(Sebuah Refleksi Natal dan Idul Adha)
Oleh: Izak Lattu*)
Beberapa waktu lalu, Romo Budi Subanar, Ph.D, SJ, Koentjoro Ph.D, dan Mayang Diantami berbicara dalam diskusi Perdamaian Harus Masuk dalam Ajaran Sekolah. Mereka menjelaskan esensi perdamaian secara konkret yang harus diajarkan di sekolah. Tujuannya, murid menghargai perbedaan di antara mereka agar ketika hidup di masyarakat, semangat itu tertanam sehingga dapat mengantisipasi konflik akibat perbedaan ras, suku, agama, maupun golongan.
Semangat ini seperti yang diulas Dr. Farid Esack, muslim keturunan Malaysia, dari Afrika Selatan, dalam bukunya, Quran, Liberation and Pluralism. Buku ini menekankan pentingnya meninggalkan hubungan I (saya) dan you (anda) menjadi sebuah hubungan yang berbasis solidaritas, yaitu we (kita). Bagi Esack, pengalaman hidup berbasis solidaritas tanpa mengenal sekat primordialisme (solidaritas we) dialaminya secara langsung di masa kecil.
Masyarakat Afrika Selatan pada masa kecil Esack hidup dalam sistem apartheid (politik diskriminasi). Diskriminasi ini terutama terhadap orang kulit berwarna dan Afrika. Seluruh keluarga Esack yang berjumlah tujuh orang dihidupi oleh ibunya yang janda. Keluarganya kebetulan bertetangga dengan keluarga Kristen Afrika, yang kehidupan ekonominya di bawah rata-rata, yang setali tiga uang dengan keluarga Esack. Untuk menanggung beban ekonomi yang berat, kedua keluarga ini sering berbagi untuk kebutuhan sehari-hari.
Pengalaman inilah yang memicu Esack untuk melahirkan konsep solidaritas we (kami) sebagai bentuk dialog praksis yang nyata. Sebuah pengalaman hidup bersama yang melahirkan solidaritas suffering others (orang-orang yang menderita), meminjam istilah Paul Knitter (1993). Pengalaman kehidupan bersama yang dialami Esack adalah sungguh sebuah hubungan yang secara induktif membangun solidaritas kemanusiaan meski berlatar sosial berbeda. Jaring laba-laba solidaritas bersama terajut dari perbedaan pada galibnya melahirkan perdamaian sejati dalam sebuah masyarakat plural.
Hidup bersama secara pro-exitence (hidup berdampingan, saling memahami, dan membantu) seperti yang dipraktekan Esack ternyata dapat dengan gampang ditemui di masyarakat Salatiga. Seperti hubungan antara keluarga Titi (Islam) dan keluarga Stevanus Sunaryo (Kristen), warga Monginsidi IV, Salatiga. Meskipun berbeda agama, kedua keluarga ini saling membantu tanpa menghiraukan batas keyakinan. Model hidup seperti ini mempertegas solidaritas sosial seperti yang diinginkan semua agama secara ideal.
Dialog Sosial
Di era global seperti sekarang ini, ketika sekat pemisah masyarakat semakin tipis akibat derasnya arus informasi, perlu sebuah sikap baru dalam memandang orang lain. Sebab, kehidupan saat ini adalah kehidupan dalam sebuah global village (desa global) yang berinteraksi dengan sangat tegas. Karena itu, perlu penghargaan terhadap perbedaan. Penghargaan terhadap perbedaan membutuhkan pemahaman. Sedangkan pemahaman membutuhkan upaya untuk belajar dari orang lain. Dialog memberikan ruang yang cukup untuk proses saling belajar dan saling memahami. Oleh karenanya, Mohamad Khatami, mantan Presiden Republik Islam Iran, merasa perlu mengusulkan dialogue of civilizations (dialog antarperadaban) ketika berbicara di PBB New York, September 1998. Dialog ini merupakan jalan keluar untuk menghindari clash of civilizations (benturan antarperadaban) yang disinyalir oleh Samuel P. Huntington.
Dialog tidak sekadar percakapan, apalagi sebuah round table formal dengan peserta berdasi. Dialog adalah sebuah cara berpikir baru, melihat, dan merefleksikan dunia dan maknanya, dalam rangka mengafirmasi perbedaan. Karena itu, tujuan dialog menurut Leonard Swidler dan Paul Mojzes dalam The Study of Religion in an Age of Global Dialogue (2000:147) adalah supaya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog terbuka untuk belajar dari orang lain, sehingga mereka tanpa paksaan dapat berubah dan bertumbuh ke arah penghargaan terhadap perbedaan secara positif.
Dialog juga termasuk interaksi sosial antarpemeluk agama, suku, ras, atau golongan yang berbeda. Pengalaman hidup sehari-hari adalah bentuk dari dialog berbasis common experience (pengalaman sehari-hari) yang memberikan perhatian pada tindakan nyata dan aspek kemanusiaan. Dengan demikian akan terjadi deep-dialogue (dialog mendalam) sehingga pihak yang berdialog mengalami mutual transformasi.
Di Indonesia, dialog sosial untuk menghadirkan perdamaian sejati dirasakan mendesak. Konflik di Maluku, Poso, Kalimantan, Papua, dan Aceh termasuk kerusuhan Mei 1998, merupakan indikasi perlunya dialog ini. Pengalaman konflik sosial itu, mendesak semua pihak untuk sungguh-sungguh mencari jalan meretas perdamaian sejati di Indonesia. Memang, ihwal konflik sosial di Indonesia tidak bisa serta-merta dicarikan kambing hitam. Namun, setidaknya diskusi Romo Banar dan kawan-kawan dapat menjadi satu rujukan penting. Sebagai bangsa, kita memerlukan pendidikan perdamaian. Persoalannya, pada sistem pendidikan Indonesia dari aras paling rendah sampai perguruan tinggi, tidak mencakup kurikulum yang secara serius dan terencana menggagas sebuah pendidikan perdamaian.
Pendidikan perdamaian dapat dilakukan secara formal (masuk kurikulum). Secara informal, pendidikan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, camping perdamaian bagi siswa/mahasiswa dengan latar agama, suku, dan pendidikan yang beragam. Pendidikan perdamian dapat menjadi ajang diskusi. Pendidikan ini dapat dirancang semacam dialog faith meets faith, yakni, orang dengan suku dan agama yang berbeda duduk bersama dan membicarakan titik temu dari berbagai perbedaan. Namun, titik temu tersebut tidak perlu dipaksakan bila ternyata tidak terjadi konvergensi karena tujuan utama dialog adalah saling memahami perbedaan. Bentuk lainnya adalah aksi bersama. Pada aras yang kecil, aksi bersama memungkinkan mereka lebih banyak berintereaksi dan melahirkan solidaritas yang kuat. Selain itu, kegiatan karitatif, seperti membersihkan rumah-rumah ibadah secara bersamaan, juga dilakukan dalam rangka menumbuhkan penghargaan terhadap perbedaan.
Pendidikan perdamaian hanya sebuah contoh kecil dari upaya membangun pintu masuk bagi perbedaan dalam rangka menghadirkan sebuah perdamaian Indonesia yang luhur. Kita berharap, pendidikan akan melahirkan generasi baru Indonesia yang mampu mengafirmasi perbedaan secara positif dan melihat sesamanya secara par cum pari (setara). Semoga.(*)
*)Pengajar pada Fakultas Teologi UKSW
Aktif di Forum Antar Iman Salatiga untuk Solidaritas Sosial (FAISSAL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar