MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

11 Oktober 2011

Opini : Walikota Baru, Harapan Baru

Oleh: djisnozero45*)

Dengan dilantiknya Walikota dan Wakil Walikota Salatiga, masyarakat Salatiga (Yang memilih atau yang tidak memilih pasangan Yuliyanto dan Muh. Haris) mempunyai harapan baru. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa periode baru akan memunculkan harapan baru. Dan itu sah-sah saja asal yang diharapkan dapat memenuhi yang mengharapkan dan yang mengharapkan juga menghormati yang diharapkan.

Orang bijak pernah memberi pesan bahwa orang bekerja/melaksanakan tugas bekal yang paling mendasar adalah “ rasa-rumangsa, dan nandur ngundhuh “

Segala yang akan dikerjakan harus dipertimbangkan dengan naluri yang digerakkan oleh hati nurani. Apakah program yang akan dikerjakan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan berbagai konsekuensinya ? Kemudian apabila sudah dikerjakan apakah sudah berdasarkan kebijakan yang murwat ? Karena apapun hasilnya akan mendapatkan penilaian. (Mulya utawa sangsara gumantung kasile tumindak) bahagia atau sengsara tergantung dari hasil yang dikerjakan.

Pesan Gubernur

Gubernur Jawa Tengah atas nama Presiden yang melantik Walikota dan Wakil Walikota Salatiga masa bhakti 2011 – 2016, menyampaikan pesan-pesan normatif positif bahwa, Walikota harus mempunyai lima sifat : komandan, bapak, guru, sahabat, dan pelatih.

Sebagai komandan, Walikota harus tegas dan berani menetapkan keputusan berikut konsekuensi logisnya. Sebagai Bapak, tidak “emban cindhe, emban siladan“ terhadap staf sebagai pendukung kinerjanya. Walikota sebagai Guru harus mampu “digugu lan ditiru“. Segala keputusan yang ditetapkan berdasarkan kebijakan yang tepat dan segala tindakannya mencerminkan keluhuran. Sebagai Sahabat, luwes dan ramah, tidak terkesan angker, bahkan lebih bersifat “sedulur sinoroh wadi“ terhadap staf dan masyarakat. Sedangkan sebagai Pelatih, Walikota, harus mampu meningkatkan sumber daya manusia dan kepekaan nurani perangkatnya.

Kelima hal yang disampaikan Gubernur apabila dapat dilaksanakan dengan harmonis dan optimal, hasilnya akan positif dan dapat dinikmati oleh semua pihak (mirasa lan tumanja) Sekaligus membuktikan bahwa pemimpin sebagai pamomong benar-benar bersifat hambek paramartha (berhakekat yang tertinggi) dan mengamalkan keluhuran memayu hayuning bawana (mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan dunia)

Sebagai umatnya Gusti Allah, pemimpin juga manusia biasa yang tidak dapat lepas dari lupa dan godaan. Tapi juga sebagai umatnya Gusti Allah, telah dibentengi dengan iman. Kuncinya adalah tergantung umat itu sendiri menerapkan manajemen pribadi.

Dalam pemahaman budaya Jawa manusia selalu dijaga oleh sedulur papat yang terdiri dari : kakang kawah, adhi ari-ari, sedulur welat lan kadang getih puser, (teman pribadi yang berjumlah empat) yang sudah menjaganya sejak masih di dalam kandungan ibunya. Ketika bayi lahir ke-empat teman pribadi itu mati dan sukmanya menyatu di dalam jiwa jabang bayi dan menjaganya sampai akhir hayat. Semua itu bagian dari sifat Gusti Allah yang di tanamkan pada jiwa umatNya. Maka manusia diperlukan kepekaan naluri atas getaran atau pertanda yang muncul dari dirinya sendiri sebelum bertindak. Hal seperti itu disebut krenteg ati (kehendak hati) yang masih suci, dan apabila ditindaklanjuti berdasarkan keteguhan iman hasilnya akan bermanfaat untuk sesama umat. Itulah yang disebut perbuatan luhur. Krenteg ati akan berbuah kesengsaraan apabila sudah dipengaruhi oleh pikiran yang menyimpang, yang bersumber dari diri pribadi atau pengaruh dari orang/kelompok lain.

Tauladan kepemimpinan

Meski pun konsep kepemimpinan sekarang sudah diatur berdasarkan manajemen modern kepemerintahan, tapi pada pelaksanaannya tidak bisa lepas dari kebijakan yang mengacu pada karakter dan naluri budaya yang hidup dan berjalan di masyarakatnya.

Tauladan kepemimpinan (menurut pemahaman Jawa) secara naluri (ajaran) mau pun histori (realita) telah dikenal oleh banyak orang, termasuk kekurangan atau pun kelebihannya, tapi masih layak sebagai acuan.

Seperti halnya, konsep dasar kepemimpinan astha brata (wejangan Prabu Rama kepada Gunawan Wibisana – ketika akan menjadi raja di Alengka), astha dasa paramiteng prabu (sesantinya Patih Gajah Mada – yang diterapkan oleh Hayam Wuruk, raja Majapahit) sampai dengan ajaran Ki Hajar Dewantoro, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani. Semuanya adalah konsep untuk mencapai keberhasil dalam menjalankan roda pemerintahan.

Seperti dalam ceritera pewayangan, meski pun cerita fiktif belaka dan aslinya berasal dari India. Tapi di pulau Jawa telah mengalami differensiasi, oleh para pujangga selanjutnya di adaptasi secara budaya, sosial dan politik yang berlaku di masyarakat. Kemudian, wayang (terutama purwa) rasanya sudah akrab seperti mengalir dalam darah kehidupan, di Jawa khususnya.

Sebagai referensi alternatif misalnya, raja Astina, Duryudana yang memerintah negaranya cenderung kurang tegas karena “terpaksa“, karena ambisi ibunya, Gendari, yang dendam terhadap Pandudewanata, adik iparnya, sebagai pewaris kerajaan. Realitanya Duryudana kurang konsisten menjalankan roda pemerintahannya, bahkan cenderung bimbang apalagi selalu dibayang-bayangi interfensi permaisurinya, Banuwati yang terlalu dalam mencampuri urusan pemerintahan Negara Astina.

Yudistira, raja agung dari Amarta, yang terkenal berjiwa luhur dan bertindak adil, ketika gurunya, Dorna, bertanya yang mati dalam peperangan Baratayuda, Gajah Aswatama atau anaknya, Aswatama, demi kelangsungan pemerintahannya, Yudistira harus berbohong kepada gurunya sendiri bahwa yang mati Aswatama anaknya Dorna, meski pun sebenarnya yang mati gajah Aswatama.

Kemudian Ramawijaya ketika akan diangkat sebagai raja Ayodhya menggantikan ayahnya, Dasarata, ditentang oleh permaisurinya yang ke-dua, Kekayi, yang menuntut anaknya, Barata, yang harus menjadi raja. Rama (ditemani isterinya, Sinta, dan adiknya lain ibu, Laksmana) harus mengembara ke hutan selama tiga belas tahun. Ternyata dengan kesabaran penuh dan kematangan bekalnya, akhirnya Rama berhasil menjadi raja agung di Ayodhya.

Meski pun gambaran atau bahkan tauladan kepempinan telah banyak tersebar, semuanya sangat ditentukan oleh pemimpin yang akan melaksanakan tugasnya. Seperti halnya Walikota dan Wakil Walikota Salatiga masa bhakti 2011 – 2016, tentunya bebas memilih dan menetapkan konsep kepemimpinannya. Yang penting untuk masyarakat Salatiga, implemantasi dari program-progam yang telah ditetapkan, kejujuran dan kosistensi terhadap janji-janji yang diikrarkan ketika kampanye dapat terwujud dan terukur. Masyarakat akan membaca “sapa jujur bakal makmur, sapa cidra wekasan cilaka“. Sebagai rakyat biasa hanya berharap. Berharap dan (dalam hati) mengingatkan semoga Walikota dan Wakil Walikota Salatiga dalam melaksanakan pemerintahannya selalu memegang teguh konsep, obah ngarep kobet mburi, secara moral mengukuhi, yitna yuwana, lena kena, dan jangan sampai, kesandhung ing rata, kebentus ing tawang. Amin.

*)Penulis adalah pemerhati budaya tinggal di Salatiga

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's