Sekilas Tentang Kesakralan Kekuasaan
Oleh : Jaferson Kameo
KEKUASAAN itu sakral adanya. Itulah prinsip yang sangat fundamental di dalam hukum. Hal ini bersifat universal. Artinya, tidak secara ekslusif hanya dikenal oleh bangsa kita saja. Tetapi, dimanapun dan kapanpun serta bagi siapapun hal ini tidak dapat disangkal.
Bahkan meskipun sedikit agak terlambat dibanding dengan Injil (The Bible) , yang oleh para ahli hukum internasional diberi status sebagai bapak hukum Internasional pernah mengatakan di dalam karyanya Mare Liberum bahwa : “ Java....have kings, institutions, laws, and rights and .....have them always. One is not entitled to deprive these people of their will and princely power because they do not believe. Indeed it is even heresy to assume that these people should not be master of their goods”. ( Dikutip dari Kameo, J : 2005 hlm 123, Thesis PhD, tidak dipublikasikan, The School of Law, Faculty of Law and Financial Studies, Glasgow University, Skotlandia ).
Kutipan itu memberi isyarat telah ada pemikiran hukum modern yang dibangun Grotius dari sebuah hasil penelitian serius pada jamannya, ratusan tahun lalu. Bahwa jauh sebelum pemikir hukum modern mengemukakan bahwa hukum, termasuk di dalamnya kekuasaan atau hak-hak sebagai elemen yang amat penting di dalam hukum itu diakui dan ditulis di dalam dokumen-dokumen resmi negara-negara modern, Indonesia telah memiliki institusi atau prinsip-prinsip hukum dimaksud. Prinsip yang berkuasa itu akan selalu tetap ada dan menjadi milik bangsa ini, Tidak ada seoarangpun yang dapat mengambil secara paksa prinsip, hak atau kekuasaan dimaksud dari bangsa ini, hanya karena mereka tidak mempercayainya. Bahkan suatu murtat pandangan bahwa bangsa ini tidak dapat menjadi tuan atas benda-benda ( kekuasaaan) mereka.
Demikian pula jauh ketika hari sudah tinggi, para ahli hukum di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo –Saxon seperti Inggris, Amerika, Australia, Malaysia dan sebaginya lazim menggunakan istilah seperti sanctity of contract atau kesakralan kontrak tatkala kontrak atau janji itu secara filsafati dan ilmiah teridentifikasi oleh mereka sebagai indentik dengan kekuasaan atau hak-hak termasuk kewenangan. Hal ini tidak lain dimaksudkan sebagai isyarat bahwa memang betul, kekuasaan itu mempunyai wibawa atau otoritas dan harga diri yang tinggi sekali.
Mengalami Rongrongan
Berbanding terbalik dengan perspektif bahwa kekuasaan itu sakral seperti dikemukakan di atas; konsekuensi logisnya, adalah sesuatu bukanlah kekuasaan apabila ia mencla-mencle, plintat-plintut atau mudah diombang-ambingkan. Hari ini bilang A, besok dengan mudahnya bila C, lusa kembali ke A den sehari setelah lusa omongan sudah menjadi lain lagi. Kalau begini maka jelaslah bahwa kontrak atau janji tidak memiliki kepastian (uncertain). Alias kekuasaan itu hanyalah ibarat tulisan hasil sebuah goresan jari seseorang di atas pasir di tepi pantai yang mudah terhapus begitu saja dengan beberapa kali terpaan ombak.
Dalam bingkai pemikiran hukum, orang mungkin menyadari bahwa kehidupan yang diatur oleh hukum tidak hanya mengenal prinsip yang universal tetapi juga selalu saja diikuti dengan masalah atau persoalan yang juga bersifat universal. Namun pasti ada cara penanganan atas persoalan atau solusi dari hukum yang bersifat universal pula. Artinya kalau hukum mendikte dengan prinsip kekuasaan itu sakral, maka selalu saja persoalan menghantui kesakralan kekuasaan itu, namun mesti ada restorasi atau pemulihan kembali terhadap kesakralan atau harga diri kekuasaan yang telah mengalami rongrongan. Hukum selalu melindungi hak atau kekuasaan.
Alternatif Penyelesaian
Perspektif seperti di atas lah yang mungkin menjadi semacam alternatif yang dapat dipergunakan dalam menemukan penyelesaian secara lebih fundamental pro-kontra atas berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD; dan selisih pendapat dan tafsir di kalangan pejabat Negara mengenai Keppres 80 Tahun 2003 yang mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa untuk keperluan Pemerintah. Seperti diberitakan, saat ini ada persoalan theoritis bernama retroactive effect atau berlaku surutnya sebuah peraturan-perundangan. Soal retroaktif saat ini ada yang mengganggap sebagai persoalan yang agak rumit mengitari kehadiran PP 37 tersebut (SM 13/02/07). Sementara baru saja menjadi berita pula ada silang pendapat sekitar diperbolehkannya penunjukan langsung.
Namun hendaknya perhatian perlu difokuskan pada aspek bahwa Presiden sebagai pemegang otoritas, atau pihak yang membuat PP 37 itu telah mengisyaratkan perubahan atau revisi atas peraturan dimaksud. Hal ini mengisyaratkan bahwa selama produk hukum yang memiliki level sama, dalam hal ini sekelas PP belum dikeluarkan untuk merevisi atau merubah peraturan itu, tidak ada satu produk apapun yang dapat melemahkan daya berlakunya peraturan dimaksud. Karena di dalam perpektif hukum PP adalah kontrak maka ada sanctity of contract. Nah, agar terhindar dari jebakan (off side). Keinginan Presiden akan merevisi PP dimaksud mesti dilihat masih sebatas keinginan politik (political will), belum dapat dikatakan sebagai sebuah kaedah yang mengikat.
Bagaimana dengan edaran yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri yang isinya menunda pencairan tunjangan yang seharusnya dibayarkan sesuai PP 37 tersebut untuk sementara waktu? Buruk sangka bahwa telah terjadi off side, atau bahwa edaran seperti hanyalah sebuah opera politik memang harus dijauhkan sejauh-jauhnya.
Sebaiknya, dalam perspektif seperti yang telah dikemukakan di atas, edaran menteri dalam negeri ini haruslah dipandang memiliki derajat yang sama dengan sebuah himbauan ; ia tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yudiris. Di sini berlaku prinsip hukum yang umum dipahami bahwa Mendagri tidak mempunyai hak sehingga Ia tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya. Sebab bila sebaliknya yang terjadi maka itu sama saja dengan kudeta terhadap sebuah kekuasaan yang sah, atau perampasan hak seperti dikemukakan Garotius di atas.
Lalu bagaimana solusi yang dapat ditawarkan di sini dalam rangka menghalau kebimbangan yang saat ini berkembang? Solusi yang paling efektif , efisien serta mendasar adalah kembali ke dalam perpektif bahwa kekuasaan bersikfat sakral, tidak dapat dirampas, dan selalu menjadi milik yang berhak. Persiden sendiri, sebagai pembuat aneka peraturan yang ada juga sudah hampir dapat dipastikan akan tetap pada pendiriannya, untuk selalu berpegang pada isi dan semangat dalam perspektif teruraikan di atas, siap menghadapai segala konsekuensi; sebagai isi dan semangat pengembang kekuasaan yang berharga diri.
Jaferson Kameo: dosen Fakultas Hukum UKSW Salatiga; memperoleh Sarjana Hukum ( 1992 ) dari FH-UKSW Salatiga; Masters of Law/LL.M (1988) dari The School of Law University of Aberdeen Scotlandia dan PhD ( 2005 ) dari The School of Law Faculty of Law and Financial Studies, University of Glasgow, Skotlandia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar