MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

31 Agustus 2007

Slametan, Integritas Mistis dan Sosial


Slametan atau kondangan adalah versi Jawa yang merupakan upacara keagamaan yang sederhana dan formal. Slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan. Handai taulan, tetangga, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah meninggal, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan. Mereka duduk bersama mengelilingi satu unit sajen.

Slametan yang waktunya ditetapkan menurut peristiwanya seperti kelahiran dan kematian, orang Jawa tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan tetapi sudah ditentukan oleh Gusti Allah. Berbeda dengan slametan untuk peristiwa seperti khitanan, perkawinan, membuka pabrik, dan lainnya, waktunya perlu ditetapkan oleh kehendak manusia. Dalam penetapan waktunya tidak sembarangan. Untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan slametan harus memalui perhitungan yang sangat cermat dan teliti.

Dengan suatu tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan system ramalan numerologi berdasarkan waktu penanggalan Jawa yang bersifat pulsative, yang disebut petungan. Sistem petungan merupakan cara untuk menghindari disharmoni dengan tatanan umum alam yang barangkali akan membawa ketidakberuntungan.

Dasar system petungan yang berkesan berbelit-belit itu terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental yang disebut cocok. Dalam pengertian yang paling abstrak dan luas, dua hal yang terpisah akan cocok apabila koinsidensi mereka membentuk suatu pola yang estetis.

SAJEN SLAMETAN

Suatu slametan persyaratan yang paling mendasar adalah sajen. Kelengkapan jenis sajen menurut hajat atau kehendak dari orang yang melaksanakan slametan itu. Setelah sajen sudah lengkap, diletakkan di atas hamparan tikar di atas lantai, dikelilingi oleh peserta slametan. Semua pria yang diundang adalah tetangga dekat. Dasar penentuan jarak yang diundang adalah teritorial bukan berdasarkan hubungan keluarga atau jabatan. Mereka duduk pada posisi formal, sila. Kemudian yang punya hajat (biasanya diwakilkan) menyampaikan ujub, membuka upacara slametan itu menggunakan bahasa Jawa tinggi (karma inggil) yang sangat resmi. Mengucapkan selamat datang dan mengutarakan maksud diadakan upacara slametan. Ia menganggap mereka sebagai saksi dari keikhlasan dan kesungguhan niatnya melaksanakan slametan untuk merealisasi maksud utamanya. Ia berharap semuanya akan memperoleh berkah (Jawa; berkat) yang ditimbulkan dari diadakannya slametan.

Ujub tidak hanya menyampaikan selamat datang saja tetapi lebih pada menyampaikan penjelasan tentang sajen. Jenis, arti, persembahan untuk roh-roh, tujuan dan harapan dari yang disimbolisasikan lewat jenis-jenis sajen.

Salah satu contoh, tumpeng janganan. Tumpeng janganan yang dibuat nari nasi putih berbentuk lancip mengarah ke atas dilengkapi dengan janganan (sayur mayur) beserta lauk pauk, telur ayam, gereh pethek, tempe, dan sebagainya.

Semua itu merupakan hasil dari usaha atau pekerjaan manusia, dipersembahkan kepada Kaki Dhanyang dan Nyai Dhanyang yang menguasai kampung yang diyakini menjaga dan menyelematkan dari segala mala petaka.

Nasi putih melambangkan ketulusan dalam persembahan, bentuk lancip (mengerucut) ke atas perlambang kebulatan (manther) kepada yang di atas (Gusti Allah). Sayur mayur dan yang lainnya merupakan hasil dari pekerjaan memanfaatkan alam (tanah, air dan hewan peliharaan)

Sedangkan jenis sajen lainnya merupakan simbolisasi persembahan terhadap roh-roh atau dewa-dewa tertentu yang lain yang menguasai tempat-tempat vital yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Ujub dan doa bersama pada setiap upacara slametan selalu ditutup dengan kalimat keyakinan, semua akan terkabul atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa.

djisnozero45

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's