam kehidupan ini. Sistem pendidikan inklusif berarti antitesis (pertentangan) terhadap pendidikan eksklusif (khusus) dan segregatif (pengucilan) yang hanya memerhatikan kelompok mayoritas. Pendidikan gaya inilah yang selama ini masih berlaku dalam dunia pendidikan konvesional. Pendidikan inklusif tidak hanya membicarakan anak-anak berkelainan, tetapi membicarakan semua siswa yang belajar. Setiap siswa mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda. Tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan bagi seluruh siswa untuk mengoptimalkan potensinya dan memenuhi kebutuhan belajarnya melalui program pendidikan inklusif.Dunia internasional pun telah mengakui pentingnya pendidikan inklusif. Secara legal, pendidikan inklusif mendapat pengakuan internasional dalam Konferensi Dunia tahun 1994 oleh UNESCO (United Nation Educational Scientific and Cultural Organization) di Salamanca, Spanyol. Sikap UNESCO jelas, yaitu agar setiap negara memiliki komitmen terhadap pendidikan yang baik kepada anak, remaja, dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan di dalam sistem pendidikan regular. Lembaga itu juga menyetujui kerangka aksi mengenai pendidikan kebutuhan khusus. Diharapkan, semangat, ketetapan, serta rekomendasinya kerangka aksi itu menjadi pedoman bagi setiap pemerintah dan organisasi dalam menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan.
Belum Berkembang
Sejak tahun 1984, Indonesia sudah mulai melaksanakan wajib belajar pendidikan 6 tahun. Wajib belajar atau lebih dikenal dengan wajar ini ditindaklanjuti dengan wajar 9 tahun pada tahun 1994. Program ini tentu belum menyentuh wilayah anak yang mengalami hambatan mental maupun cacat fisik. Barulah, pada tahun 2003, Departemen Pendidikan Nasional, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah, mengintruksikan pentingnya pendidikan inklusif. Instruksi itu berisi anjuran kepada kepala dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten/kota agar menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif. Sayangnya, sampai sekarang, pendidikan ini belum dapat dikatakan berkembang dengan baik. Bahkan, untuk sekadar mendiskusinya pun orang masih setengah hati.
Pendidikan Tinggi adalah Hak
Permasalahan pendidikan di dunia modern semakin kompleks. Banyak hal yang harus diperhatikan agar para peserta didik benar-benar menjadi manusia bermartabat dari proses pendidikan yang mereka jalani. Keragaman inilah yang membuat para pemikir dunia pendidikan berupaya mencari terobosan sistem yang dapat menjawab persoalan masing-masing siswa.Di masa yang akan datang, siswa berkebutuhan khusus diharapkan dapat memenuhi kualifikasi untuk memasuki pendidikan tinggi dalam jumlah yang lebih besar. Untuk itu, kualitas dan kemampuan individu pada pendidikan tingkat dasar dan menengah untuk menyesuaikan diri harus ditingkatkan. Sebagai tindak lanjutnya, hingga 10 persen kursi di perguruan tinggi negeri diharapkan dapat dialokasikan untuk pelamar yang berkebutuhan khusus. Ini berarti bahwa jika persyaratan akademik umum sudah terpenuhi, pelamar yang berkebutuhan khusus dapat memperoleh pengecualian dari kompetisi umum.Semua anak yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan berhak dan membutuhkan pendidikan berkualitas tinggi yang relevan. Masalah ini merupakan aspek penting dari prinsip internasional tentang pendidikan untuk semua. Sekolah regular perlu berubah menuju lingkungan belajar yang melibatkan semua anak. Agar menjadi inklusif, sekolah regular perlu berkembang menjadi tempat pertemuan bagi pengetahuan dan keterampilan pendidikan reguler dan pendidikan kebutuhan khusus.Penelitian dan pendidikan tinggi dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus merupakan hal penting untuk menjamin kualitas pendidikan yang relevan dan mendukung siswa yang berkebutuhan khusus.
*)Kepala SLB-B Wantuwirawan Salatiga
Pemerhati Pendidikan Anak Cacat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar