WELCOME, UN 2007
Oleh : M. Munadzir
Pendidikan di selenggarakan dengan memberi keteladanan , membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam prosea Pembelajaran ( Prinselengg. PenddNo.4. UU No 20/2003 )
Sudah dimaklumi sejak pemerintah menetapkan PP. No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional, Permendiknas No.45/2006 dan No. 1/2007 tentang Ujian Nasional, maka pelaksanaan Ujian Nasioanal tetap di gelar sebab sudah menjadi Agenda Nasional.
Eskalasi penolakan publik terhadap urgensi UN pun akhirnya menyurut, seirama dengan meningkatnya paradigma masyarakat yang semakin sadar bahwa “kualitas atau mutu” pendidikan kita memang masih sangat rendah ( jauh di bawah Vietnam ) .
Fenomena ini barangkali yang melatarbelakangi Mendiknas RI untuk segera merealisasikan beberapa pilar program Pemerataan Akses, Pencitraan Publik, sampai kepada Persoalan Peningkatan mutu output dan outcome ( lulusan dan hasil guna ).
Betapapun anekdot “ganti menteri ganti aturan” perlahan harus di eliminir ( di sisihkan ) agar kita tidak terjebak pada perhelatan pro dan kontra opini yang terkadang justru overdosis ( melampaui batas kewajaran ) dan hanya sekedar NATO.
Ungkapan “no action talk only (NATO )” terkesan sudah sangat membudaya. Pada sisi lain maklum bahwa kita juga mendapat label “ lebih suka komentar “ dan penonton ketimbang “pemain”. Bahkan yang sangat menggelikan dan naif istilah tukang kompor (provokasi) dan saling menjegal kawan seiring juga melekat secara simbolik.
Akar masalah perilaku non gentle dan sedikit opurtunis tersebut sebenarnya justru berawal dari pengalaman belajar di sekolah baik formal maupun nonformal. Hampir 80% waktu, aktivitas fisik dan fikir mereka tercurah di sekolah. Di sanalah mereka bersosialisasi, adaptasi sampai akulturasi kebiasaan dan budaya.
Terlebih jika dijumpai banyak proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar ) di sekolah tidak disipiln, seringnya terjadi jam kosong, kelas ramai, terlambat belajar mengajar dst, kondisi ini benar-benar sangat berpengaruh kepada watak dan kepribadian mereka di masa-masa mendatang.
Pada persoalan mutu prestasi belajar banyak terbukti adanya mark-up nilai untuk kenaikan kelas dan kelulusan semu. Persoalan ijazah aspal dan jal beli gelar kian menjamur bak cendawan di musim hujan.
Dus, Pendidikan sesungguhnya “telah dan akan” memiliki andil besar dalam memproduksi karakteristik seseorang. Lewat dunai pendidikan berabgai perilaku menyimpang seharusnya segera di antisipasi dan di benahi. Secara fungsional ia merupakan pabrik SDM ( Sumber Daya Manusia ) yang kedepan akan berperan sebagai aktor dalam sandiwara kehidupan.
Sampai kapanpun tidak pernah lupa bahwa setiap kita dilahirkan dlam keadaan putih bersih, sedangkan orangtua (pendidikan ) “ telah dan akan “ berperan melukis wajah hari kedepan mereka.
Membangun Sportivitas SDM
Dilihat dari perspektif historis pola evaluasi pembelajaran di sekolah sebenarnya relatif kaya pengalaman. Tentu masih diingat dengan model Ujian Negara (tahun 60-an), Ebta-Ebtanas (tahun 80-an), UAS-UAN (tahun 90-an) dan kali ini dengan US-UN yang populer dengan Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Masing-masing memiliki karakteristik yang beragam tentu dengan kelebihan-kekurangan yang bisa saling melengkapi.
Tetapi jauh lebih penting bagaimana pelaksanaan Ujian Nasional tersebut dapat berimplikasi kepada pemberdayaan manusia meuju SDM handal dengan mentalitas sportif.
Dengan “sportivitas” akan lahir generasi unggul yang siap mengakui keunggulan lawan apalagi teman. Pada saat yang sama cepat menyadari kekurangan atau kelemahan yang melekat pada diri sendiri. Bukan sebaliknya yang terjadi justru yang benar dianggap salah dan salah dianggap benar.
Kebijakan Ujian Nasional dengan standarisasi kelulusan yang semakin berat sebenarnya sarat dengan pembelajaran bersama bahwa segala sesuatu harus diraih dengan prestasi kerja yang nyata. Sehingga budaya kompetisi sehat dan obyektif harus mendapat support moral dan finansial.
Pada aatnya nati pasti akan datang generasi pemegang estafet kepemimpinan yang lebih arif dan bijaksana dalam melayani kepentingan masyarakat. Harapan ini tentu tidak pernah akan terwujud tanpa adanya komitmen bahwa pelaksanaan Ujian Nasional harus sukses demi sasarn trategis membangun sportivitas SDM.
Prinsip-prinsip kebersamaan, perdamaian, keatuan dan persatuan pun akn segera terealisasi tanpa tirani minoritas maupun mayoritas. Spirit Ujian Nasional mampu mendorong dan menciptakan iklim kompetitif, fair-play, demokratis, dan kondusif sebagai garansi kualitas seleksi pada percaturan ajang merai prestasi.
Standar minimal dan pentingnya proses
Bila tidak ada musibah Ujian Nasional akan berlangsung tanggal 17-26 April 2007 untuk SMA dan SMK ( utama dan susulan ), dan tanggal 24 Aproil-5 Mei untuk SMP/MTS ( utama dan susulan ). Para pelajar akan berjuang habis-habisan mempertaruhakn nasib untuk lulus atau gagal.
Perolehan nilai rata-rata minimal 5,00 untuk 3 mata pelajaran ( Bahasa Indonesia, Inggris, Matematika ) dengan tidak boleh memiliki nilai dibawah nilai 4, 26, inimemang cukup berta. Karena bila ketiganya memperoleh 4,26 mereka belum jug lulus. Dengan kata lain memang harus ada 1 atau 2 nilai yang mendapat perolehan diatas 5,00 atau bahkan 6,00.
Tahun sebelumnya dengan standar minial kelulusan rata-rata nilai sekitar 4,50, ratusan bahkan jutaan siswa terjungkal tidak bisa lolos. Tahun ini dengan kenaikan rata-rata 5,00 (naik 0,50 yaitu dari 4,50-5,00), tentu wajar apabila semua pihak sangat takut, cemas akan kegagalan dalam UN. Walau ada kompromi boleh ada nilai 4,00, namun nilai tersebut hanya untuk 1 mapel saja. Sedangkan 2 mapel lainnya harus memperoleh nilai 6,00 keatas.
Kenaikan standar ini tentu merupkan persoalan yang biasa-biasa saja bagi sekolah-sekolah favorit dengan latar belakng input siswa tinggi. Mereka bisa dengan mudah mengatasi kekhawatiran tersebut. Sangat berbeda dengan sekolah-sekolah dengan background siswa input rendah lagi pinngiran, harapan untuk bisa lulus saja laksana matador melawan banteng. Perjuangan keras berdarah-darah bisa menang atau kalah. Arinya memang tidak ada pilihan lain bagi sekolah kecuali harus bekerja optimal berlumuran pelu.
Keniscayan ini tidak mungkun dijawab dengan sejuta dalih dan kompensasi. Sebab masyarakat memang sudah ceras untuk menilai. Pada saat yang sama mereka sebenarnya konsumen pasar yag memiliki kebebasan membeli dagangan bermutu. Pernyataan diatas dapat juga dimaknai bahwa tidak salah bila mereka tidak lagi berspekulasi menyekolahkan anak yang gagal dalam UN.
Berangkat dari permasalahan tersebut kita musti bersyukur bahwa publik (masyarakat) telah memiliki mindset (kerangka fikir) logis, bahwa mutu proses atau pengolahan pembelajaran telah menjadi dasar pertimbangan sebelum merekan mengambil keputusan.
Katakanlah bila masukan ( iNput ) keju dan keluaran (output) tetap keju, bisa dikatakan produksi tidak berkualitas. Suatu hal yang lumrah bila mereka berhasil sebab siswa yang masuk memang bibit unggul. Bila terjadi perolehan nilai asukan dari sekolah sebelumnya 8 (delapan) namun keluaran (lulusan) hanya 7 (tujuh) ini sama halnya dengan inut keju-output singkong. Dalam konteks ini pasti ada kegagalan dalam proses KBM.
Lain halnya sekolah dengan input nilai 4,00 (empat) dan keluaran atau output 5,00 (lima), sesuai dengan teknik evaluasi pendidikan sekolah tersebut justru dapat dikatakan bermutu. Ibratnya masukan (input) singkong namun output (lulusan) adalah keju.
Prestasi tersebut selayaknya mendapat apresiasi positif demi tercapainya mutu pendidikan. Tidak berlebihan bila muncul banyak opini bahwa keberhasilan Ujian Nasional adalah keberhasilan negara dan kegagalannya adalah kegagalan nasional. Di maklumi memang tanggung jawab melestarikan kemerdekaan Negara ini berada di punggung generasi penerus yang berkualitas. Akhirnya apapun yang terjadi, Ujian Nasional musti disambut dengan “welcome”
Drs. HM Munadzir, M.Si
Praktisi Pendidikan Salatiga
(Mantan kepala SMP 9 kini SMP 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar