MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

22 Januari 2008

Musik Keroncong Cermin Luhur Budaya Bangsa

Alunan keroncong dan stambul yang tergusur musik pop di Republik Indonesia kini dapat dinikmati sepanjang malam hingga dinihari di Johor, Malaysia. Itulah ironi di negeri kaya budaya, Republik Indonesia. (Kompas, 3/12). Di Indonesia, perhatian generasi muda terhadap kebudayaan lokal sangat minimal dan justru berkembang di negeri jiran. Apakah ini kesalahan generasi muda semata? Tentu saja tidak. Fenomena ini juga berawal dari kesalahan orang tua yang tidak mampu mendidik dan membina generasi mudanya.

Kalau orang tua, sebagai pengambil keputusan, sibuk mengurus perutnya sendiri, sibuk dengan acara perebutan kekuasaan, dan sibuk menganggap dirinya sebagai yang paling benar dalam setiap perdebatan, mereka tidak akan sempat memberi perhatian kepada seni budaya. Padahal, seni budaya merupakan cerminan dari ekspresi jiwa yang lahir dari lubuk hati yang paling dalam, melewati batas ruang dan waktu. Seni budaya berpihak kepada nurani, budi pekerti, dan akal sehat. Jadi, tak mengherankan kalau di negeri jiran, yang tingkat kemakmurannya berlebih, dapat meresapi seni budaya keroncong itu dengan nikmat.

Sejak pukul 22.00 waktu Johor, Radio Johor Best 104 milik Pemerintah Negara Bagian mengudarakan musik keroncong secara khusus. Keroncong dan stambul Indonesia mengudara hingga pukul 02.00 waktu setempat tanpa boleh diselingi secuil pun iklan. Pemerintah setempat melalui Yayasan Warisan Johor (Johor Heritage Foundation) mendukung tumbuhnya kelompok seni keroncong dan gamelan di seluruh distrik di Johor. Hebatnya, siaran khusus keroncong dilaksanakan atas perintah Sultan Johor.

Seharusnya, indikasi ini menjadi sinyalemen bagi kita, Bangsa Indonesia, untuk melestarikan dan nguri-uri budaya sendiri. Kalau tidak, akan banyak budaya kita yang mungkin bernasib sama seperti kesenian Reog Ponorogo atau lagu Rasa Sayange yang diklaim Malaysia sebagai miliknya sebagai sarana promosi wisata.

Gamelan Jawa masuk Johor, untuk pertama kalinya, melalui Kerajaan Lingga, yaitu pada abad ke-18. Selanjutnya, imigran Jawa membawa berbagai seni budaya seperti kuda lumping, wayang orang, dan terakhir, yang kini sedang berkembang pesat di sana, adalah musik keroncong. Banyak lagu keroncong yang kini sudah tidak pernah terdengar di Indonesia, justru sering dimainkan di Johor. Salah satu kelompok keroncong yang baik berasal dari Distrik Batu Pahat yang dilatih oleh Edie Guntoro, seorang musisi keroncong asal Semarang, Jawa Tengah.

Perkembangan musik Indonesia di Malaysia tidak lepas dari misi budaya pascakonfrontasi. Sejak muhibah budaya pada tahun 1968 yang teru berlanjut hingga kini, berbagai kesenian Indonesia diadaptasi oleh masyarakat Malaysia. Sebagai contoh adalah lagu Rasa Sayange. Lagu ini, sejatinya, diajarkan oleh guru Indonesia yang dulu mengajar di sekolah-sekolah di Malaysia. Demikian pula musik angklung yang mulai dikenal masyarakan Malaysia pada tahun 1973 dan diserap sebagai budaya lokal di sana.

Dinamika gamelan dan musik keroncong di negeri jiran adalah ironi bagi kita di Indonesia Tengoklah sepinya gedung wayang di Indonesia yang tidak ada penontonnya. Tengok pula sepinya para pembina kebudayaan dalam menggagas lomba keroncong sampai ke tingkat nasional. Menyadari fakta yang seperti ini, jangan-jangan, kelak, kita harus ke Johor untuk sekadar menikmati keroncong dan gending Jawa.

Sejarah Musik Keroncong

Sejarah keroncong di Indonesia tidak terlepas dari kehadiran Kroncong Toegoe di Kampung Tugu, Plumpang, Semper, Jakarta Utara.Generasi muda kelompok ini dimotori oleh Andre Juan Michiels. Kehadiran musik ini berawal dari jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda pada tahun 1648. Orang-orang Portugis pada umumnya adalah tentara keturunan berkulit hitam yang berasal dari Bengali, Malabar, dan Goa. Mereka adalah tawanan Belanda dan dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta).

Sekitar tahun 1661, mereka dibebaskan, lalu bermukim di rawa-rawa sekitar Cilincing yang kemudia disebut Kampoeng Toegoe. Di kampung ini, kaum yang baru saja dibebaskan itu membangun komunitas dengan pekerjaan pokok bertani, berburu, dan mencari ikan. Di kala senggang, mereka mengisi waktunya dengan bermain musik. Dengan peralatan sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima atau yang biasa disebut rajao, mereka bernyanyi dengan gembira. Alat ini kemudian dimainkan bersama biola, gitar, rebana, dan seruling. Musik ini banyak penggemar dan disukai orang dan terus berkembang dari namanya moresco hingga berubah nama menjadi keroncong pada awal abad ke-19. Ya, karena musiknya yang terdengar seperti berbunyi creng...crong...inilah musik ini dinamai keroncong.

Keroncong Progresif

Mengapa musik keroncong jarang dilirik anak muda sekarang? Apakah karena musiknya membuat kantuk bagi yang mendengarkan? Sebenarnya, tidak demikian. Tergantung kepada bagaimana kita menyikapinya. Yang jelas, musik keroncong jarang dilirik karena musik ini tidak dikembangkan, utamanya membuat keroncong berkembang secara progresif seperti Cong Rock-nya anak-anak Untag, Semarang, yang sampai sekarang masik eksis dalam menyuguhkan lagu-lagu Indonesia maupun barat dengan ritme cepat dan rancak. Mereka mampu membawakan lagu-lagu Deep Purple dan Nat King Cole tanpa masalah meskipun dalam irama keroncong nan rancak. Penyanyinya juga tidak perlu berdiri kaku seperti patung. Komunikasi dengan penonton pun tak harus formal, namun tetap santun, ramah, dan akrab. Memang, jiwa keroncong tidak meledak-ledak seperti musik rok. Intro dan coda bisa dibuat progresif, tetapi pokok komposisi tetap irama keroncong asli sehingga tidak keluar dari pakem. Ya, karena jiwa keroncong memang halus dan sabar. Meskipun demikian, keroncong juga membawa semangat cinta tanah air, optimisme, dan gairah hidup.

Gebyar Keroncong

Sejauh ini, yang masih eksis mengibarkan bendera keroncong adalah TVRI pada setiap Senin, pukul 21.30 WIB selepas Dunia Dalam Berita. Tokoh dan penggemar keroncong bisa dikatakan tumplek blek menikmati acara tersebut. Ajang lainnya adalah mailing list. Bagi penggemar keroncong di seluruh Indonesia yang ingin bergabung dengan komunitas penikmat keroncong dapat mendaftarkan diri dengan mengirimkan e-mail kosong ke keroncong-subscribe@yahoo.com. Perkembangan ini sangat menggembirakan karena pehobi dan penikmat keroncong ini membentuk komunitas yang terdiri atas anak-anak muda dari berbagai profesi.

Di Salatiga sendiri, sebagai upaya mengembangkan kecintaan kepada musik keroncong di kalangan generasi muda, pada 25 November 2007 lalu diselenggarakan Lomba Nyanyi Keroncong Pelajar se-Kota Salatiga. Sebagai juara pertama sampai keempat untuk kategori putri, berturut-turut adalah Glora Jayanti (SMPN 2 Salatiga), Anisa Yuma Pradita (SDN Sidorejo Lor 2, Salatiga), Rebeca Andari (SMPN 2 Salatiga), dan Grace Anggelina (SMAN 3 Salatiga). Sedangkan juara pertama hingga keampta untuk kategori putra, berturut-turut adalah M. Sukandi (SMK PGRI Salatiga), Ign. Paundra (SMP Stella Salatiga), Kristianto (SMK Pelita Salatiga), dan Andika (SMAN 3 Salatiga).

Yang belum turut mengibarkan dan nguri-uri budaya asli Indonesia adalah stasiun televisi swasta. Dari sekian banyaknya stasiin televisi swasta, belum ada satu pun yang memiliki program musik keroncong. Padahal, berbagai stasiun itu sudah menyiarkan musik dangdut dan pop lengkap dengan berbagai model lombanya. Jadi, jangan salahkan Malaysia jika mereka mengaku memiliki musik keroncong. Semua adalah salah kita sendiri yang tidak mampu mengembangkan dan menjaga aset budaya milik bangsa. Mungkin semua itu karena seni budaya telah tertutup oleh hingar bingar isu politik, hukum, dan ekonomi yang sedang melanda bangsa ini. Padahal, banyak sekali yang bisa kita perbuat melalui musik sehingga orang beranggapan musik sebagai pendidikan humanis, berpikir logis, cerdas, kreatif dan mampu mengambil keputusan, serta mempunyai empati...creng..crong.... crong ....crong....


Pak Dhe Wi

Pengamat Seni

2 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus banget opininya pak dhe Whi. Saya sebagai generasi muda pun sebetulnya mempunyai rasa cinta terhadap budaya bangsa Indonesia.Yang sangat disayangkan adalah kurangnya media apresiasi dari berbagai pihak seperti dunia pendidikan, pemerintah, media massa, dan terutama dari keluarga Indonesia sendiri. Minimnya festifal, lomba - lomba, dan acara lain yang berkaitan dengan budaya Indonesia menyebabkan generasi muda Indonesia enggan mendalami budaya Indonesia. Salah satu jalan mungkin harus diawali dari keluarga sendiri dan diteruskan oleh kegiatan - kegiatan ekstrakulikuler di sekolah dan instansi pendidikan, serta didorong oleh pemerintah.

ttd

lovetrek

muhammad sukandi mengatakan...

maaf saya adalah Muhammad SUkandi,pemenang 1 lomba menynyi lagu keroncong november 2007,dimana saya bisa ambil piagam? sampai sekarang saya belum menerime piagam. email saya candy.radcliffe@yahoo.com

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's