MAJALAH HATI BERIMAN "MAJALAH BERITA WARGA KOTA SALATIGA"

30 Januari 2007

Gedung Pekerja Seni

GEDUNG PEKERJA SENI

Isu mutakhir di kalangan pekerja seni Salatiga adalah bakal dibangunnya gedung kesenian oleh Pemerintah Kota. Tentu saja kalangan pekerja seni menyambut bungah tetapi juga ada rasa skeptis dengan rencana ini. Lantas apa pasalnya dan apa jalarannya?

Hal ini terkait dengan duplikasi masalah yang kerap terjadi dengan pembangunan gedung kesenian daerah dengan ketersediaan lahan yang ada. Sebab ada beberapa aset yang ada, diantaranya sudah berpindah tangan pada pihak ketiga. Yang tersisa bakal direncanakan untuk tujuan lain atau tidak representatif untuk sebuah ged

ung kesenian.

Bagi pekerja seni untuk sebuah gedung kesenian lokasi atau site amatlah menentukan. Site ibarat sebuah toko, dia harus punya wajah yang berkarakter agar gampang diidentifikasi guna membedakan dengan gedung lain. Aksesbilitas amatlah menentukan. Sebuah karya seni, baik itu bentuknya sebuah pameran, pagelaran atau seni pertunjukan lain, bila sudah di launch ke publik, dipamerkan, sudah dipagelarkan, menjadi sebuah komoditi. Kendatipun komoditi sebuah karya seni ini berbeda dengan komoditi lainnya.

Itu berarti, harus memeperhatikan prinsip-prinsip ekonomi yang harus memperhitungkan, price, product and promotion, agar produk yang dijualnya dapat dibeli, diserap publik dan juga diapresiasi. Bagaimana bisa terbeli. Bagaimana mau terbeli kalau gedungnya ngumpet di belakang gedung lain, seperti salah satu pilihan di Kridanggo.

Sejatinya yang dibutuhkan para pekerja seni adalah sebuah gedung kesenian yang kalau diformulasikan, adalah sebuah gedung yang cukup untuk penonton dengan kapasitas 200 orang. Simak saja rasio penonton pameran, pentas teater kisarannya 20 sampai 100. Gedung gampang diakses, gampang untuk belanja kebutuhan kesenian, gampang cari makan dan gampang untuk publikasi.

Diponegoro 10 atau gedung bekas RSPD yang dipakai untuk area parkir adalah temapat yang representatif. Tapi terpetik berita akan digunakan gedung Bank Daerah. Amatlah bijaksana kalau dibagi, gedung kesenian sepertiganya saja. Bukankah tanahnya luas? Yang kami butuhkan sebuah gedung untuk 100 orang, ada lighting, hang panel utuk pameran, 2 kamar untuk tamu, MCK, bisa ditingkat atau tidak. Ini berarti gedung yang efisien dalam pemeliharaan dan juga dapat untuk berbagai sekretariat bersama.

Bukan gedung yang kelewat besar, megah tapi miskin penonton. Bukankah kelompok-kelompok musik yang mengadakan tour, road show kini jarang menggunakan gedung, mereka lebih suka manggung di lapangan terbuka. Musik kamar sudah ada Resithal Hall milik FSP-UKSW, kontes-kontes sudah ada GPD.

Kami butuh gedung kesenian yang low cost dalam pemeliharaan, akrab tidak terkesan angkuh dan low budget untuk penyelenggaraan event, karena spanduk dipasang di kanan-kiri gedung udah cukup memadai, misalnya.

“Kalau membangun gedung kesenian, tolong libatkan kami” Tukas Tikoen salah seorang pekerja seni dari TUK dalam sebuah pertemuan pembubaran Panitia. Statemen ini ditujukan pada Pemerintah Kota lewat Didik Indaryanto Ketua Umum DKS. Saya rasa ungkapan yang tepat, acap aspirasi seniman tak terdengar.

Biarkan Singapura punya Esplanade atau orang yang memberinya julukan “Big Durian” hasil kompetisi dari 48 arsitek kelas dunia. Gedung kesenian yang dibangun di atas lahan 6 hektar, dengan biaya hampir 4 triliyun itu. Kita di sini cukuplah dapat mewujudkan gedung kesenian kecil-kecilan tapi dapat bermanfaat bagi pekerja seni.

Itu berarti dapat menghindarkan dan memelihara kita dalam sebuah equilibrium, sebuah keseimbangan, dan bukannya demensia budaya yang mengantar kita, yang kalau menurut istilahnya DR. Sudjoko (alm.) dari ITB, kroco jiwa, alias inferioty complex.(Mullie)

Tidak ada komentar:

 
template : Copyright @ 2010 HUMAS SETDA KOTA SALATIGA. All rights reserved  |    by : boedy's