PERGANTIAN KEPALA DAERAH
MENURUT HUKUM TATA NEGARA
(Kasus Meninggalnya Walikota Salatiga)
Belum genap setahun menjabat sebagai Walikota, tanggal 9 Februari 2007, warga Salatiga telah berduka dengan meninggalnya Walikota H. Totok Mintarto. Sosok Walikota tersebut cukup terkesan di hati warga karena figur kedekatan dengan semua lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai latarbelakang dan aliran. Pasca meninggalnya Walikota, terjadi kekosongan jabatan Walikota, yang secara yuridis patut dilakukan pengisian jabatan lewat peristiwa pergantian. Saat ini, meski agak “malu-malu kucing”, suhu perpolitikan di Kota Hatti Beriman mulai hangat seputar percakapan tentang pergantian jabatan Walikota. Setidaknya agenda perbincangan memusat pada (a) siapa dan bagaimana prosedur pengisian jabatan Walikota; dan (b) wajibkah jabatan Wakil Walikota dilakukan pengisian apabila Wakil Walikota John Manoppo dikukuhkan menjadi Walikota. Terhadap keadaan yang terjadi di Salatiga, dapat disoroti dari perspektif Hukum Tata Negara, terutama perangkat perundang-undangan yang mengatur perihal pemberhentian dan pergantian jabatan Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (WKDH).
Perihal Pemberhentian & Pergantian Jabatan
Dalam Pasal 29 – 35 UU No. 32 Tahun 2004 (telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005) maupun Pasal 123 – 133 PP No. 6 Tahun 2005, telah diatur beberapa alasan pemberhentian KDH dan atau WKDH, yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Fakta di Salatiga yaitu Walikota meninggal dunia, sehingga beralasan untuk dilakukan pemberhentian dan pergantian jabatan. Selanjutnya, apabila terjadi pemberhentian KDH karena meninggal dunia, permintaan sendiri, diberhentikan, maka Wakil KDH menggantikan KDH sampai habis masa jabatannya. Pergantian KDH dilakukan melalui usulan pengesahan pemberhentian & pergantian KDH oleh DPRD ke Presiden. Beranjak dari ketentuan tersebut, Wakil Walikota “diperintahkan” mengganti Walikota sampai habis masa jabatannya. Perintah ini tidak dapat dielakkan.
Lantas, bagaimana jika Wakil Walikota tidak berkeinginan untuk menggantikan Walikota? Meski tidak ada sanksi, namun semangat dari ketentuan di atas yaitu (a) menjaga kesinambungan atau keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai Walikota, seperti pengesahan Perda & Peraturan Walikota; dan (b) proses seleksi jabatan yang dilakukan secara paket, sekaligus memungkinkan Wakil Walikota sewaktu-waktu mengemban jabatan sebagai Walikota jika terjadi keadaan yang tidak memungkinkan Walikota melanjutkan kepemimpinannya.
Agenda pemberhentian Walikota diawali dengan pemberitahuan Pimpinan DPRD untuk diputus dalam Rapat Paripurna DPRD. Selanjutnya diajukan ke Mendagri melalui Gubernur Jawa Tengah untuk pengesahan. Sementara agenda pergantian dibahas & diputus dalam Rapat Paipurna DPRD agar Wakil Walikota diusulkan ke Mendagri melalui Gubernur Jawa Tengah untuk mengganti Walikota sampai habis masa jabatan. Meski tidak diatur kapan waktu pemberhentian dan pergantian KDH dan atau WKDH, namun dengan pertimbangan keberlanjutan dan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, DPRD secepatnya menyelenggarakan Rapat Paripurna dengan agenda pemberhentian & pergantian jabatan Walikota.
Perihal Kekosongan Jabatan Wakil KDH
Dalam Pasal 35 ayat 1 – 2 UU No. 32/2004 mengatur prosedur pengisian jabatan WKDH jika KDH diberhentikan dengan alasan melakukan tindak pidana & menghadapi krisis kepercayaan publik. Apabila kekosongan jabatan Wakil KDH masih dalam rentang waktu lebih dari 18 bulan, KDH mengusulkan 2 orang calon WKDH untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul Parpol/gabungan Parpol yang pasangan calonnya terpilih dalam Pilkadal.
Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan WKDH karena menggantikan KDH yang meninggal dunia, namun berdasarkan tafsiran sistematis dan analogi dari UU No. 32/2004 maka kekosongan jabatan Wakil KDH merupakan kemestian untuk dilakukan pengisian. Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35 tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal sebelumya mulai Pasal 29 yang mengatur alasan dan prosedur pemberhentian serta pergantian KDH dan WKDH. Sementara tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu kekosongan jabatan WKDH akibat WKDH menggantikan KDH karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat 1.
Alasan pendukung lainnya yaitu (1) demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Salatiga, (2) adanya pembagian kewenangan secara atributif dan eksplisit antara KDH dan WKDH sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26, sehingga akan terjadi persoalan dari perspektif hukum administrasi negara; (3) dalam rangka menjaga kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan berhalangan terhadap kepemimpinan puncak ditubuh pemerintah (eksekutif), sehingga akan memakan biaya lebih besar karena harus dilakukan pemilihan KDH dan WKDH. Akankah waktu yang ada tersita hanya dengan urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan?
Prosedur Pengisian Jabatan Wakil KDH
Prosedur pengisian jabatan WKDH dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat 2, dimana basis pencalonan adalah Parpol/Gabungan Parpol yang memenuhi syarat dalam Pilkadal. Parpol/Gabungan Parpol perlu melakukan penjaringan dan penyaringan bakal calon Wakil Walikota sesuai mekanisme internal partai maupun kepenuhan terhadap syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 58. Sumber calon yang akan diajukan Parpol/Gabungan Parpol ke KDH tidak dilakukan pengaturan secara eksplisit, sehingga kewenangan ada pada Parpol/Gabungan Parpol. Oleh karenanya, ada 2 alternatif yang dapat digunakan yaitu : menggunakan hasil penyaringan saat Pilkadal, yaitu calon WKDH urutan berikutnya (untuk kasus Salatiga adalah calon Wakil Walikota urutan berikutnya setelah John Manoppo dari gabungan PDIP dan PAN), atau dilakukan penjaringan & penyaringan baru oleh Parpol/Gabungan Parpol.
Selanjutnya, apakah ada peran dari KDH dalam penjaringan dan penyaringan calon WKDH yan dilakukan Parpol/Gabungan Parpol? Meski tidak diatur, namun dalam rangka kerjasama yang bermakna antara KDH dan WKDH, tidak keliru jika dilakukan konsultasi intensif dengan KDH.
Hasil penyaringan yang telah dilakukan Parpol/Gabungan Parpol diajukan ke KDH untuk disampaikan ke DPRD. DPRD akan melakukan pemilihan terhadap 2 calon yang diajukan KDH. Prosedur pemilihan menggunakan ketentuan internal DPRD yaitu Peraturan Tata Tertib DPRD. Potensi masalah hukum akan terjadi jika calon yang diajukan Parpol/Gabungan Parpol kurang dari 2 calon (1 calon). Akankah KDH atau DPRD menolak agar dilakukan proses ulang sampai memperoleh minimal 2 calon? Meski tidak diatur, dengan pertimbangan kedaruratan pergantian jabatan dan penghargaan akan peran Parpol/Gabungan Parpol, maka proses tetap dapat dilanjutkan oleh KDH dan DPRD untuk dilakukan pemilihan.
Catatan Akhir
Apabila DPRD Kota Salatiga telah mengusulkan pengesahan pemberhentian dan pergantian Walikota maupun akan dilakukan pengisian terhadap jabatan Wakil Walikota, demi mewujudkan Kota Salatiga Hatti Beriman, maka beberapa hal berikut patut menjadi perhatian bersama. Pertama, mewujudkan terjadinya perimbangan politik (terutama kesukuan dan keagamaan) dalam jabatan Walikota dan Wakil Walikota. Fakta menunjukan hal semacam ini tak terhindarkan, apalagi memperhatikan persyaratan figur yang berkembang khususnya untuk bakal calon Walikota. Kedua, masyarakat hendaknya mengawasi Parpol/Gabungan Parpol maupun anggota DPRD agar tidak terjadi permainan politik uang yang mencederai semangat dan gerakan pemberantasan korupsi.Ketiga, menghargai dan mendukung hasil dari proses pergantian dan pengisian jabatan yang dilakukan secara jujur dan adil oleh Parpol/Gabungan Parpol, Walikota dan DPRD. Semoga........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar