Kebijakan Sebagai Buah Pikir Pemimpin Sapto Sunarso, S.Pd.* Sejarah perjalanan bahasa Jawa menunjukkan ada beberapa aksara yang digunakan. Pertama, adanya bukti prasasti-prasasti berhuruf Dewanagari (berbahasa Sanskreta) dan Pallawa (berbahasa Sanskreta). Kedua, banyaknya naskah atau teks tulisan tangan dengan aksara Kawi, aksara Arab, aksara Jawi (atau bahasa Jawi : adalah nama kuno untuk bahasa Melayu, khususnya yang ditulis dengan huruf Arab (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 3; 1989:53), dan aksara Hanacaraka (aksara Jawa). Bahkan banyak teks yang menggunakan aksara Sanskrit berbahasa Jawa Kuno. Ketiga, penggunaan aksara Latin yang digunakan sampai sekarang. Dengan demikian bahasa Jawa merupakan bahasa yang unggul di bidang kekayaan pengunaan aksara. Hampir semua aksara yang digunakan dalam bahasa Jawa bersifat silabis, kecuali aksara Latin. Misal aksara Jawi dan Jawa. Contoh, kata ”bata” (4 huruf abjad Latin) ditulis dengan 2 lambang (2 aksara Jawi : , 2 aksara Jawa : ). Silabis adalah aksara atau sistem tulisan yang menggunakan satu lambang untuk satu suku kata. Setiap lambang terdiri dari vokal dan konsonan (Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 1; 1988:186). Di dalam sistem penulisan kedua jenis aksara ini sama-sama mempunyai variasi aksara untuk mencukupi kebutuhan lafal bahasa Jawa, disebut aksara rekan (rekaan), seperti huruf nga (aksara Jawi) dan qa (aksara Jawa). KBBI (2000:21) mengartikan aksara Jawa adalah aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa, berjumlah 20 huruf, bermula dengan ha dan berakhir dengan nga. Betulkah? Kalau dicermati, aksara Jawa mempunyai 2 golongan. Pertama, huruf. Kedua, penanda. Huruf Jawa 57 jumlah bentuknya (legena, pasangan, murda, rekan, angka, aksara swara). Penanda dalam aksara Jawa terdapat 28 bentuk (sandhangan, mandaswara, wyanjana, pada). Jadi, ada 85 bentuk dalam sistem penulisan aksara Jawa. Aksara Hanacaraka atau yang lebih dikenal dengan nama aksara Jawa mempunyai keistimewaan lebih. Dalam barisan aksaranya pun terkandung sebuah kisah. Kisah itu mempunyai beberapa filosofi hidup masyarakat Jawa. Kandungan filosofi dalam aksara Jawa sangat mencengangkan sebagian besar ahli bahasa di dunia. Contohnya, dari tata aturan tulisan yang menggantung garis yang menunjukkan orang Jawa akan mendapat gelar njawani atau wis Jawa. Pangkon yang membuat aksara yang 'dipangku' menjadi konsonan, mati (tidak berbunyi) menunjukkan adanya budaya ewuh pakewuh, saling menghormati, dan saling berbalas budi. Tehnik menulis yang diawali dengan goresan tipis ke atas dan tekanan kuat ke bawah yang melambangkan hubungan antara yang tua dan muda, yang besar dan kecil, dsb. Banyaknya filsafat budaya orang Jawa dalam aksara Jawa meliputi unsur-unsur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Filosofi dalam aksara Jawa yang menonjol adalah kepemimpinan, kebersamaan, keteraturan, dan ketertiban. Semua kandungan filsafat dalam aksara Jawa mengarah kebaikan. Pada kesempatan ini, akan dibahas khusus mengenai filosofi kepemimpinan sebagai atasan dan pengabdian sebagai bawahan. Pada masa menghadapi pemilihan umum sekarang ini, filosofi atasan (pemimpin) yang ada dalam aksara Jawa dapat menjadi salah satu alternatif dalam memilih pemimpin untuk memperbaiki kondisi negara. Selain itu, juga perlu dikemukakan filosofi bawahan dalam aksara Jawa sebagai dasar berprilaku sebagai bagian masyarakat dalam bernegara. Dari bedah filsafat aksara Jawa ini diharapkan negara menjadi sejahtera dan damai. Pemimpin yang ideal diimbangi oleh warga negara yang santun dalam bernegara. Kebersamaan kedua unsur inilah merupakan hal pokok dalam menciptakan negara yang dicita-citakan bersama. Kisah Ajisaka Sutjipto Adi (1983:112) menuliskan kisah yang ada dalam Aksara Hanacaraka atau Aksara Jawa. Baris pertama (ha, na, ca, ra, ka) diungkapkan ”ana caraka / duta” (ada utusan). Baris kedua (da, ta, sa, wa, la) dijabarkan ”data / duta sawala / suwala / sulaya” (utusan berbeda pendapat atau berperang). Baris ketiga (pa, dha, ja, ya, nya) ditelaah ”padha jayanya / jayane” (sama-sama menang atau sakti). Baris keempat (ma, ga, ba, tha, nga) diungkapkan ”maga bathanga” (sama-sama menjadi mayat). Kisah lengkapnya terjadi pada masa Raja Dewatacengkar memerintah pulau Jawa dengan sewenang-wenang. Karena kekuatan dan kesaktiannya, Raja hanya mementingkan diri sendiri, kerabat, dan pembesar-pembesar negara. Karena itu, salah seorang ksatria bernama Ajisaka berniat ingin menunmpas Dewatacengkar. Ketika akan berangkat, Ajisaka mempunyai dua orang abdi setia, Dora dan sembada. Ajisaka memerintah seorang abdinya untuk menjaga keris pusakanya di suatu tempat dan memerintahkan abdinya yang lain, untuk mengikutinya. Di hadapan Dewatacengkar, Ajisaka akan mengabdi kepada Dewatacengkar, dengan syarat Dewatcengkar memberi tanah seluas ikat kepalanya. Dewatacengkar menyetujui syarat itu. Namun, tanpa disangkanya, kain ikat kepala Ajisaka itu melebar hingga menutupi pulau Jawa. Akhirnya Dewatacengkar masuk samudra dan mati. Ajisaka kemudian memerintah pulau Jawa penuh keadilan sehingga menjadikan tanah Jawa makmur. Pada saat seperti itu, Ajisaka teringat keris pusakanya, kemudian memerintahkan abdi yang mengikutinya untuk mengambil pusakanya. Sang abdi melaksanakan perintah. Abdi yang menjaga keris tidak mau memberikan, karena Ajisaka pernah berpesan, selain Ajisaka sendiri yang mengambil, tidak boleh diberikan kepada orang lain. Kedua abdi itu berselisih pendapat. Mereka bertengkar. Akhirnya berkelahi, perang tanding adu kesaktian. Kesaktian kedua abdi itu setingkat, sehingga tidak ada yang kalah. Kedua-duanya menang. Tetapi kemenangan keduanya mengakibatkan keduanya mati. Dora berhasil membunuh Sembada. Demikian pula sebaliknya, sembada menang dengan membunuh Dora. Keduanya sama-sama mati. Ajisaka sangat terpukul dengan kejadian itu. Kedua abdi yang setia padanya gugur dalam menjalankan perintahnya. Lalu Ajisaka mengabadikan kejadian itu dengan membuat aksara Jawa menggunakan baris seperti dijabarkan di muka. Filosofi Atasan Kisah Ajisaka membuat huruf Hanacaraka untuk mengabadikan kedua abdinya sangat menyantuh hati. Jarang kita temui, pemimpin yang sangat memperhatikan bawahannya sedemikian rupa. Siapa sebenarnya Ajisaka? Secara etimologi, ajisaka berasal dari dua kata, ”aji” dan ”saka”. Keduanya mempunyai arti berbeda. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta;1939:3) kata aji artinya ”mantra yang menyebabkan dapat mengeluarkan keunggulan; harga, penghargaan; ratu, raja, pemimpin; haji; bulan haji atau bulan Besar”. Berdasarkan akar katanya, kata aji berasal dari ”-ji” (siji artinya satu, yang nomor satu, pemimpin, orang pandai, ulama, cendekiawan, raja, yang dihargai sangat tinggi). Saka berarti ”dari; pilar penyangga; nama hitungan tahun Hindu yang dimulai dari Prabu Saka (Ajisaka); ranting, teman atau kawan” (ibid; 1939:539). Menurut penulis, tokoh Ajisaka merupakan pralambang hidup orang Jawa. Orang Jawa mengenal istilah ”njawani, wis Jawa, durung Jawa, dudu Jawa” (berpola hidup Jawa, sudah Jawa, belum Jawa, bukan Jawa). Artinya, orang yang dihargai adalah orang yang memegang pilar atau pokok yaitu aturan yang berlaku dalam budaya Jawa. Telaah lainnya adalah orang akan dihargai (diaji-aji, diajeni) bila berpola hidup sesuai dengan aturan yang sesuai dengan budaya Jawa. Sering terdengar kalau ada orang yang melanggar norma-norma di masyarakat Jawa disebut ”durung Jawa, dudu Jawa”. Terkadang ada sesebutan ”ora Jawa” bila ada orang yang terlalu melanggar norma. Sedangkan orang yang memegang teguh norma-norma dalam pola hidupnya disebut ”wis Jawa, njawani” atau ”priyayi”. Filosofi kedua, ikat kepala adalah sebuah lambang buah pikir. Untuk mengalahkan keangkaramurkaan, dibutuhkan pikiran atau wawasan yang luas. ”Okol kalah karo akal”. Maksudnya, yang mengandalkan kekuatan (okol) akan kalah oleh yang mengandalkan kepandaian (akal). Akal pikiran dapat mengalahkan kekuatan fisik. Etimologi kata dewatacengkar adalah berasal dari kata ”dewata” dan ”cengkar”. Dewata artinya ”dewa, roh leluhur yang dianggap menguasai salah satu kodrat” (ibid; 1939:66). KBBI (2002:260) mengartikan ”dewa, sifat dewa, kedewaan”. Cengkar artinya ”luas antaranya, luas; tempat yang luas yang bisa digunakan untuk mencari makan yang tersebar; tidak subur, tidak subur dan banyak batu padasnya” (ibid; 1939:634). Arti lain ”agak tandus” (ibid;2002:207). Dewatacengkar dapat diartikan yang bersifat dewa dan menguasai daerah yang luas tetapi (membuat / menjadikan) daerah itu menjadi tidak subur. Dapat juga dimaknai membuat daerah atau negara tidak aman dan tidak tentram, membuat sengsara rakyatnya. Dewatacengkar melambangkan kekuasaan yang luas namun membuat sengsara pada yang dikuasainya. Cerita dalam aksara Jawa bahwa Dewatacengkar kalah oleh Ajisaka mempunyai makna bahwa siapapun yang berkuasa namun tidak membuat makmur rakyatnya akan kalah oleh orang yang lurus sesuai hukum. Filsafatnya yang sewenang-wenang bakal kalah oleh yang taat hukum. Identik dengan yang pertama, bahwa ”okol kalah karo akal”. Filsafat hidup orang Jawa yang lain dapat dijumpai dari kandungan cerita kedua abdi Ajisaka. Arti abdi adalah pembantu (ibid; 1939:1); orang bawahan, pelayan, hamba; budak tebusan (ibid;2002:2). Perluasan makna abdi adalah totalitas diri yang loyal, patuh, dan taat pada atasan. Perluasan lain abdi dalem 'pegawai keraton', abdi masyarakat 'pegawai pemerintah yang berkewajiban melayani masyarakat, abdi negara 'pegawai negeri'. Bila sudah yakin akan kepada yang 'diabdi', maka akan total taat dan patuh sampai mengorbankan nyawa. Dora dan Sembada orang yang taat hingga mati. Filosofi Bawahan Kisah Ajisaka menyiratkan adanya dua orang abdi, Dora dan Sembada, yang setia kepada pemimpin, Ajisaka. Totalitas pengabdian inilah yang sangat diperlukan oleh pemimpin dalam menjalankan semua program kerjanya. Pemimpin yang bagus dengan program kerja yang sempurna, tidak akan berjalan baik bila bawahan tidak total dalam pekerjaannya. Apalagi bila ternyata ada bawahan yang cenderung menentang atau menyimpang dari garis program kerja pemimpinnya. Kandungan kisah Dora dan Sembada merupakan idealisme dalam menjalankan program kerja sang pemimpin. Filsafat hidup orang Jawa dapat dibedah dari nama bawahan Ajisaka itu. Selain itu, tindakan Dora dan Sembada termaktub pula filsafat kerja dalam budaya Jawa. Sinonim kata dora itu goroh. Arti dora dan goroh adalah berkata yang tidak nyata, tidak benar, tidak jelas; menipu; berbohong (ibid;1939:74,160). Sembada atau sambada atrinya serba kecukupan, sentausa, kuat; cocok, patut, pantas; agak kaya, berkecukupan (ibid;1939:554). Klausa dora sembada mempunyai makna menipu untuk kebaikan. Contohnya tidak memberi permen kepada anaknya dengan dalih yang tidak tepat demi kebaikan sang anak sendiri. Nama Dora dan Sembada melambangkan agar bawahan memberikan pelengkap agar program atasannya menjadi pantas, patut, dan cukup (terlaksana). Walaupun sang bawahan merasa lelah, namun karena jadwal yang mepet, misalnya, sang bawahan seyogyanya menyelesaikan program yang digariskan. Para bawahan diidealkan memberikan yang patut dan pantas dalam memberikan layanan kepada atasan, karena beban atasan lebih berat (berpikir dan bertanggung jawab) daripada bawahan (pelaksana). Sangat tidak pantas apabila ada atasan bekerja menata meja, upamanya, sementara bawahannya duduk-duduk santai, atau malah pergi pura-pura tidak tahu kesibukan atasan. Filsafat ini menimbulkan efek ewuh pakewuh dalam arti pengabdian bawahan kepada atasannya. Walaupun penat, semangat kerja bawahan diharapkan mempu mengurangi beban atasan agar tercapainya program kerja. Oleh karena itu, bawahan diharapkan tidak memantaskan diri dalam menipu, tetapi menipu untuk kepantasan. Filosofi Jawa yang sangat dijunjung tinggi dalam kandungan aksara Jawa adalah etos kerja Dora dan Sembada. Kejenuhan dalam menunggu keris Ajisaka dan kepenatan karena perjalanan jauh untuk mengambil keris tetap dilaksanakan penuh tanggung jawab. Demi menjalankan perintah pun didasari loyalitas tinggi. Nyawa sebagai taruhannya. Perbedaan pendapat, pertikaian, bahkan peperangan yang mengakibatkan kehilangan nyawa dipertaruhkan demi menjalankan perintah atasan. Masing-masing bawahan bertanggung jawab pada atasan sesuai perintah dan tugasnya. Idealisme inilah yang sangat diperlukan dalam rangka membangun negara. Perintah atasan adalah harga mati bagi bawahan. Baik dan buruk atau benar dan salah itu adalah tanggung jawab atasan, karena atasanlah yang mempunyai ikat kepala. Kebijakan sebagai buah pikir para pemimpin merupakan salah satu pilar dalam memajukan negara. Kuncinya pada kata bijak (bagi pemimpin) dan taat (bagi bawahan). Buah Pikir Pemimpin Menelaah kandungan filsafat dalam aksara Jawa memberikan refleksi pada kita semua. Kemakmuran dan kejayaan negara akan dapat tercapai dari idealisme yang ada di dalam lambang pralambang aksara Jawa. Ajisaka berjaya menyingkirkan Dewatacengkar. Dalam kejayaannya, Dora dan Sembada menjadi korban kebijakan Sang Ajisaka. Pemilu sudah dekat. Rakyat Indonesia akan berpesta demokrasi. Sepercik tulisan ini semoga bermanfaat sebagai bekal dalam menyongsong pesta pemilu. Sebagai Dora dan Sembada yang baik, perlulah mentaati Ajisaka, dus perlu juga untuk memilih Ajisaka yang benar, yang membawa negara menjadi jaya. Bentuk cakra dalam aksara Jawa, melambangkan lingkaran dunia. Huruf legena disambung cakra ditulis dengan melingkarkan cakra pada huruf legenanya. Taling tarung sebagai penanda vokal sama besar tulisannya dengan huruf yang disandhangi. Bentuk-bentuk tulisan dalam aksara Jawa mempunyai peran lambang sendiri-sendiri. Oleh karena itu, sangatlah bijak bila kaum cerdik pandai yang menciptakan aksara Jawa digital atau font komputer tidak mengubah bentuk. Semoga akan memberikan manfaat pada generasi penerus. *)Penulis adalah Pengampu Muatan Lokal Bahasa Jawa pada SMAN 1 Salatiga |
18 Januari 2009
ARTIKEL; Kebijakan Sebagai Buah Pikir Pimpinan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar