MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

18 Januari 2009

BUDAYA; Suran, Tradisi Jawa Berdasarkan Tarikh Islam

SURAN

Tradisi Jawa Berdasarkan Tarikh Islam

Setiap tanggal 1 Sura masyarakat Jawa dan non Jawa yang percaya, selalu melaksanakan kegiatan sakral dalam menyambut pergantian tahun Jawa.

Tahun atau tarikh Jawa dibuat oleh Sultan Agung, raja Mataram (Islam).

Waktu itu yang digunakan adalah tarikh Saka dan Masehi, yang berdasarkan perhitungan putaran matahari, serta tarikh Hijriah yang berdasarkan perhitungan putaran bulan. Kemudian Sultan Agung membuat tarikh Jawa (Islam) yang berdasarkan putaran bulan, melanjutkan umurnya tarikh Saka, 1555.

Tahun Jawa mulai diberlakukan sejak 1 Sura, Alip 1555 ( 1 Asvina 1555 Saka =

1 Januari 1633 Masehi = 1 Muharam 512 Hijriah )

Tarikh Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung dilengkapi unsus-unsur seperti;

7 hari ( Ahad, Senen, Slasa, Rebo, Kemis, Jumuah dan Setu ), 5 pasaran

( Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon ), 12 bulan ( Sura, Sapar, Mulud, dst.),

8 tahun ( Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir ), 4 windu ( Adi, Kunthara, Sangsara dan Sancaya ), 30 wuku ( Sinta, Landep, Wukir, dst.),

12 mangsa ( Kasa, Karo, Katelu, dst.) serta 5 Kurup ( Jamngiyah, Kamsiyah, Arbangiyah/Aboge, Salasiyah/Asapon dan Isneniyah ).

Kelengkapan dari unsur-unsur itu kemudian digunakan sebagai Pawukon, sebagai dasar perhitungan perbintangan Jawa.

Sultan Agung membuat tarikh Jawa itu tidak sekedar untuk mendamping tarikh Hijriah tapi yang lebih mendasar adalah untuk menghormati ( secara historis dan naluri ) hijrahnya Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah.

Sakralitas naluri budaya Jawa yang dilakukan waktu itu adalah laku prihatin. Laku prihatin sebagai kontemplasi atas peristiwa hinjrah Nabi Muhammad SAW ( dalam situasi perang ) dan itu masih dilakukan sampai sekarang. Berbagai macam media dan ekspresi menurut kepercayaan masing-masing dilakukan oleh masyarakat Jawa, pada dasarnya tujuannya sama yaitu memanjatkan doa kepada Yang Kuasa agar senantiasa diberi keselamatan dan kesejahteraan ( pribadi, kelompok maupun negara )

SAKRALITAS SURA

Mewarisi naluri budaya Jawa berarti mempercayai laku tirakat. Seperti halnya ketika menyambut pergantian tahun Jawa atau suran. ( melakukan laku tirakat dibulan Sura) .Laku tirakat Suran yang dahulu dilakukan ditempat-tempat dataran tinggi, di puncak gunung, bukit atau tempat-tempat lain, sampai kini masih dilakukan. Karena sementara ada kepercayaan dari masyarakat Jawa bahwa, di tempat yang semakin tinggi berarti semakin dekat dengan Yang Kuasa.

Pada perkembangannya proses sakralitas memperingati tahun baru Jawa denga melakukan di tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral. Mendaki puncak gunung keramat untuk melakukan laku prihatin. Laku kungkum di sendang tertentu atau ziarah di makam-makam keramat. Sementara ada yang mengadakan pementasan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon tertentu yang dianggap keramat.

Selain laku tirakat, masyarakat Jawa juga mempercayai kekeramatan bulan Sura dalam pengetrapan di kehidupannya. Melaksanakan perkawinan atau keperluan lain diangap ora ilok, tidak pantas. Karena bulan Sura adalah bulan keramat yang hanya cocok untuk laku prihatin, lebih mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Bulan keramat yang tidak pantas untuk melakukan pesta. Bahkan ada sementara pendapat, setiap hari kelahirannya tidak pernah diperingati tapi pada bulan Sura wajib diperingati dengan kelengkapan sesaji.

Berbagai macam dan tata cara kegiatan dalam menyambut bulan Sura bagi masyarakat Jawa adalah bagian dari kegiatan religius. Semua itu dilakukan hanya dalam proses pendekatan kepada Yang Kuasa. Sedangkan tata cara termasuk sesaji yang diperlukan hanyalah sebuah sarana berdasarkan kepercayaan dari naluri budaya yang berlaku.

*)Budayawan di Kota Salatiga

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's